Kamis, 19 September 2013

TERNYATA AMERIKA MEMILIKI HUTANG 57RIBU TON EMAS KEPADA INDONESIA


















"The Green Hilton Memorial Agreement" di Geneva pada 14 November 1963 


Inilah perjanjian yang paling menggemparkan dunia. Inilah perjanjian yang menyebabkan terbunuhnya Presiden Amerika Serikat John Fitzgerald Kennedy (JFK) 22 November 1963. Inilah perjanjian yang kemudian menjadi pemicu dijatuhkannya Bung Karno dari kursi kepresidenan oleh jaringan CIA yang menggunakan ambisi Soeharto. Dan inilah perjanjian yang hingga kini tetap menjadi misteri terbesar dalam sejarah ummat manusia. 


Perjanjian "The Green Hilton Memorial Agreement" di Geneva (Swiss) pada 14 November 1963 


Dan, inilah perjanjian yang sering membuat sibuk setiap siapapun yang menjadi Presiden RI. Dan, inilah perjanjian yang membuat sebagian orang tergila-gila menebar uang untuk mendapatkan secuil dari harta ini yang kemudian dikenal sebagai "salah satu" harta Amanah Rakyat dan Bangsa Indonesia. Inilah perjanjian yang oleh masyarakat dunia sebagai Harta Abadi Ummat Manusia. Inilah kemudian yang menjadi sasaran kerja tim rahasia Soeharto menyiksa Soebandrio dkk agar buka mulut. Inilah perjanjian yang membuat Megawati ketika menjadi Presiden RI menagih janji ke Swiss tetapi tidak bisa juga. Padahal Megawati sudah menyampaikan bahwa ia adalah Presiden RI dan ia adalah Putri Bung Karno. Tetapi tetap tidak bisa. Inilah kemudian membuat SBY kemudian membentuk tim rahasia untuk melacak harta ini yang kemudian juga tetap mandul. Semua pihak repot dibuat oleh perjnajian ini. 


Perjanjian itu bernama "Green Hilton Memorial Agreement Geneva". Akta termahal di dunia ini diteken oleh John F Kennedy selaku Presiden AS, Ir Soekarno selaku Presiden RI dan William Vouker yang mewakili Swiss. Perjanjian segitiga ini dilakukan di Hotel Hilton Geneva pada 14 November 1963 sebagai kelanjutan dari MOU yang dilakukan tahun 1961. Intinya adalah, Pemerintahan AS mengakui keberadaan emas batangan senilai lebih dari 57 ribu ton emas murni yang terdiri dari 17 paket emas dan pihak Indonesia menerima batangan emas itu menjadi kolateral bagi dunia keuangan AS yang operasionalisasinya dilakukan oleh Pemerintahan Swiss melalui United Bank of Switzerland (UBS). 


Pada dokumen lain yang tidak dipublikasi disebutkan, atas penggunaan kolateral tersebut AS harus membayar fee sebesar 2,5% setahun kepada Indonesia. Hanya saja, ketakutan akan muncul pemimpinan yang korup di Indonesia, maka pembayaran fee tersebut tidak bersifat terbuka. Artinya hak kewenangan pencairan fee tersebut tidak berada pada Presiden RI siapa pun, tetapi ada pada sistem perbankkan yang sudah dibuat sedemikian rupa, sehingga pencairannya bukan hal mudah, termasuk bagi Presiden AS sendiri. 


Account khusus ini dibuat untuk menampung aset tersebut yang hingga kini tidak ada yang tahu keberadaannya kecuali John F Kennedy dan Soekarno sendiri. Sayangnya sebelum Soekarno mangkat, ia belum sempat memberikan mandat pencairannya kepada siapa pun di tanah air. Malah jika ada yang mengaku bahwa dialah yang dipercaya Bung Karno untuk mencairkan harta, maka dijamin orang tersebut bohong, kecuali ada tanda-tanda khusus berupa dokumen penting yang tidak tahu siapa yang menyimpan hingga kini. 


Menurut sebuah sumber di Vatikan, ketika Presiden AS menyampaikan niat tersebut kepada Vatikan, Paus sempat bertanya apakah Indonesia telah menyetujuinya. 


Kabarnya, AS hanya memanfaatkan fakta MOU antara negara G-20 di Inggris dimana Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ikut menanda tangani suatu kesepakatan untuk memberikan otoritas kepada keuangan dunia IMF dan World Bank untuk mencari sumber pendanaan alternatif. Konon kabarnya, Vatikan berpesan agar Indonesia diberi bantuan. Mungkin bantuan IMF sebesar USD 2,7 milyar dalam fasilitas SDR (Special Drawing Rights) kepada Indonesia pertengahan tahun lalu merupakan realisasi dari kesepakatan ini, sehingga ada isyu yang berkembang bahwa bantuan tersebut tidak perlu dikembalikan. 


Oleh Bank Indonesia memang bantuan IMF sebesar itu dipergunakan untuk memperkuat cadangan devisa negara. Kalau benar itu, maka betapa nistanya rakyat Indonesia. Kalau benar itu terjadi betapa bodohnya Pemerintahan kita dalam masalah ini. Kalau ini benar terjadi betapa tak berdayanya bangsa ini, hanya kebagian USD 2,7 milyar. Padahal harta tersebut berharga ribuan trilyun dollar Amerika. 


Aset itu bukan aset gratis peninggalan sejarah, aset tersebut merupakan hasil kerja keras nenek moyang kita di era masa keemasan kerajaan di Indonesia. 


Asal Mula Perjanjian "Green Hilton Memorial Agreement" 

Setelah masa perang dunia berakhir, negara-negara timur dan barat yang terlibat perang mulai membangun kembali infrastrukturnya. Akan tetapi, dampak yang telah diberikan oleh perang tersebut bukan secara materi saja tetapi juga secara psikologis luar biasa besarnya. Pergolakan sosial dan keagamaan terjadi dimana-mana. Orang-orang ketakutan perang ini akan terjadi lagi. Pemerintah negara-negara barat yang banyak terlibat pada perang dunia berusaha menenangkan rakyatnya, dengan mengatakan bahwa rakyat akan segera memasuki era industri dan teknologi yang lebih baik. Para bankir Yahudi mengetahui bahwa negara-negara timur di Asia masih banyak menyimpan cadangan emas. Emas tersebut akan di jadikan sebagai kolateral untuk mencetak uang yang lebih banyak yang akan digunakan untuk mengembangkan industri serta menguasai teknologi. Karena teknologi Informasi sedang menanti di zaman akan datang. 


Sesepuh Mason yang bekerja di Federal Reserve (Bank Sentral di Amerika) bersama bankir-bankir dari Bank of International Settlements / BIS (Pusat Bank Sentral dari seluruh Bank Sentral di Dunia) mengunjungi Indonesia. Melalui pertemuan dengan Presiden Soekarno, mereka mengatakan bahwa atas nama kemanusiaan dan pencegahan terjadinya kembali perang dunia yang baru saja terjadi dan menghancurkan semua negara yang terlibat, setiap negara harus mencapai kesepakatan untuk mendayagunakan kolateral Emas yang dimiliki oleh setiap negara untuk program-program kemanusiaan. Dan semua negara menyetujui hal tersebut, termasuk Indonesia. Akhirnya terjadilah kesepakatan bahwa emas-emas milik negara-negara timur (Asia) akan diserahkan kepada Federal Reserve untuk dikelola dalam program-program kemanusiaan. Sebagai pertukarannya, negara-negara Asia tersebut menerima Obligasi dan Sertifikat Emas sebagai tanda kepemilikan. Beberapa negara yang terlibat diantaranya Indonesia, Cina dan Philippina. Pada masa itu, pengaruh Soekarno sebagai pemimpin dunia timur sangat besar, hingga Amerika merasa khawatir ketika Soekarno begitu dekat dengan Moskow dan Beijing yang notabene adalah musuh Amerika. 


Namun beberapa tahun kemudian, Soekarno mulai menyadari bahwa kesepakatan antara negara-negara timur dengan barat (Bankir-Bankir Yahudi dan lembaga keuangan dunia) tidak di jalankan sebagaimana mestinya. Soekarno mencium persekongkolan busuk yang dilakukan para Bankir Yahudi tersebut yang merupakan bagian dari Freemasonry. 


Tidak ada program-program kemanusiaan yang dijalankan mengunakan kolateral tersebut. Soekarno protes keras dan segera menyadari negara-negara timur telah di tipu oleh Bankir International. 


Akhirnya Pada tahun 1963, Soekarno membatalkan perjanjian dengan para Bankir Yahudi tersebut dan mengalihkan hak kelola emas-emas tersebut kepada Presiden Amerika Serikat John F.Kennedy (JFK). Ketika itu Amerika sedang terjerat utang besar-besaran setelah terlibat dalam perang dunia. Presiden JFK menginginkan negara mencetak uang tanpa utang. 


Karena kekuasaan dan tanggung jawab Federal Reserve bukan pada pemerintah Amerika melainkan di kuasai oleh swasta yang notabene nya bankir Yahudi. Jadi apabila pemerintah Amerika ingin mencetak uang, maka pemerintah harus meminjam kepada para bankir yahudi tersebut dengan bunga yang tinggi sebagai kolateral. Pemerintah Amerika kemudian melobi Presiden Soekarno agar emas-emas yang tadinya dijadikan kolateral oleh bankir Yahudi di alihkan ke Amerika. Presiden Kennedy bersedia meyakinkan Soekarno untuk membayar bunga 2,5% per tahun dari nilai emas yang digunakan dan mulai berlaku 2 tahun setelah perjanjian ditandatangani. Setelah dilakukan MOU sebagai tanda persetujuan, maka dibentuklah Green Hilton Memorial Agreement di Jenewa (Swiss) yang ditandatangani Soekarno dan John F.Kennedy. Melalui perjanjian itu pemerintah Amerika mengakui Emas batangan milik bangsa Indonesia sebesar lebih dari 57.000 ton dalam kemasan 17 Paket emas. 


Melalui perjanjian ini Soekarno sebagai pemegang mandat terpercaya akan melakukan reposisi terhadap kolateral emas tersebut, kemudian digunakan ke dalam sistem perbankan untuk menciptakan Fractional Reserve Banking terhadap dolar Amerika. Perjanjian ini difasilitasi oleh Threepartheid Gold Commision dan melalui perjanjian ini pula kekuasaan terhadap emas tersebut berpindah tangan ke pemerintah Amerika. Dari kesepakatan tersebut, dikeluarkanlah Executive Order bernomor 11110, di tandatangani oleh Presiden JFK yang memberi kuasa penuh kepada Departemen Keuangan untuk mengambil alih hak menerbitkan mata uang dari Federal Reserve. Apa yang pernah di lakukan oleh Franklin, Lincoln, dan beberapa presiden lainnya, agar Amerika terlepas dari belenggu sistem kredit bankir Yahudi juga diterapkan oleh presiden JFK. salah satu kuasa yang diberikan kepada Departemen keuangan adalah menerbitkan sertifikat uang perak atas koin perak sehingga pemerintah bisa menerbitkan dolar tanpa utang lagi kepada Bank Sentral (Federal Reserve) 


Tidak lama berselang setelah penandatanganan Green Hilton Memorial Agreement tersebut, presiden Kennedy di tembak mati oleh Lee Harvey Oswald. Setelah kematian Kennedy, tangan-tangan gelap bankir Yahudi memindahkan kolateral emas tersebut ke International Collateral Combined Accounts for Global Debt Facility di bawah pengawasan OITC (The Office of International Treasury Control) yang semuanya dikuasai oleh bankir Yahudi. Perjanjian itu juga tidak pernah efektif, hingga saat Soekarno ditumbangkan oleh gerakan Orde baru yang didalangi oleh CIA yang kemudian mengangkat Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia. Sampai pada saat Soekarno jatuh sakit dan tidak lagi mengurus aset-aset tersebut hingga meninggal dunia. Satu-satunya warisan yang ditinggalkan, yang berkaitan dengan Green Hilton Memorial Agreement tersebut adalah sebuah buku bersandi yang menyembunyikan ratusan akun dan sub-akun yang digunakan untuk menyimpan emas, yang terproteksi oleh sistem rahasia di Federal Reserve bernama The Black screen. Buku itu disebut Buku Maklumat atau The Book of codes. Buku tersebut banyak di buru oleh kalangan Lembaga Keuangan Dunia, Para sesepuh Mason, para petinggi politik Amerika dan Inteligen serta yang lainnya. Keberadaan buku tersebut mengancam eksistensi Lembaga keuangan barat yang berjaya selama ini. 


Sampai hari ini, tidak satu rupiah pun dari bunga dan nilai pokok aset tersebut dibayarkan pada rakyat Indonesia melalui pemerintah, sesuai perjanjian yang disepakati antara JFK dan Presiden Soekarno melalui Green Hilton Agreement. 


Padahal mereka telah menggunakan emas milik Indonesia sebagai kolateral dalam mencetak setiap dollar. 

Hal yang sama terjadi pada bangsa China dan Philipina. Karena itulah pada awal tahun 2000-an China mulai menggugat di pengadilan Distrik New York. Gugatan yang bernilai triliunan dollar Amerika Serikat ini telah mengguncang lembaga-lembaga keuangan di Amerika dan Eropa. Namun gugatan tersebut sudah lebih dari satu dasawarsa dan belum menunjukkan hasilnya. Memang gugatan tersebut tidaklah mudah, dibutuhkan kesabaran yang tinggi, karena bukan saja berhadapan dengan negara besar seperti Amerika, tetapi juga berhadapan dengan kepentingan Yahudi bahkan kabarnya ada kepentingan dengan Vatikan. Akankah Pemerintah Indonesia mengikuti langkah pemerintah Cina yang menggugat atas hak-hak emas rakyat Indonesia yang bernilai Ribuan Trilyun Dollar… (bisa untuk membayar utang Indonesia dan membuat negri ini makmur dan sejahtera)? 

Ya, semoga saja sobat Lintasgaul, semua milik indonesia itu kembali walau entah kapan waktunya.

http://lintasgaul.blogspot.com/2013/08/ternyata-amerika-memiliki-hutang-57ribu.html?m=1

Minggu, 01 September 2013

BERJABAT TANGAN ANTARA LAKI-LAKI DENGAN PEREMPUAN (1/3)

Dr. Yusuf Qardhawi
 
PERTANYAAN
 
Sebuah persoalan yang sedang saya hadapi, dan  sudah  barang
tentu  juga  dihadapi  orang  lain,  yaitu  masalah berjabat
tangan antara laki-laki dengan  wanita,  khususnya  terhadap
kerabat yang bukan mahram saya, seperti anak paman atau anak
bibi, atau istri saudara ayah atau istri saudara  ibu,  atau
saudara  wanita  istri saya, atau wanita-wanita lainnya yang
ada hubungan  kekerabatan  atau  persemendaan  dengan  saya.
Lebih-lebih  dalam momen-momen tertentu, seperti datang dari
bepergian, sembuh dari sakit, datang dari haji  atau  umrah,
atau  saat-saat lainnya yang biasanya para kerabat, semenda,
tetangga, dan teman-teman lantas menemuinya dan  bertahni'ah
(mengucapkan  selamat  atasnya)  dan  berjabat tangan antara
yang satu dengan yang lain.
 
Pertanyaan saya, apakah ada nash  Al-Qur'an  atau  As-Sunnah
yang  mengharamkan  berjabat  tangan antara laki-laki dengan
wanita,  sementara  sudah  saya  sebutkan  banyak   motivasi
kemasyarakatan atau kekeluargaan yang melatarinya, disamping
ada rasa saling percaya. aman dari  fitnah,  dan  jauh  dari
rangsangan  syahwat. Sedangkan kalau kita tidak mau berjabat
tangan, maka mereka memandang kita orang-orang beragama  ini
kuno   dan   terlalu   ketat,   merendahkan  wanita,  selalu
berprasangka buruk kepadanya, dan sebagainya.
 
Apabila ada dalil syar'inya, maka kami  akan  menghormatinya
dengan tidak ragu-ragu lagi, dan tidak ada yang kami lakukan
kecuali mendengar dan mematuhi, sebagai konsekuensi keimanan
kami  kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan jika hanya semata-mata
hasil ijtihad fuqaha-fuqaha kita terdahulu, maka  adakalanya
fuqaha-fuqaha   kita   sekarang   boleh   berbeda   pendapat
dengannya, apabila  mereka  mempunyai  ijtihad  yang  benar,
dengan  didasarkan  pada  tuntutan peraturan yang senantiasa
berubah dan kondisi kehidupan yang selalu berkembang.
 
Karena itu, saya menulis  surat  ini  kepada  Ustadz  dengan
harapan  Ustadz  berkenan membahasnya sampai ke akar-akarnya
berdasarkan  Al-Qur'anul  Karim  dan  Al-Hadits  asy-Syarif.
Kalau   ada  dalil  yang  melarang  sudah  tentu  kami  akan
berhenti; tetapi jika dalam  hal  ini  terdapat  kelapangan,
maka  kami  tidak  mempersempit  kelapangan-kelapangan  yang
diberikan Allah kepada kami, lebih-lebih  sangat  diperlukan
dan bisa menimbulkan "bencana" kalau tidak dipenuhi.
 
Saya  berharap  kesibukan-kesibukan  Ustadz  yang banyak itu
tidak menghalangi Ustadz  untuk  menjawab  surat  saya  ini,
sebab  -  sebagaimana  saya  katakan di muka - persoalan ini
bukan  persoalan  saya  seorang,  tetapi  mungkin  persoalan
berjuta-juta orang seperti saya.
 
Semoga  Allah  melapangkan  dada  Ustadz untuk menjawab, dan
memudahkan kesempatan bagi Ustadz  untuk  menahkik  masalah,
dan mudah-mudahan Dia menjadikan Ustadz bermanfaat.
 
JAWABAN
 
Tidak  perlu  saya  sembunyikan kepada saudara penanya bahwa
masalah  hukum  berjabat  tangan  antara  laki-laki   dengan
perempuan  -  yang  saudara tanyakan itu - merupakan masalah
yang amat penting, dan untuk menahkik  hukumnya  tidak  bisa
dilakukan  dengan  seenaknya.  Ia memerlukan kesungguhan dan
pemikiran yang optimal dan ilmiah sehingga  si  mufti  harus
bebas  dari  tekanan  pikiran  orang  lain atau pikiran yang
telah diwarisi dari masa-masa lalu, apabila  tidak  didapati
acuannya    dalam    Al-Qur'an    dan   As-Sunnah   sehingga
argumentasi-argumentasinya    dapat    didiskusikan    untuk
memperoleh  pendapat  yang  lebih  kuat  dan lebih mendekati
kebenaran menurut  pandangan  seorang  faqih,  yang  didalam
pembahasannya    hanya    mencari    ridha    Allah,   bukan
memperturutkan hawa nafsu.
 
Sebelum memasuki pembahasan  dan  diskusi  ini,  saya  ingin
mengeluarkan  dua  buah  gambaran  dari  lapangan  perbedaan
pendapat ini, yang saya percaya bahwa hukum  kedua  gambaran
itu  tidak  diperselisihkan  oleh  fuqaha-fuqaha  terdahulu,
menurut pengetahuan saya. Kedua gambaran itu ialah:
 
Pertama, diharamkan berjabat tangan  dengan  wanita  apabila
disertai  dengan  syahwat  dan  taladzdzudz (berlezat-lezat)
dari salah satu pihak, laki-laki atau wanita (kalau keduanya
dengan  syahwat  sudah  barang  tentu  lebih terlarang lagi;
penj.) atau dibelakang itu dikhawatirkan terjadinya  fitnah,
menurut dugaan yang kuat. Ketetapan diambil berdasarkan pada
hipotesis bahwa menutup jalan menuju  kerusakan  itu  adalah
wajib,  lebih-lebih  jika  telah  tampak  tanda-tandanya dan
tersedia sarananya.
 
Hal ini diperkuat lagi oleh apa yang dikemukakan para  ulama
bahwa  bersentuhan  kulit  antara laki-laki dengannya - yang
pada asalnya mubah itu - bisa berubah menjadi haram  apabila
disertai   dengan   syahwat  atau  dikhawatirkan  terjadinya
fitnah,1 khususnya dengan  anak  perempuan  si  istri  (anak
tiri), atau saudara sepersusuan, yang perasaan hatinya sudah
barang tentu tidak sama dengan perasaan  hati  ibu  kandung,
anak  kandung,  saudara  wanita sendiri, bibi dari ayah atau
ibu, dan sebagainya.
 
Kedua,  kemurahan  (diperbolehkan)  berjabat  tangan  dengan
wanita tua yang sudah tidak punya gairah terhadap laki-laki,
demikian pula dengan anak-anak kecil  yang  belum  mempunyai
syahwat  terhadap  laki-laki,  karena berjabat tangan dengan
mereka itu aman dari sebab-sebab fitnah. Begitu pula bila si
laki-laki sudah tua dan tidak punya gairah terhadap wanita.
 
Hal  ini  didasarkan  pada riwayat dari Abu Bakar r.a. bahwa
beliau pernah berjabat tangan dengan beberapa  orang  wanita
tua,  dan  Abdullah bin Zubair mengambil pembantu wanita tua
untuk  merawatnya,  maka  wanita  itu   mengusapnya   dengan
tangannya dan membersihkan kepalanya dari kutu.2
 
Hal  ini  sudah  ditunjukkan  Al-Qur'an  dalam  membicarakan
perempuan-perempuan tua yang sudah berhenti (dari  haid  dan
mengandung),  dan  tiada  gairah  terhadap laki-laki, dimana
mereka diberi keringanan dalam beberapa masalah pakaian yang
tidak diberikan kepada yang lain:
 
"Dan  perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid
dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas
mereka   dosa   menanggalkan  pakaian  mereka  dengan  tidak
(bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan  adalah
lebih  baik  bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui." (an-Nur: 60)
 
Dikecualikan  pula  laki-laki  yang  tidak  memiliki  gairah
terhadap wanita dan anak-anak kecil yang belum muncul hasrat
seksualnya.  Mereka  dikecualikan  dari   sasaran   larangan
terhadap   wanita-wanita   mukminah  dalam  hal  menampakkan
perhiasannya.
 
"... Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya,
dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami
mereka, atau putra-putra suami mereka, atau  saudara-saudara
laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka,
atau   putra-putra   saudara    perempuan    mereka,    atau
wanita-wanita  Islam,  atau  budak-budak yang mereka miliki,
atau  pelayan-pelayan   laki-laki   yang   tidak   mempunyai
keinginan   (terhadap  wanita)  atau  anak-anak  yang  belum
mengerti tentang aurat wanita ..."(an-Nur: 31)
 
Selain dua kelompok yang disebutkan itulah yang menjadi tema
pembicaraan  dan  pembahasan serta memerlukan pengkajian dan
tahkik.
 
Golongan yang mewajibkan  wanita  menutup  seluruh  tubuhnya
hingga  wajah  dan  telapak  tangannya, dan tidak menjadikan
wajah dan tangan ini sebagai yang dikecualikan oleh ayat:
 
"... Dan janganlah mereka menampakkan  perhiasannya  kecuali
yang biasa tampak daripadanya ..." (an-Nur: 31)
 
Bahkan  mereka  menganggap bahwa perhiasan yang biasa tampak
itu adalah pakaian luar seperti baju  panjang,  mantel,  dan
sebagainya,   atau   yang   tampak  karena  darurat  seperti
tersingkap karena ditiup angin kencang dan sebagainya.  Maka
tidak   mengherankan   lagi  bahwa  berjabat  tangan  antara
laki-laki dengan wanita menurut mereka adalah haram.  Sebab,
apabila   kedua   telapak  tangan  itu  wajib  ditutup  maka
melihatnya adalah haram; dan apabila melihatnya saja  haram,
apa  lagi  menyentuhnya.  Sebab,  menyentuh  itu lebih berat
daripada melihat,  karena  ia  lebih  merangsang,  sedangkan
tidak ada jabat tangan tanpa bersentuhan kulit.
 
Tetapi  sudah dikenal bahwa mereka yang berpendapat demikian
adalah golongan minoritas, sedangkan mayoritas  fuqaha  dari
kalangan  sahabat,  tabi'in,  dan orang-orang sesudah mereka
berpendapat bahwa yang dikecualikan dalam ayat "kecuali yang
biasa  tampak  daripadanya" adalah wajah dan kedua (telapak)
tangan.
 
Maka apakah dalil mereka untuk mengharamkan berjabat  tangan
yang tidak disertai syahwat?
 
Sebenarnya  saya telah berusaha mencari dalil yang memuaskan
yang secara tegas menetapkan  demikian,  tetapi  tidak  saya
temukan.
 
Dalil  yang terkuat dalam hal ini ialah menutup pintu fitnah
(saddudz-dzari'ah), dan  alasan  ini  dapat  diterima  tanpa
ragu-ragu  lagi  ketika  syahwat tergerak, atau karena takut
fitnah  bila  telah  tampak  tanda-tandanya.  Tetapi   dalam
kondisi aman - dan ini sering terjadi - maka dimanakah letak
keharamannya?
 
Sebagian ulama ada yang berdalil dengan sikap Nabi saw. yang
tidak   berjabat   tangan  dengan  perempuan  ketika  beliau
membai'at mereka pada waktu penaklukan Mekah  yang  terkenal
itu, sebagaimana disebutkan dalam surat al-Mumtahanah.
 
Tetapi ada satu muqarrar (ketetapan) bahwa apabila Nabi saw.
meninggalkan suatu urusan, maka hal itu tidak menunjukkan  -
secara   pasti   -   akan  keharamannya.  Adakalanya  beliau
meninggalkan sesuatu karena haram, adakalanya karena makruh,
adakalanya  hal  itu  kurang  utama,  dan  adakalanya  hanya
semata-mata karena beliau tidak berhasrat kepadanya, seperti
beliau tidak memakan daging biawak padahal daging itu mubah.
 
Kalau  begitu,  sikap Nabi saw. tidak berjabat tangan dengan
wanita itu tidak  dapat  dijadikan  dalil  untuk  menetapkan
keharamannya,  oleh  karena  itu  harus  ada dalil lain bagi
orang yang berpendapat demikian.
 
Lebih dari itu,  bahwa  masalah  Nabi  saw.  tidak  berjabat
tangan  dengan  kaum  wanita  pada  waktu  bai'at  itu belum
disepakati,   karena   menurut    riwayat    Ummu    Athiyah
al-Anshariyah  r.a.  bahwa  Nabi saw. pernah berjabat tangan
dengan wanita pada waktu bai'at, berbeda dengan riwayat dari
Ummul Mukminin Aisyah r.a. dimana beliau mengingkari hal itu
dan bersumpah menyatakan tidak terjadinya jabat tangan itu.
 
Imam Bukhari meriwayatkan dalam sahihnya dari  Aisyah  bahwa
Rasulullah   saw.   menguji   wanita-wanita   mukminah  yang
berhijrah dengan ayat ini, yaitu firman Allah:
 
"Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan  yang
beriman  untuk  mengadakan  janji  setia, bahwa mereka tidak
akan mempersekutukan sesuatu pun dengan  Allah;  tidak  akan
mencuri,   tidak   akan   berzina,   tidak   akan   membunuh
anak-anaknya,  tidak  akan   berbuat   dusta   yang   mereka
ada-adakan  antara tangan dengan kaki mereka3 dan tidak akan
mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka  terimalah  janji
setia  mereka  dan  mohonkanlah  ampunan  kepada Allah untuk
mereka.  Sesungguhnya  Allah  Maha   Pengampun   lagi   Maha
Penyayang." (al-Mumtahanah: 12)
 
Aisyah  berkata,  "Maka  barangsiapa  diantara wanita-wanita
beriman itu yang menerima syarat tersebut,  Rasulullah  saw.
berkata kepadanya, "Aku telah membai'atmu - dengan perkataan
saja - dan  demi  Allah  tangan  beliau  sama  sekali  tidak
menyentuh  tangan  wanita  dalam  bai'at  itu;  beliau tidak
membai'at mereka melainkan dengan  mengucapkan,  'Aku  telah
membai'atmu tentang hal itu.'" 4
 
Dalam  mensyarah  perkataan  Aisyah "Tidak, demi Allah ...,"
al-Hafizh Ibnu  Hajar  berkata  dalam  Fathul  Bari  sebagai
berikut:   Perkataan  itu  berupa  sumpah  untuk  menguatkan
berita,  dan  dengan  perkataannya  itu  seakan-akan  Aisyah
hendak   menyangkal   berita  yang  diriwayatkan  dari  Ummu
Athiyah.   Menurut   riwayat   Ibnu    Hibban,    al-Bazzar,
ath-Thabari,  dan  Ibnu  Mardawaih,  dari (jalan) Ismail bin
Abdurrahman dari  neneknya,  Ummu  Athiyah,  mengenai  kisah
bai'at, Ummu Athiyah berkata:
 
"Lalu  Rasulullah saw. mengulurkan tangannya dari luar rumah
dan kami mengulurkan tangan kami dari dalam rumah,  kemudian
beliau berucap, 'Ya Allah, saksikanlah.'"
 
Demikian  pula hadits sesudahnya - yakni sesudah hadits yang
tersebut dalam al-Bukhari - dimana Aisyah mengatakan:
 
"Seorang wanita menahan tangannya"
 
Memberi kesan seolah-olah  mereka  melakukan  bai'at  dengan
tangan mereka.
 
Al-Hafizh  (Ibnu  Hajar)  berkata:  "Untuk  yang pertama itu
dapat diberi jawaban bahwa  mengulurkan  tangan  dari  balik
hijab  mengisyaratkan telah terjadinya bai'at meskipun tidak
sampai berjabat tangan...  Adapun  untuk  yang  kedua,  yang
dimaksud  dengan  menggenggam  tangan  itu  ialah menariknya
sebelum  bersentuhan...  Atau  bai'at  itu  terjadi   dengan
menggunakan lapis tangan.
 
Abu Daud meriwayatkan dalam al-Marasil dari asy-Sya'bi bahwa
Nabi saw. ketika membai'at kaum wanita beliau  membawa  kain
selimut  bergaris  dari  Qatar  lalu beliau meletakkannya di
atas tangan beliau, seraya berkata,
 
"Aku tidak berjabat dengan wanita."
 
Dalam  Maghazi  Ibnu  Ishaq  disebutkan  bahwa   Nabi   saw.
memasukkan  tangannya  ke  dalam  bejana dan wanita itu juga
memasukkan tangannya bersama beliau.




http://media.isnet.org/islam/Qardhawi/Kontemporer/Jabat1.html

BERJABAT TANGAN ANTARA LAKI-LAKI DENGAN PEREMPUAN (1/3)

Dr. Yusuf Qardhawi
 
PERTANYAAN
 
Sebuah persoalan yang sedang saya hadapi, dan  sudah  barang
tentu  juga  dihadapi  orang  lain,  yaitu  masalah berjabat
tangan antara laki-laki dengan  wanita,  khususnya  terhadap
kerabat yang bukan mahram saya, seperti anak paman atau anak
bibi, atau istri saudara ayah atau istri saudara  ibu,  atau
saudara  wanita  istri saya, atau wanita-wanita lainnya yang
ada hubungan  kekerabatan  atau  persemendaan  dengan  saya.
Lebih-lebih  dalam momen-momen tertentu, seperti datang dari
bepergian, sembuh dari sakit, datang dari haji  atau  umrah,
atau  saat-saat lainnya yang biasanya para kerabat, semenda,
tetangga, dan teman-teman lantas menemuinya dan  bertahni'ah
(mengucapkan  selamat  atasnya)  dan  berjabat tangan antara
yang satu dengan yang lain.
 
Pertanyaan saya, apakah ada nash  Al-Qur'an  atau  As-Sunnah
yang  mengharamkan  berjabat  tangan antara laki-laki dengan
wanita,  sementara  sudah  saya  sebutkan  banyak   motivasi
kemasyarakatan atau kekeluargaan yang melatarinya, disamping
ada rasa saling percaya. aman dari  fitnah,  dan  jauh  dari
rangsangan  syahwat. Sedangkan kalau kita tidak mau berjabat
tangan, maka mereka memandang kita orang-orang beragama  ini
kuno   dan   terlalu   ketat,   merendahkan  wanita,  selalu
berprasangka buruk kepadanya, dan sebagainya.
 
Apabila ada dalil syar'inya, maka kami  akan  menghormatinya
dengan tidak ragu-ragu lagi, dan tidak ada yang kami lakukan
kecuali mendengar dan mematuhi, sebagai konsekuensi keimanan
kami  kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan jika hanya semata-mata
hasil ijtihad fuqaha-fuqaha kita terdahulu, maka  adakalanya
fuqaha-fuqaha   kita   sekarang   boleh   berbeda   pendapat
dengannya, apabila  mereka  mempunyai  ijtihad  yang  benar,
dengan  didasarkan  pada  tuntutan peraturan yang senantiasa
berubah dan kondisi kehidupan yang selalu berkembang.
 
Karena itu, saya menulis  surat  ini  kepada  Ustadz  dengan
harapan  Ustadz  berkenan membahasnya sampai ke akar-akarnya
berdasarkan  Al-Qur'anul  Karim  dan  Al-Hadits  asy-Syarif.
Kalau   ada  dalil  yang  melarang  sudah  tentu  kami  akan
berhenti; tetapi jika dalam  hal  ini  terdapat  kelapangan,
maka  kami  tidak  mempersempit  kelapangan-kelapangan  yang
diberikan Allah kepada kami, lebih-lebih  sangat  diperlukan
dan bisa menimbulkan "bencana" kalau tidak dipenuhi.
 
Saya  berharap  kesibukan-kesibukan  Ustadz  yang banyak itu
tidak menghalangi Ustadz  untuk  menjawab  surat  saya  ini,
sebab  -  sebagaimana  saya  katakan di muka - persoalan ini
bukan  persoalan  saya  seorang,  tetapi  mungkin  persoalan
berjuta-juta orang seperti saya.
 
Semoga  Allah  melapangkan  dada  Ustadz untuk menjawab, dan
memudahkan kesempatan bagi Ustadz  untuk  menahkik  masalah,
dan mudah-mudahan Dia menjadikan Ustadz bermanfaat.
 
JAWABAN
 
Tidak  perlu  saya  sembunyikan kepada saudara penanya bahwa
masalah  hukum  berjabat  tangan  antara  laki-laki   dengan
perempuan  -  yang  saudara tanyakan itu - merupakan masalah
yang amat penting, dan untuk menahkik  hukumnya  tidak  bisa
dilakukan  dengan  seenaknya.  Ia memerlukan kesungguhan dan
pemikiran yang optimal dan ilmiah sehingga  si  mufti  harus
bebas  dari  tekanan  pikiran  orang  lain atau pikiran yang
telah diwarisi dari masa-masa lalu, apabila  tidak  didapati
acuannya    dalam    Al-Qur'an    dan   As-Sunnah   sehingga
argumentasi-argumentasinya    dapat    didiskusikan    untuk
memperoleh  pendapat  yang  lebih  kuat  dan lebih mendekati
kebenaran menurut  pandangan  seorang  faqih,  yang  didalam
pembahasannya    hanya    mencari    ridha    Allah,   bukan
memperturutkan hawa nafsu.
 
Sebelum memasuki pembahasan  dan  diskusi  ini,  saya  ingin
mengeluarkan  dua  buah  gambaran  dari  lapangan  perbedaan
pendapat ini, yang saya percaya bahwa hukum  kedua  gambaran
itu  tidak  diperselisihkan  oleh  fuqaha-fuqaha  terdahulu,
menurut pengetahuan saya. Kedua gambaran itu ialah:
 
Pertama, diharamkan berjabat tangan  dengan  wanita  apabila
disertai  dengan  syahwat  dan  taladzdzudz (berlezat-lezat)
dari salah satu pihak, laki-laki atau wanita (kalau keduanya
dengan  syahwat  sudah  barang  tentu  lebih terlarang lagi;
penj.) atau dibelakang itu dikhawatirkan terjadinya  fitnah,
menurut dugaan yang kuat. Ketetapan diambil berdasarkan pada
hipotesis bahwa menutup jalan menuju  kerusakan  itu  adalah
wajib,  lebih-lebih  jika  telah  tampak  tanda-tandanya dan
tersedia sarananya.
 
Hal ini diperkuat lagi oleh apa yang dikemukakan para  ulama
bahwa  bersentuhan  kulit  antara laki-laki dengannya - yang
pada asalnya mubah itu - bisa berubah menjadi haram  apabila
disertai   dengan   syahwat  atau  dikhawatirkan  terjadinya
fitnah,1 khususnya dengan  anak  perempuan  si  istri  (anak
tiri), atau saudara sepersusuan, yang perasaan hatinya sudah
barang tentu tidak sama dengan perasaan  hati  ibu  kandung,
anak  kandung,  saudara  wanita sendiri, bibi dari ayah atau
ibu, dan sebagainya.
 
Kedua,  kemurahan  (diperbolehkan)  berjabat  tangan  dengan
wanita tua yang sudah tidak punya gairah terhadap laki-laki,
demikian pula dengan anak-anak kecil  yang  belum  mempunyai
syahwat  terhadap  laki-laki,  karena berjabat tangan dengan
mereka itu aman dari sebab-sebab fitnah. Begitu pula bila si
laki-laki sudah tua dan tidak punya gairah terhadap wanita.
 
Hal  ini  didasarkan  pada riwayat dari Abu Bakar r.a. bahwa
beliau pernah berjabat tangan dengan beberapa  orang  wanita
tua,  dan  Abdullah bin Zubair mengambil pembantu wanita tua
untuk  merawatnya,  maka  wanita  itu   mengusapnya   dengan
tangannya dan membersihkan kepalanya dari kutu.2
 
Hal  ini  sudah  ditunjukkan  Al-Qur'an  dalam  membicarakan
perempuan-perempuan tua yang sudah berhenti (dari  haid  dan
mengandung),  dan  tiada  gairah  terhadap laki-laki, dimana
mereka diberi keringanan dalam beberapa masalah pakaian yang
tidak diberikan kepada yang lain:
 
"Dan  perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid
dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas
mereka   dosa   menanggalkan  pakaian  mereka  dengan  tidak
(bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan  adalah
lebih  baik  bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui." (an-Nur: 60)
 
Dikecualikan  pula  laki-laki  yang  tidak  memiliki  gairah
terhadap wanita dan anak-anak kecil yang belum muncul hasrat
seksualnya.  Mereka  dikecualikan  dari   sasaran   larangan
terhadap   wanita-wanita   mukminah  dalam  hal  menampakkan
perhiasannya.
 
"... Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya,
dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami
mereka, atau putra-putra suami mereka, atau  saudara-saudara
laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka,
atau   putra-putra   saudara    perempuan    mereka,    atau
wanita-wanita  Islam,  atau  budak-budak yang mereka miliki,
atau  pelayan-pelayan   laki-laki   yang   tidak   mempunyai
keinginan   (terhadap  wanita)  atau  anak-anak  yang  belum
mengerti tentang aurat wanita ..."(an-Nur: 31)
 
Selain dua kelompok yang disebutkan itulah yang menjadi tema
pembicaraan  dan  pembahasan serta memerlukan pengkajian dan
tahkik.
 
Golongan yang mewajibkan  wanita  menutup  seluruh  tubuhnya
hingga  wajah  dan  telapak  tangannya, dan tidak menjadikan
wajah dan tangan ini sebagai yang dikecualikan oleh ayat:
 
"... Dan janganlah mereka menampakkan  perhiasannya  kecuali
yang biasa tampak daripadanya ..." (an-Nur: 31)
 
Bahkan  mereka  menganggap bahwa perhiasan yang biasa tampak
itu adalah pakaian luar seperti baju  panjang,  mantel,  dan
sebagainya,   atau   yang   tampak  karena  darurat  seperti
tersingkap karena ditiup angin kencang dan sebagainya.  Maka
tidak   mengherankan   lagi  bahwa  berjabat  tangan  antara
laki-laki dengan wanita menurut mereka adalah haram.  Sebab,
apabila   kedua   telapak  tangan  itu  wajib  ditutup  maka
melihatnya adalah haram; dan apabila melihatnya saja  haram,
apa  lagi  menyentuhnya.  Sebab,  menyentuh  itu lebih berat
daripada melihat,  karena  ia  lebih  merangsang,  sedangkan
tidak ada jabat tangan tanpa bersentuhan kulit.
 
Tetapi  sudah dikenal bahwa mereka yang berpendapat demikian
adalah golongan minoritas, sedangkan mayoritas  fuqaha  dari
kalangan  sahabat,  tabi'in,  dan orang-orang sesudah mereka
berpendapat bahwa yang dikecualikan dalam ayat "kecuali yang
biasa  tampak  daripadanya" adalah wajah dan kedua (telapak)
tangan.
 
Maka apakah dalil mereka untuk mengharamkan berjabat  tangan
yang tidak disertai syahwat?
 
Sebenarnya  saya telah berusaha mencari dalil yang memuaskan
yang secara tegas menetapkan  demikian,  tetapi  tidak  saya
temukan.
 
Dalil  yang terkuat dalam hal ini ialah menutup pintu fitnah
(saddudz-dzari'ah), dan  alasan  ini  dapat  diterima  tanpa
ragu-ragu  lagi  ketika  syahwat tergerak, atau karena takut
fitnah  bila  telah  tampak  tanda-tandanya.  Tetapi   dalam
kondisi aman - dan ini sering terjadi - maka dimanakah letak
keharamannya?
 
Sebagian ulama ada yang berdalil dengan sikap Nabi saw. yang
tidak   berjabat   tangan  dengan  perempuan  ketika  beliau
membai'at mereka pada waktu penaklukan Mekah  yang  terkenal
itu, sebagaimana disebutkan dalam surat al-Mumtahanah.
 
Tetapi ada satu muqarrar (ketetapan) bahwa apabila Nabi saw.
meninggalkan suatu urusan, maka hal itu tidak menunjukkan  -
secara   pasti   -   akan  keharamannya.  Adakalanya  beliau
meninggalkan sesuatu karena haram, adakalanya karena makruh,
adakalanya  hal  itu  kurang  utama,  dan  adakalanya  hanya
semata-mata karena beliau tidak berhasrat kepadanya, seperti
beliau tidak memakan daging biawak padahal daging itu mubah.
 
Kalau  begitu,  sikap Nabi saw. tidak berjabat tangan dengan
wanita itu tidak  dapat  dijadikan  dalil  untuk  menetapkan
keharamannya,  oleh  karena  itu  harus  ada dalil lain bagi
orang yang berpendapat demikian.
 
Lebih dari itu,  bahwa  masalah  Nabi  saw.  tidak  berjabat
tangan  dengan  kaum  wanita  pada  waktu  bai'at  itu belum
disepakati,   karena   menurut    riwayat    Ummu    Athiyah
al-Anshariyah  r.a.  bahwa  Nabi saw. pernah berjabat tangan
dengan wanita pada waktu bai'at, berbeda dengan riwayat dari
Ummul Mukminin Aisyah r.a. dimana beliau mengingkari hal itu
dan bersumpah menyatakan tidak terjadinya jabat tangan itu.
 
Imam Bukhari meriwayatkan dalam sahihnya dari  Aisyah  bahwa
Rasulullah   saw.   menguji   wanita-wanita   mukminah  yang
berhijrah dengan ayat ini, yaitu firman Allah:
 
"Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan  yang
beriman  untuk  mengadakan  janji  setia, bahwa mereka tidak
akan mempersekutukan sesuatu pun dengan  Allah;  tidak  akan
mencuri,   tidak   akan   berzina,   tidak   akan   membunuh
anak-anaknya,  tidak  akan   berbuat   dusta   yang   mereka
ada-adakan  antara tangan dengan kaki mereka3 dan tidak akan
mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka  terimalah  janji
setia  mereka  dan  mohonkanlah  ampunan  kepada Allah untuk
mereka.  Sesungguhnya  Allah  Maha   Pengampun   lagi   Maha
Penyayang." (al-Mumtahanah: 12)
 
Aisyah  berkata,  "Maka  barangsiapa  diantara wanita-wanita
beriman itu yang menerima syarat tersebut,  Rasulullah  saw.
berkata kepadanya, "Aku telah membai'atmu - dengan perkataan
saja - dan  demi  Allah  tangan  beliau  sama  sekali  tidak
menyentuh  tangan  wanita  dalam  bai'at  itu;  beliau tidak
membai'at mereka melainkan dengan  mengucapkan,  'Aku  telah
membai'atmu tentang hal itu.'" 4
 
Dalam  mensyarah  perkataan  Aisyah "Tidak, demi Allah ...,"
al-Hafizh Ibnu  Hajar  berkata  dalam  Fathul  Bari  sebagai
berikut:   Perkataan  itu  berupa  sumpah  untuk  menguatkan
berita,  dan  dengan  perkataannya  itu  seakan-akan  Aisyah
hendak   menyangkal   berita  yang  diriwayatkan  dari  Ummu
Athiyah.   Menurut   riwayat   Ibnu    Hibban,    al-Bazzar,
ath-Thabari,  dan  Ibnu  Mardawaih,  dari (jalan) Ismail bin
Abdurrahman dari  neneknya,  Ummu  Athiyah,  mengenai  kisah
bai'at, Ummu Athiyah berkata:
 
"Lalu  Rasulullah saw. mengulurkan tangannya dari luar rumah
dan kami mengulurkan tangan kami dari dalam rumah,  kemudian
beliau berucap, 'Ya Allah, saksikanlah.'"
 
Demikian  pula hadits sesudahnya - yakni sesudah hadits yang
tersebut dalam al-Bukhari - dimana Aisyah mengatakan:
 
"Seorang wanita menahan tangannya"
 
Memberi kesan seolah-olah  mereka  melakukan  bai'at  dengan
tangan mereka.
 
Al-Hafizh  (Ibnu  Hajar)  berkata:  "Untuk  yang pertama itu
dapat diberi jawaban bahwa  mengulurkan  tangan  dari  balik
hijab  mengisyaratkan telah terjadinya bai'at meskipun tidak
sampai berjabat tangan...  Adapun  untuk  yang  kedua,  yang
dimaksud  dengan  menggenggam  tangan  itu  ialah menariknya
sebelum  bersentuhan...  Atau  bai'at  itu  terjadi   dengan
menggunakan lapis tangan.
 
Abu Daud meriwayatkan dalam al-Marasil dari asy-Sya'bi bahwa
Nabi saw. ketika membai'at kaum wanita beliau  membawa  kain
selimut  bergaris  dari  Qatar  lalu beliau meletakkannya di
atas tangan beliau, seraya berkata,
 
"Aku tidak berjabat dengan wanita."
 
Dalam  Maghazi  Ibnu  Ishaq  disebutkan  bahwa   Nabi   saw.
memasukkan  tangannya  ke  dalam  bejana dan wanita itu juga
memasukkan tangannya bersama beliau.




http://media.isnet.org/islam/Qardhawi/Kontemporer/Jabat1.html