Minggu, 30 Juni 2013

Telaga Cinta Sang Guru, Mengalirkan Cita dan Rindu

Syaikhut Tarbiyah (alm) KH. Rahmat Abdullah
Asy-Syahid Hasan Al Banna pernah bertutur :
“Di dunia ini, dari banyaknya jumlah manusia, hanya sedikit saja dari mereka yang sadar,dan dari yang sadar itu hanya sedikit saja yang ber-Islam,dan dari sedikit yang ber-Islam, jauh lebih sedikit lagi yang berdakwah,dari mereka yang berdakwah, jauh lebih sedikit lagi yang berjuang,dari sedikit yang berjuang, jauh lebih sedikit yang bersabar,dan dari sedikit yang bersabar itu, hanya sedikit saja dari merekayang sampai AKHIR PERJALANAN”.


Guruku….

Bermula dari akhir perjalananmu meniti hidup ini, kami baru mulai mengenang tapak-tapak cintamu. Ber-Islam-mu, berdakwahmu, berjuangmu dan segala bentuk kesabaranmu memiliki irama menghentak yang mampu menyadarkan setiap insan yang bermata hati untuk kembali memperbaiki cara ber-Islam, berdakwah, berjuang dan juga bersabar. Setiap episode hidup yang engkau miliki adalah kelembutan adanya. Hidupmu yang penuh dengan beragam cinta, mampu menghidupkanmu walau kini engkau telah menghadap-Nya.
Adalah engkau Ustadz Rahmat Abdullah, mengajariku banyak hal. Dari banyak hal yang kutahu tentangmu, paling tidak diriku belajar dua hal besar yakni bagaimana mampu bertahan dalam komunitas kebaikan hingga akhir hayatmu, dan bagaimana baiknya interaksimu dengan sesama.
Guruku….
Engkau buktikan cintamu kepada Rosul kita Muhammad SAW, benar-benar engkau titi jalan-jalan sunahnya. Kata adik kandungmu, semasa hidupmu, engkau tidak pernah lepas dari wudhu dan selalu mengiringi wudhumu dengan sholat sunah 2 rokaat. Engkau selalu menjaga kebersihan penampilanmu dan selalu tampak bersahaja. Di setiap sudut gang yang engkau lewati tidak pernah lepas engkau tebarkan salam. Ibunda engkau, begitu engkau muliakan. Berkasih engkau kepada sesama mukmin dan bertindak tegas kepada yang dholim. Engkau ingatkan aku kembali pada beberapa hadis Rosululloh yang berbunyi, “Sesungguhnya Allah indah dan senang kepada keindahan. Bila seorang ke luar untuk menemui kawan-kawannya hendaklah merapikan dirinya”. (HR. Al-Baihaqi). Juga hadis lain yang berbunyi, “Seorang bertanya kepada Nabi SAW, ‘Islam yang bagaimana yang baik?’ Nabi SAW menjawab, ‘Membagi makanan (kepada fakir-miskin) dan memberi salam kepada yang dia kenal dan yang tidak dikenalnya’” (HR. Bukhari).
Ada juga hadist lain yang berbunyi, “Seorang sahabat bertanya, ‘Ya Rasulullah, siapa yang paling berhak memperoleh pelayanan dan persahabatanku?’ Nabi SAW menjawab, ‘ibumu…ibumu…ibumu, kemudian ayahmu dan kemudian yang lebih dekat kepadamu dan yang lebih dekat kepadamu’” (Mutafaq’alaih). Dan aku diingatkan juga bunyi satu hadist, “Orang yang berpegangan kepada sunahku pada saat umatku dilanda kerusakan maka pahalanya seperti seorang syahid” (HR. Ath-Thabrani). Engkau contohkan secara nyata kepada kami bagaimana menghidupkan hidup agar lebih hidup dengan kebiasaan-kebiasaan Islami.
Guruku….
Unik dan menarik salahsatu kebiasaanmu, engkau suka memberi bingkisan kepada rekanmu seperjuangan secara sembunyi-sembunyi. Engkau kenali detail kondisi-kondisi para rekanmu. Dengan bekal itu engkau mulai bantu ringankan kesulitan hidup para rekanmu itu. Padahal engkau juga dalam kondisi tidak berpunya. Pribadimu yang unik pulalah yang mampu merangkul teman-teman baru untuk belajar Islam bersamamu. Bersamamu ada anak tentara, ada pengusaha, ada intelektual muda, ada aktivis muda dan ada pula tukang tambal ban. Berkenalan dengan rekan-rekan seperjuanganmu dengan pengenalan sempurna adalah prinsipmu dalam menjaga untuk tetap berada dalam komunitas kebaikan. Akan ada saling kenal secara sempurna di sana. Akan ada saling berkaca di sana. Bukankah al Mu’minu mir’ah li akhihi ?
Guruku…

Ibarat mesin yang super, sungguh energi yang memutar gerak langkah dakwahmu berkapasitas Mega bahkan mungkin lebih. Engkau melakukan tabligh ilal Islam, mengkader pemuda Islam karena ada cita-cita tauris ilmu kepada para pemuda Islam di sana. Engkau melayani umat tanpa kenal lelah. Sedari sehabis subuh sampai pukul 8, engkau terima konsultasi permasalahan dari umat, pun ketika engkau berada di dalam mobilmu tetap engkau layani permintaan konsultasi dari umat. Cintamu pada umat itu pula yang melandasi langkahmu untuk menjadi anggota dewan. Duduk di parlemen demi memperjuangkan kepentingan umat. Memikirkan umat pulalah yang akhirnya memutihkan sebagian rambutmu.
Guruku…

Engkau lepaskan ikatan ketergantunganmu pada orang lain. Terutama kepada pihak asing. Engkau lebih bangga dengan jiwa-jiwa Islammu daripada bangga dengan emblem-emblem asing. Suatu ketika engkau pernah lebih senang disebut sebagai seorang yang berasal dari Jayakarta daripada disebut sebagai seorang keturunan Betawi dengan alasan karena nama Jayakarta diberikan oleh Ulama’ sedangkan nama Betawi yang berasal dari kata Batavia, yaitu nama pemberian Belanda, penjajah bangsa Indonesia. Engkau juga ajarkan kepada kami cara hidup mandiri secara ekonomi. Karena setiap muslim dituntut untuk Qodiirun ‘alal kasbi, mampu berpenghasilan sendiri.

Sejak umur 11 tahun engkau sudah harus meneruskan usaha sablon ayahmu, sepeninggal ayahmu tercinta. Ketika SMP engkau sudah mulai mengajar di sebuah pondok pesantren. Mengajar les privat dan menjadi guru. Engkau bertutur, menjadi guru itu hartanya banyak karena seorang guru itu menyebarkan ilmu ke banyak orang. Dan setelah engkau mampu mandiri, engkau tidak lupa untuk melaksanakan kewajiban atas harta yang telah engkau peroleh. Tidak segan engkau keluarkan zakat ataupun infak darinya. Engkau biayai sendiri segala perjalanan dakwah yang engkau lakukan. Engkau laksanakan prinsip Adaaul waajibatil maaliyah, yaitu melaksanakan kewajiban terhadap harta. Wahai guruku yang kucinta, semoga perjalanan mendidik umat yang engkau jalani diliputi berkah.
Guruku…

Dari semua ilmu yang kuperoleh tentang ukhuwah, dari engkaulah aku dapat melihat secara nyata bentuk pengamalannya. “Tolonglah saudaramu, baik ia sebagai yang menzhalimi (maksudnya: kita menahannya dari berbuat zhalim) atau dizhalimi”. Ketika adik kandungmu pernah berbuat dzalim terhadap salah seorang warga kampung sekitar rumah tinggalmu, engkau ingatkan ia dengan penuh kesabaran. Engkau bersabar juga dalam mendoakan orang-orang terdekatmu di sujud sholat malammu yang panjang. “Sesungguhnya Engkau tahu, bahwa hati ini tlah terpadu, bersatu dalam naungan cinta-Mu…… Bersatu dalam ketaqwaan……” Karena doa ketika tidak saling bersama dan ketika berpisah itu mustajab.

Bukti nyata ukhuwah lain yang membuktikan baiknya interaksimu terhadap sesama adalah engkau sangat tidak suka jika saudaramu seperjuangan dalam bahaya dan bersegera berbuat untuk menyelamatkan saudaramu dari bahaya. Tak henti, engkau senantiasa ingatkan teman-temanmu yang sama-sama terjun di parlemen tentang bahaya dunia. Engkau berani berkorban demi kebahagiaan saudaramu. Pernah suatu kali engkau belikan angkot kepada mantan driver pribadimu demi menghormati dan membahagiakannya. Engkau tempatkan cinta di atas semua aktivitas yang engkau jalani. Engkau hargai dan tempatkan orang lain secara seimbang. Ketika engkau jumpai dari teman seperjuanganmu butuh untuk di-ishlah, engkau sampaikan ishlah secara hemat dan tidak ada kesan menggurui.
Guruku…

Tak akan habis jika aku tuliskan semua kebaikanmu, insyaAllah dengan caraku, aku akan mencoba mengambil teladan darimu. Sepeninggalmu membekas kerinduan yang sangat dalam di hatiku. Kerinduan yang senantiasa hadir di setiap cita dan langkah hidupku.
*****
Sumber: http://politik.kompasiana.com/2013/06/15/telaga-cinta-sang-guru-mengalirkan-cita-dan-rindu--569106.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar