Orang Mukmin itu selalu mengurusi jiwanya. Ia mengevaluasi dirinya
karena Allah. Hisab pada hari kiamat menjadi amat ringan bagi
orang-orang yang melakukan perhitungan terhadap dirinya di dunia
Rasulullah Saw. bersabda, "Orang yang cerdas adalah orang yang
mengendalikan hawa nafsunya dan beramal untuk menghadapi kehidupan
setelah kematian. Dan, orang yang lemah adalah orang yang mengikuti
nafsunya seraya berangan-angan kepada Allah." (Diriwayatkan oleh
At-Tirmidzi dan ia menyatakan hadits hasan)
Allah telah menetapkan perjalanan hidup yang seharusnya ditempuh manusia
di dunia. Dia juga telah menetapkan tujuan yang semestinya dicapai
manusia. Dan, kesuksesan seseorang diukur dengan hasil akhirnya. Allah
Swt. menegaskan,"Setiap jiwa akan merasakan mati. Maka siapa yang
dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke surga sungguh ia telah
beruntung. Dan, tidaklah kehidupan dunia itu melainkan kesesenangan
tipuan." (Q.S. Ali Imran [3]: 185)
Tentu saja hal itu terjadi di hari akhirat. Sehingga, seseorang tidak
dapat menunggu yang akan didapatkan di akhirat untuk kemudian melakukan
perbaikan (di dunia) karena itu merupakan hasil akhir. Dan, kesempatan
untuk mengubah dan kembali sudah tidak ada lagi. Karena, hasil apa pun
yang diperoleh pada hari akhirat adalah balasan atas yang dilakukan
selama hidup di dunia. Masa beramal sudah usai dan hari akhirat adalah
masa menerima balasan. Allah berfirman:
"Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarah, niscaya dia akan
melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat
zarah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya." (Q.S. Al-Zalzalah [99]:
7-8)
Allah Swt. berfirman pula, "Dan carilah (kehidupan) negri akhirat pada
apa yang Allah berikan kepadamu dan janganlah kamu melupakan bagianmu di
dunia. Dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik
kepadamu dan janganlah melakukan kerusakan di bumi sesungguhnya Allah
tidak suka kepada para perusak." (Q.S. Al-Qashash [28]: 77)
Dengan ayat tersebut, Allah memerintahkan kita untuk menjadikan
kehidupan dunia sebagai alat untuk mencapai kehidupan akhirat yang
bahagia. Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain bagi kita yang
menginginkan kehidupan bahagia hakiki di hari setelah kematain kelak
selain melaksanakan yang disabdakan Rasulullah Saw. itu. Dan, itulah
orang yang cerdas. "Orang yang cerdas adalah orang yang mengendalikan
hawa nafsunya dan beramal untuk menghadapi setelah kematian. Dan orang
yang lemah adalah orang yang mengikuti nafsunya seraya berangan-angan
kepada Allah."
Bisa dimengerti jika Rasulullah Saw. menyebut orang yang mampu
mengendalikan hawa nafsu dan berjuang untuk membangun kehidupan setelah
kematian sebagai orang yang cerdas. Karena, orang yang mampu
mengendalikan hawa nafsu adalah orang yang akalnya merdeka. Dia mampu
mengambil hal terbaik dari segala yang dia jalanai dalam kehidupan.
Akalnya difungsikan secara baik dalam menilai baik dan buruk. Fikirannya
digunakan untuk mentafakuri ayat-ayat Allah baik yang bersifat
kauniyyah maupun qauliyyah, sebagaimana digambarkan oleh-Nya:
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan
siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal,
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau
dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit
dan bumi (seraya berkata), 'Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan
semua ini sia-sia; Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka'."
(Q.S. Ali Imran [3]: 190-191)
Dan, dapat difahami pula bila Rasulullah Saw. menyebut orang yang
berbuat untuk menghadapi kehidupan setelah kemataian sebagai orang yang
cerdas. Karena, orang ini berjalan dan bekerja dalam hidupnya dengan
berpegang pada orientasi ke depan yang jauh. Tidak hanya berfikir dan
berorientasi pada masa yang pendek. Dia mengukur dirinya dan segala yang
akan dilakukannya dengan takaran target yang ingin dicapai. Ia selalu
bertanya dalam dirinya saat akan melakukan suatau pekerjaan atau
melampiaskan kesenangan, "Adakah hal ini mendekatkan saya ke surga atau
menjauhkan saya darinya?"
Sedangkan, orang lemah tak berdaya bertekuk lutut dalam penguasaan hawa
nafsu. Dan, dia hanya berangan-angan bahwa Allah akan meberinya sesuatu
yang indah dan menyenangkan, tanpa beramal dan berjuang.
Di sinilah arti penting muhasabah. Muhahasabah adalah evaluasi terhadap
diri sendiri dan menghitung-hitung yang sudah dan yang belum dilakukan.
Muhasabah adalah upaya koreksi atau pelurusan terhadap diri kita agar
senantiasa berada di jalan yang diridoi oleh Allah Swt.
Seorang yang beriman bukan berarti tidak pernah melakukan kesalahan
dalam hidupnya. Bukan pula yang tidak pernah mengalami penyimpangan
dalam hidupnya. Melainkan, orang yang apabila melakukan kesalahan dan
mengalami penyimpangan bersegera melakukan perbaikan dan meluruskan
arah. Allah Swt. berfirman:
"Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau
menzalimi diri sendiri, (segera) mengingat Allah, lalu memohon ampunan
atas dosa-dosanya, dan siapa (lagi) yang dapat mengampuni dosa-dosa
selain Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan dosa itu, sedang
mereka mengetahui." (Q.S. Ali Imran [3]: 135)
Ibarat pilot, dalam satu rute penerbangan ia sangat mungkin melakukan
kesalahan. Itu tidak masalah selama dia memiliki tiga hal; rute dan
tujuan perjalanan, kompas pemandu, dan selalu kembali dari waktu ke
waktu.
Umar bin Khattab mengatakan, "Hisablah (evaluasilah) diri kalian sebelum
dihisab (oleh Allah di hari akhirat), dan timbanglah diri kalian
sebelum ditimbang (oleh Allah pada hari akhirat). Karena kalian akan
lebih baik melakukan hisab hari ini dari pada dihisab kelak. Berhiaslah
untuk hari perhitungan terbesar di mana kalian ditampilkan dan tidak ada
sesuatu pun yang tersembunyi dari diri kalian."
Imam Ahmad meriwayatkan dari Wahb, dia menyatakan bahwa di dalam hikmah
Nabi Dawud a.s. tertulis, "Hak bagi orang berakal ialah tidak lalai
terhadap empat waktu/momentum. Satu waktu ia bermunajat kepada Tuhannya.
Satu waktu ia memuhasabah jiwanya. Satu waktu ia bergaul dengan
teman-temannya yang menjelaskan aib-aibnya dan meluruskan jiwanya. Dan
satu waktu ia menyepi antara jiwanya dengan kelezatannya memikikirkan
yang halal dan yang menjadikan jiwanya terlihat indah." (Kumpulan
Tulisan Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah, Iqbal kadir, Penerbit Buku Islam
Rahmatan, Jakarta).
Al-Hasan berkata, "Orang Mukmin itu selalu mengurusi jiwanya. Ia
mengevaluasi dirinya karena Allah. Hisab pada hari kiamat menjadi amat
ringan bagi orang-orang yang melakukan perhitungan terhadap dirinya di
dunia. Dan hisab tersebut menjadi amat sulit bagi orang-orang yang
menjalani hidup ini tanpa evaluasi di dalamnya." Allahu a'lam.
*http://www.islamedia.web.id/2013/06/orang-mukmin-itu-selalu-muhasabah.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar