Jumat, 11 September 2015

RESUME BUKU ETIKA JAMA'AH

RESUME BUKU ETIKA JAMA’AH Kaum Muslimin haruslah berjama’ah. Jama’ah yang dimaksud adalah sekumpulan kaum Muslimin yang berjuang memiliki agenda kerja dan tujuan sama, memiliki manhaj yang benar yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Jama’ah tersebut tidak hanya bermanfaat hanya untuk kader-kadernya tetapi harus bisa menjadi ruuhun jadiidun tasrii fii jasadil ummah atau jiwa baru yang mengalir di tubuh umat/ bisa diterima dan menjadi milik umat. Dalam Jama’ah hendaknya ada etika jama’ah yang mengangkat tinggi nilai keberagaman, menjunjung tinggi kesatuan, membuang jauh sifat tercela, arogansi dan fanatisme golongan. Etika jama’ah ini berpilar pada iman dan akhlaq. BAB I NORMA-NORMA JAMA’AH DA’WAH · Mengikuti manhaj pertengahan · Jama’ah da’wah yang syumul, bukan darwisy (darwisy : wawasan ibadahnya dibatasi dalam lingkungan sempit). Yang perlu diingat adalah Islam itu kaffah. Ta’ashub (fanatik) Seharusnya ta’ashub itu kepada kebenaran , kepada hukum syar’i bukan kepada tandzim dan para tokohnya, da’wah itu lil islam bukan lit tandzim. Intima’ (komitmen) terhadap Islam harus didahulukan daripada intima’ terhadap tandzim. · Jamaah pembangun ukhuwah Islamiyah “Ukhuwah bukanlah eratnya jabat tangan dan senyuman manis di suasana meriah, bukan pula untaian kata-kata indah di kala gundah. Ia lebih dalam dari itu semua. Ukhuwah menuntut interaksi seluruh unsur kemanusiaan yaitu hati, akal dan jasad. Ketiganya dituntut untuk terlibat membersamai ke dalam bentuk-bentuk ukhuwah. Tingkatan ukhuwah yang paling rendah adalah berlapang dada terhadap saudaranya, sedangkan tingkatan ukhuwah yang paling tinggi adalah itsar. Tahap-tahap membangun ukhuwah : - Ta’aruf (saling mengenal) - Ta’aluf (saling menjalin ikatan hati) - Tafahum (saling memahami) - Takaful (saling memberi pertolongan) · Cinta dan kasih sayang sebagai landasan Kekuatan atas dasar cinta lebih dahsyat ketimbang kekuatan atas dasar struktur. · Bukan jama’ah takfir Juru da’wah bukanlah pemvonis. M. Rosyid Ridho berkata “bekerjasamalah dalam hal-hal yang disepakati dan toleransilah dalam hal yang diperselisihkan”. · Jama’ah perindu surga Kader-kader jama’ah harus memiliki rasa rindu surga. · Tuntutan dan konsekuensi Secara umum tuntutan jama’ah kepada anggota adalah - Faham, merupakan tuntutan untuk akal Maksud dari faham adalah tidak lagi cenderung kepada ideologi lain, menghargai prinsip-prinsip jama’ah serta tugas-tugas untuk menyampaikan fikroh-fikroh Islam. - Ikhlas, merupakan tuntutan untuk hati Maksud dari ikhlas adalah hati tidak tergoyah dengan iming-iming duniawi. - Wala’( loyalitas), merupakan tuntutan untuk amal. Tuntutan wala’ adalah agar aktivitasnya jelas dan tampak secara lahiriyah sehingga menjadi teladan dan harapan umat. Konsekuensi dari berjama’ah berupa : - Fina’ (melebur), melebur bersama da’wah dan da’wah pun melebur bersamanya. - Tadlhiyyah (pengorbanan), hartanya menjadi bagian dari aset da’wah, kedudukannya menjadi bagian dari proses perjalanan da’wah , masa depannya menjadi bagian dari masa depan da’wah. Menjadi aktivis da’wah berarti menjual dirinya kepada Tuhannya dan kehidupannya sudah terjual habis diborong olehNya. BAB II ANTARA PEMIMPIN DAN ANGGOTA · Mendengar dan taat Mendengar didahulukan sebelum taat, sebab orang yang tidak mendengar tidak ada kewajiban untuk taat. Taatilah pemimpinmu meskipun ia lebih muda. · Konsekuensi ketaatan Kita harus taat pada pemimpin di saat susah maupun senang, bahkan saat pemimpin terkesan kurang mempedulikan kita, kita harus tetap taat. Kecuali jika memang pemimpin itu terlihat kekafirannya dan kita menemukan dalilnya dari Firman Allah, maka kita boleh tidak taat kepada pemimpin. · Cepat tanggap Seketika setelah mendengar perintah hendaknya segera. · Perhitungan yang matang, tepat dan teliti BAB III SYURO DALAM PANDANGAN BEBERAPA ULAMA Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi Syuro harus tunduk kepada hukum Al-Qur’an, Sunnah dan ijma’. Syuro disyari’atkan hanya untuk mendapat pandangan, bukan voting suara. Hussain bin Muhammad bin Ali Jabir Dalam Islam tidak ada syuro menyangkut masalah yang ada nashnya dan tidak ada artinya pendapat mayoritas di hadapan nash. Syaikh Jum’ah Amin Abdul Aziz · Pemimpin tidak boleh mengikuti pendapatnya sendiri, dengan berdalih ia memiliki pandangan ynag lebih luas. · Memang dalam kesempatan tertentu ada musyawarah tertutup dan rahasia yang dilakukan oleh para qiyadah jama’ah, hal ini tak mengapa. Namuntidak boleh ada pertemuan oposisi di luar jama’ah. BAB IV BEKAL IKHTILAF · Makna ikhtilaf Ikhtilaf/Mukholafah adalah perbedaan cara pandang antara 1 orang dengan orang lain. perbedaan tersebut ada 2 : 1. Perbedaan kontradiktif (ikhtilaf tadhad), mengandung maksud pembangkangan, perpecahan yang menyebabkan permusuhan (ta’adiy) dan pertengkaran (tanazzu’). 2. Perbedaan pandangan yang disertai dengan mahabbah fillah (ikhtilaf tanawwu’), dengan catatan tidak boleh terjadi pada masalah yang qoth’iyah dan shorihah. · Perpecahan umat bukan suatu kelaziman · Persatuan umat adalah kewajiban dalam Islam · Ukhuwah merupakan ciri khas keimanan, sedangkan tafarruq adalah ciri khas kekufuran Menurut Imam As-Subki ikhtilaf ada 3 : 1. Perbedaan dalam prinsip ketuhanan (Al-Ushulul Ilahiyah), merupakan ikhtilaf yang masuk kategori bid’ah dan sesat. 2. Ikhtilaf dalam pendapat dan biang peperangan, hukumnya haram karena menyia-nyiakan kepentingan umat. 3. Ikhtilaf dalam furu’iyah, bersepakat dalam masalah ini lebih utama daripada berselisih. Sebenarnya jika Allah berkehendak, Allah akan menurunkan AlQur’an dengan ayat-ayat yang semuanya muhkamat, namun mengapa ada ayat yang mutasyabihat? Supaya bisa menjadi pendorong akal untuk melakukan ijtihad. · Sebab-sebab ikhtilaf A. Ikhtilaf yang disebabkan karena faktor akhlaq 1. Kagum dengan pendapat sendiri 2. Suudzdzon terhadap yang lain dan menuduh tanpa bukti 3. Egois dan ittiba’ul hawaa 4. Bersikukuh dalam rangka ambisi kepemimpinan 5. Fanatisme golongan/madzhab/orang 6. Fanatisme negeri/partai/jama’ah/pemimpin/suku B. Ikhtilaf karena faktor pemikiran 1. Karena perbedaan sudut pandang 2. Perbedaan penilaian terhadap ilmu pengetahuan tertentu seperti ilmu kalam, ilmu tasawuf dll, ada yang menolak dan ada yang fanatik 3. Perbedaan penilaian terhadap sebagian peristiwa sejarah dan tokohnya Landasan pemikiran dalam ikhtilaf : 1. Perbedaan dalam masalah furu’ adalah suatu kemestian bahkan merupakan rahmat 2. Mengikuti manhaj pertengahan 3. Mengutamakan muhkamat daripada mutasyabihat 4. Menelaah perbedaan pendapat para ulama 5. Tidak memastikan dan menolak dalam masalah ijtihadiyah 6. Membatasi pengertian dan istilah (ex:iman, kafir dsb) 7. Ihtimam (perhatian) terhadap problematika besar yang dihadapi umat 8. Bekerja sama dalam masalah yang disepakati 9. Toleransi dalam masalah yang diperselisihkan 10. Menahan diri dari orang yang berikrar Laa Ilaaha illallah Landasan Moral : 1. Ikhlas 2. Meninggalkan fanatisme 3. Husnudzdzon terhadap yang lain 4. Tidak menyakiti 5. Hindari Jidal, dan masih banyak lagi. · Faidah Ikhtilaf : 1. Memberikan banyak tsaqofah (wawasan ilmu pengetahuan) 2. Melatih daya nalar 3. Memberi banyak alternatif solusi bagi seseorang yang menhadapi sebuah fenomena tertentu BAB V KENAMPAKAN LOYALITAS Yang mengindikasikan loyalitas seseorang kepada jama’ah adalah 1. Konfirmatif terhadap qiyadah 2. Pemahaman mendalam terhadap instruksi Anggota jama’ah boleh mengambil ijtihad terhadap instruksi yang diterima selama tidak keluar dari koridor syar’i/manhaj yang ada, namun ingat yang dimaksud ijtihad disini adalah menyangkut kaifiyat bukan meninggalkan instruksi. 3. Sabar dalam mengemban amanah Syaikh Jum’ah Amin Abdul Aziz dalam fiqih da’wahnya menyampaikan perihal sabar sebagai berikut a. Menahan diri dari mengeluh b. Menahan lisan dari perkataan kotor dan adu domba c. Menahan anggota badan dari perbuatan dzolim 4. Vitalis dan dinamis 5. Memberikan nasihat BAB VI MEMAHAMI AMAL JAMA’I Jama’ah harus memiliki karakter : · Berdiri atas pemahaman agama yang benar · Wala’ kepada Allah, Rasul dan orang-orang beriman · Punya qiyadah robbaniyah · Membentuk generasi robbani · Universal, mencakup seluruh sisi kehidupan · Jama’ah alamiyah (internasional) Alasan ber-amal jama’i : 1. Fitrah kauniyah Pribadi-pribadi yang sholeh tidak bisa/tidak cukup untuk membangun peradaban. Tapi kepribadian sholeh tersebut harus terbingkai dalam sistem mesin perubahan yang bekerja dan berkhidmat untuk kejayaan Islam dan peradabannya. 2. Kebutuhan manusia 3. Perintah syari’at Beberapa kaidah ushul fiqih: · Jika tidak terlaksana perkara yang wajib itu sehingga ada perkara yang membawa ia terlaksana, maka perkara tersebut juga menjadi wajib. · Hukum bagi wasilah adalah hukum bagi maksud/tujuan · Suatu perkara yang menjadi penjaga terhadap sesuatu hal itu hukumnya adalah sama dengan yang dijaga Islam tidak tegak jika umat Islam tidak berjama’ah. Umar bin Khottob berkata “Wahai masyarakat Arab, bumi adalah bumi. Tidak ada Islam kecuali dengan jama’ah, tidak ada jama’ah kecuali dengan kepemimpinan dan tidak ada kepemimpinan kecuali dengan ketaatan”. 4. Kebutuhan mendesak gerakan da’wah Bentuk amal jama’i : A. Media pengikat persaudaraan (usroh). Untuk menyatukannya diperlukan rukun ukhuwah yaitu ta’aruf, tafahum dan takaful. Usroh harus mampu memenuhi kebutuhan anggota, meliputi kebutuhan siraman ruhani, kebutuhan pendalaman fikroh dan kebutuhan ilmu-ilmu da’wah. Tugas usroh adalah mentarbiyah kader untuk merealisir cita-cita tegaknya Islam, upaya yang diperankan usroh adalah menciptakan opini umum Islami (ra’yul ‘aam Al-Islami). Tugas usroh secara umum : - Mempersiapkan pemimpin robbani yang dapat membimbing umat ke arah perubahan. - Melahirkan generasi robbani (jail robbani). B. Struktur yang rapi (tandzim) Beberapa nilai lebih dari amal jama’i : - Tampak keseriusan amal - Adanya pembagian amal dan kewajiban - Pembatasan wewenang - Pengaturan mekanisme hubungan interpersonal - Terbebas dari perebutan kepemimpinan - Terpancarnya ketaatan dalam diri kader da’wah Bahaya yang mengancam amal jama’i bisa dari faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal misalnya : kepemimpinan yang tidak qualified, lemahnya tarbiyah, keputusan yang kontroversial, su’ul fahmi bil manhaj, jidal, penugasan yang tidak merata dll. Sedangkan faktor eksternal diantaranya adalah adanya fitnah, tersusupi musuh, tekanan gerakan agitasi, tekanan lingkungan, keluarga dan sahabat. Amal Jama’i Kulli (Makro) Hendaknya da’wah tidak hanya dirasakan oleh para harakiyyuun (aktivis-aktivis da’wah) tapi juga bisa dirasakan oleh seluruh umat manusia sehingga Islam bisa menjadi rohmatan lil ‘alamin, untuk itu diperlukan koordinasi dan persatuan dari berbagai macam gerakan da’wah. BAB VII MEMAHAMI WA’YUL AMNI WAS SIYASI (Kesadaran akan keamanan dan Politik) Da’wah memang pada prinsipnya terbuka, namun ada kalanya kita harus menggunakan metode sirriyyatudda’wah. Pembenaran terhadap da’wah sirriyyah jika diperhitungkan kemungkinan timbulnya fitnah karena munculnya perkara yang umat belum akrab, sementara untuk menyalurkan/menyatakan melalui lembaga belum mungkin. Sikap jujur dan husnudzdzon tidak cukup untuk menjaga kemaslahatan da’wah tanpa dibekali wa’yul amni was siyasi, terkadang justru kejujuran mendatangkan mudhorot karena musuh memanfaatkan kejujuran objek sasarannya untuk memporak-porandakan struktur di dalamnya. Cita-cita da’wah bukanlah sejauh umur pelakunya, namun da’wah merupakan kerja sinergis berkesinambungan antar generasi ke generasi berikutnya. Tidak boleh ada keterputusan gerak dan langkah sekalipun mengalami tribulasi yang amat berat, sehingga pilihan kesadaran akan amniyah dan siyasah adalah langkah cerdas dalam proses menuju wihdatul ummah. Beberapa pembenaran terhadap prinsip sirriyyah : - Ketika permulaan da’wah - Ketika diperhitungkan kemungkinan timbulnya fitnah karena munculnya perkara yang masyarakat belum akrab. - Ketika memulai pembentukan jama’ah - Ketika memperbincangkan penataan jama’ah da’wah - Ketika tidak dimungkinkan menyalurkan melalui wajihah BAB VIII SAATNYA BERPOLITIK Da’wah tidak hanya sebatas aktivitas bakti sosial dan ceramah. Jika hanya terbatas pada ceramah lalu bagaimana cara memberantas pembuat kemungkaran yang berlindung di balik undang-undang? Maka ada saatnya membuat mimbar da’wah di parlemen agar kebijakan dan undang-undang yang dibuat tidak merugikan umat Islam serta dapat mengupayakan tersingkirnya kebatilan yang terstruktur. Peran Muslimah di marhalah siyasah Keterlibatan muslimah dalam kepartaian dapat dimengerti selama partai tersebut tetap menjadi da’wah sebagai panglimanya. Peran mereka didasarkan pada maslahat yang riil dan kebutuhan yang mendesak dengan memperhatikan beberapa hal sebagai berikut : 1. Terjaganya fitrah dan tugas asasi sebagai Muslimah dalam rumah tangga demi terwujudnya keluarga sakinah. n dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. (Al-Ahzab :33) Menurut Yusuf Qhardawi ayat ini bukanlah larangan untuk keluar rumah bagi seluruh Muslimah, karena beberapa hal : a. Ayat ini khusus untuk keluarga Nabi b. Meskipun sudah ada ayat ini, Aisyah tetap keluar rumah dan ikut bergabung dalam perang Jamal sebagai reaksi untuk memenuhi kewajiban agama c. Kondisi mengharuskan wanita berperan dalam bidang kehidupan seperti sekolah, perguruan tinggi, bidan dan sebagainya dengan beberapa syarat yang harus dipenuhi. d. Peran wanita sekuler dalam pemilu dan ambisi mereka dalam kepemimpinan, pemegang kendali peranan wanita secara umum mengharuskan Muslimah yang komit untuk terjun dalam Pemilu. e. Menahan wanita dalam rumah tidak dikenal kecuali dalam jangka waktu tertentu, sebagai hukuman atas kekejian mereka. Allah Berfirman : dan (terhadap) Para wanita yang mengerjakan perbuatan keji , hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, Maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya. (An-Nisa’ : 15) 2. Menjaga adab Islami, seperti Ghadhdhul Bashor, berpakaian syar’i, iltizam dengan adab komunikasi khususnya ikhwan-akhwat, menghiasi diri dengan sifat malu, menghindari khalwat dan melakukan pertemuan sebatas kebutuhan. BAB IX MUSYAROKAH (Berpartisipasi) Musyarokah adalah bergabung dengan beberapa elemen yang memiliki kesamaan visi, berserikat dengan elemen-elemen terkuat (berpengaruh), berpartisipasi dengan institusi legal formal terkuat (negara). Manfaat musyarokah : 1. Mendapatkan payung da’wah. Gunanya untuk melindungi keberlangsungan da’wah dari tekanan, pengkerdilan dan pukulan oleh pihak yang merasa terancam dengan pertumbuhan da’wah. Rasulullah dalam perjalanan da’wahnya mencari perlindungan dengan beberapa jalan diantaranya hijrah ke Habasyah, memanfaatkan undang-undang jahiliyah yang menghargai perlindungan pihak yang kuat kepada pihak yang lemah. Beliau memanfaatkan perlindungan Abu Thalib dari intimidasi musyrikin quraisy. 2. Penyebaran kader. Dengan memanfaatkan jaringan yang tersedia memungkinkan kader da’wah menyebar ke seluruh wilayah jaringan tersebut dan dapat bekerja dengan aman dan nyaman. 3. Adanya daya ekspansi. 4. Adanya dinamika da’wah. 5. Memanfaatkan potensi internal dan eksternal. 6. Pengalaman pengelolaan da’wah untuk kepentingan umat. 7. Memperkuat dukungan terhadap da’wah. BAB X TIDAK BERAMBISI MERAIH KEPEMIMPINAN Nabi pernah bersabda : “Demi Allah, aku tidak akan mengangkat pejabat karena memintanya atau berambisi dengan jabatan itu.” (H.R Bukhari dan Muslim) Sabda Nabi kepada Abdurrahman bin Samrah : “Yaa Abdurrahman, janganlah engkau meminta kepemimpinan sebab apabila engkau diberi tentang suatu masalah engkau akan terasa dibebani dan bila tidak diberinya tentang suatu masalah maka hal itu akan menolongmu.” (H.R Bukhari) Nasihat Dr. Sayyid Muhammad Nuh Ambisi meraih kedudukan dalam istilah Dr. Sayyid Muhammad Nuh disebut At tatholi’u ila ash shadaarah wa thalabu arriyaadah yang berarti kehendak seseorang untuk mencari segalanya lebih tinggi atau lebih utama dari orang lain. Shadarah atau riyaadah berarti keinginan hati untuk menjadi pemimpin secara terang-terangan dan berlomba untuk mendapatkannya. Menurut Beliau hal ini merupakan penyakit yang dapat menimpa aktivis da’wah, mengapa disebut penyakit? Karena ada 3 kemungkinan : 1. Terdorong untuk menggapai keni’matan psikologis, yaitu kemungkinan akan adanya hasrat untuk lepas dari ikatan dan aturan orang lain. 2. Terdorong untuk meraih keni’matan materialis. 3. Kemungkinan dirinya sedang lalai. Kepemimpinan bukanlah posisi untuk dijadikan ambisi apalagi sesuatu yang diperebutkan. Konsekuensi seseorang menjadi pemimpin adalah rela mengorbankan segala sesuatu yang menjadi kesenangannya. Nasihat Imam Al-Ghazali Perlu diketahui bahwa hati yang dikuasai oleh cinta kedudukan maka cita-citanya akan terbatas pada pertimbangan makhluq dan selalu mengharap pamrih. Karakter Seorang Pemimpin Sistem demokrasi sangat tergantung kepada siapa ‘para pemainnya’. Jika karakter mereka sudah terbingkai dengan nilai-nilai Islam serta ada mekanisme kontrol nilai Islam untuk itu, maka ada harapan baik di perjalanannya. Jika tidak, maka demokrasi akan mengundang machia’vellian, politik menghalalkan segala cara. Ada i’tibar (pelajaran) dari Nabi Yusuf yaitu ketika ia menghendaki jabatan sebagaimana dalam surat Yusuf : 55 yang artinya : berkata Yusuf: "Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan". Namun kondisi yang berlaku di masyarakat Mesir saat itu berbeda dengan komunitas sebuah jama’ah. Yusuf berani mengajukan diri karena beliau melihat Negara Mesir harus diselamatkan sementara Allah telah memberinya kemampuan dan pemahaman untuk mengadakan perubahan di Mesir. Demikianlah seharusnnya gerak hati seorang da’i untuk senantiasa melihat peluang-peluang strategis untuk memulai suatu perubahan. Karakter yang harus ada dalam diri pemimpin : 1. ‘Azizun ‘alaihi maa ‘anittum (berat terasa olehnya penderitaanmu) Pemimpin harus bisa merasakan penderitaan umat. 2. Hariishun ‘alaikum (sangat menginginkan –keimanan dan keselamatan- bagimu) 3. Raufur rahiim (kasih sayang dan lemah lembut) Ambisi terhadap kedudukan yang digerakkan menuju perubahan umat agar lebih dekat lagi dengan keridhaanNya merupakan obsessivitas seorang da’i yang dibenarkan. Jika dalam jama’ah ada yang berambisi meraih kedudukan maka harus memperhatikan hal-hal berikut : - Apakah kulturnya mendukung untuk itu sehingga tidak menimbulkan fitnah - Apakah dirinya merupakan sosok yang menjadi pilihan umat ataukah sebaliknya - Apakah sudah membangun komunikasi dan konsultasi dengan jama’ah BAB XI MASALAH SENIOR DAN YUNIOR Shahabat adalah orang yang hidup sezaman dengan Rasulullah SAW, bertemu dengannya, serta beragama Islam, pernah berada dalam majelisnya walaupun seketika dan meninggal dalam keadaan Islam. Ibnu Said dalam kitabnya yang berjudul “Ath Thabaqat Al-Kubra” membagi sahabat dalam 5 peringkat yaitu 1. Sahabat yang mengikuti perang Badar dari kalangan Muhajirin 2. Sahabat yang mengikuti perang Badar dari kalangan Anshar 3. Yang memeluk Islam dari kalangan Muhajirin 4. Yang memeluk Islam dari kalangan Anshar 5. Yang memeluk Islam sebelum dan sesudah Fathu Makkah dst. Sedangkan Al-Hakim An-Naisaburi dalam kitabnya “Ma’rifah Ulumul Hadits” membagi sahabat menjadi 12 peringkat : 1. Kaum yang telah memeluk Islam di Makkah 2. Sahabat-sahabat Daarun Nadwah 3. Mereka yang hijrah ke Habasyah 4. Mereka yang menyertai perjanjian Aqabah pertama 5. Mereka yang menyertai perjanjian Aqabah kedua 6. Orang pertama dari kalangan Muhajirin yang sampai kepada Rasulullah di Quba’ sebelum mereka memasuki Madinah 7. Mereka yang mengikuti perang Badar 8. Mereka yang berhijrah di antara perang Badar dan Hudaibiyah 9. Mereka yang menyertai perjanjian Ridwan 10. Orang yang berhijrah di antara perjanjian Hudaibiyah dan Fathu Makkah 11. Orang yang masuk Islam semasa Fathu Makkah 12. Bayi dan anak-anak yang pernah melihat Rasulullah pada saat Fathu Makkah, semasa Haji Wada’ dsb. Orang-orang yang telah masuk Islam terlebih dahulu seperti Khadijah, Abu Bakar, Ali bin Abi Thalib dsb mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap perkembangan da’wah Islam di kemudian hari di kalangan bangsa Arab. Hal ini menegaskan bahwa orang-orang yang terlebih dahulu berperan, ataupun merasakan suatu peristiwa memiliki keutamaan tersendiri dalam kapasitas mereka. Namun demikian antara yang dahulu dan sekarang tetap terangkum dalam satu kesatuan dan saling tolong menolong. Berkenaan dengan kultur jama’ah sekarang sudah tentu di dalamnya ada unsur pendahulu dan kader yang datang kemudian, ada senior dan ada yunior. Ada sekelompok orang yang menjadi kader perintis dan melakukan pembinaan serta kaderisasi. Mereka melakukannya terlebih dahulu hingga suatu saat lahir generasi penerus da’wah. Para pendahulu tersebut berharap agar generasi mendatangnya menjadi lebih baik, sebab jika tidak berarti proses kaderisasi yang dilakukan para pendahulu dinyatakan gagal. Generasi baru harus mampu mengemban amanah da’wah dan berperan menjadi kader pemimpin, memiliki wadzifah tandzimiyah (amanah struktural) dan kemungkinan menjadi qiyadah bagi jama’ahnya. Sebenarnya dalam sebuah jama’ah tidak membeda-bedakan antara senior-yunior. Adanya perbedaan tersebut hanya dipakai saat diperlukan seperti untuk urusan yang sifatnya administratif seperti pendataan atau dalam peran-peran taujih dsb. Sebab para senior pasti memiliki pengalaman yang tidak dimiliki oleh generasi baru. Dengan demikian barokah ilmu akan mengalir ke semua elemen da’wah. BAB XII ASAS KEPATUTAN Kepatutan Seorang Pemimpin Kepatutan seorang pemimpin adalah penjagaan sikap dan perilaku yang terekspresikan dalam lisan, tulisan, tindakan maupun penampilan untuk menjaga ‘izzah dan kehormatannya demi menjaga citra jama’ah. Kepatutan dalam Bersikap Seorang pemimpin haruslah hati-hati dan memperhatikan gerak langkahnya dalam bersikap agar tidak menorehkan noda buruk pada jama’ah yang dipimpinnya. Pemimpin haruslah bersikap arif dan bijaksana ketika mendapat saran dan kritik dari anggota jama’ah, masyarakat umum, bahkan lawan sekalipun. Jika kritik itu menyinggung perasaan maka pemimpin harus tetap bisa bersikap dingin agar ‘izzah jama’ah bisa terjaga. Karena terkadang lawan memang sengaja memancing kemarahan pemimpin supaya terjebak hingga menyeret kemarahan kader dan anggotanya untuk berikutnya menjadi target bulan-bulanan musuh-musuh da’wah. Patutkah Jama’ah mengeluarkan kutukan? Jama’ah yang aktif berda’wah akan menerima tribulasi dari lawan-lawannya. Hal ini telah dialami oleh Rasulullah sejak awal da’wah beliau. Para musuh Nabi mengejek, menertawakan, menyebut beliau sebagai tukang sihir dan pendusta, dianggap sebagai orang gila dsb. Para sahabatpun demikian, mereka diolok-olok, disiksa dan ditindas. Jika gerakan-gerakan kontra da’wah sudah demikian, telah melampaui batas kewajaran maka mereka patut mendapat perlawanan ataupun pelajaran yang sepatutnya pula sesuai dengan batas kemampuan kita. Rasulullah SAW pernah melakukan do’a kutukan kepada seorang penentang da’wah yang ekstrim dan bengis yaitu Utbah bin Abu Lahab. Rasulullah pernah berdo’a “Ya Allah, buatlah dia dilahap seekor anjing dari ciptaan-Mu”. Dan suatu ketika doa Rasulullah dikabulkan oleh Allah, Utbah diterkam oleh seekor singa dan akhirnya meninggal. Ketika gerakan orang yang memusuhi kaum Muslimin menindas melampaui kadar batas dan harus dihentikan sementara para da’i tidak memiliki kekuatan untuk melakukan perubahan maka statement kecaman harus segera dikeluarkan baik itu secara pribadi maupun melalui lembaga (jama’ah). Hal ini diperlukan agar terang dan jelas mana yang haq dan mana yang batil, bahkan juga untuk memberi nilai (judgement) buruk terhadap sebuah kedzoliman. Dengan demikian manusia akan dapat memilih dan memilah. Jika hal tersebut tidak dilakukan maka kedzoliman akan terus eksis bahkan sangat mungkin akan mendapat dukungan dari masyarakat luas. Poligami Ta’adud atau poligami merupakan bagian dari syari’ah Islam, sunnah para Nabi dan Rasul. Syari’ah Islam membatasinya sampai empat. Ta’adud memiliki banyak hikmah, di antaranya merupakan salah satu solusi bagi penyelesaian problematika rumah tangga dan sosial. Syarat Ta’adud : 1. Mampu (Istitho’ah), mampu memberi nafkah lahir dan batin. Rasulullah SAW bersabda, “Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian mampu menikah maka menikahlah, karena dengannya lebih dapat menundukkan pandangan dan menjaga kesucian kemaluan. Barang siapa belum mampu maka hendaknya ia berpuasa karena puasa itu penangkal (syahwat)”. (H.R Bukhari dan Muslim) 2. Adil Maksud adil disini adalah adil dalam memberi nafkah lahir dan adil dalam pembagian malam serta adil dalam bersikap. Etika poligami 1. Meluruskan niat Pernikahan seorang kader da’wah harus memperhatikan kemaslahatan da’wahnya karena pernikahan merupakan salah satu sarana da’wah yang sangat efektif untuk membina generasi yang sholih. 2. Bermusyawarah dengan ‘keluarga da’wah’ “ dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.” (Asy-Syura : 38) 3. Bermusyawarah dengan keluarga 4. Memberikan keteladanan BAB XIII ASPEK KETIMPANGAN SIKAP DAN PERILAKU Ketimpangan yang dimaksud di sini adalah sikap yang tidak seimbang, hanya cenderung pada hal-hal yang disukai. Akibatnya mengganggu objek kerja da’wah maupun interaksinya dengan jama’ah, bahkan dapat menghambat serta menggagalkan kinerja yang sudah dirancang. Bentuk-bentuk ketimpangan sikap dan perilaku : 1. Aktivis da’wah yang berpenampilan kumuh Juru da’wah ibarat penjual yang menawarkan dagangan. Jika cara menyajikan dan penyajinya mampu menampilkan secara profesional maka dapat menyedot pembeli atau paling tidak ada kesan positif yang didapat. Mengambil pelajaran dari hadits riwayat Muslim tentang kedatangan Jibril kepada Nabi untuk mengajarkan para sahabat tentang agama, dimana saat itu Jibril datang dengan rapi dan berpenampilan baik, maka semestinya aktivis da’wah dalam menyampaikan pesan-pesan Islam pun harus demikian, memperhatikan tata krama dan penampilannya. 2. Aktivis da’wah yang pelupa Penyebab lupa adalah kurangnya ihtimam (perhatian) terhadap perkara yang dihadapinya. Manusia memang punya sifat salah dan lupa. Namun akan sulit ditolerir jika lupa tersebut berdampak kepada umat dan mengundang banyak kritik. Sehingga sifatnya bukan lagi lupa tetapi lalai karena banyak pihak yang terdzolimi. 3. Kecenderungan yang mengabaikan aspek lain Contoh fenomena : seseorang menghabiskan waktunya di da’wah kampus, namun tidak mempersiapkan tahapan da’wah ke depannya pasca da’wah kampus yaitu da’wah di jenjang pernikahan misalnya. Padahal ketika sudah menikah nanti banyak aspek da’wah yang harus ditangani, yaitu berbakti kepada suami. Tetangga dan masyarakat di sekitarnya juga merupakan lahan da’wah. Fenomena lainnya : keseriusan yang menghilangkan keramahan, kesibukan yang mengabaikan kerapian diri, ketekunan dalam tugas da’wah yang mengabaikan ma’isyah, memilih-milih tugas dan mengabaikan amanah dsb. 4. Aktivis da’wah yang tempramental Tempramental (infi’aliyah) adalah perasaan yang mudah sekali tergugah sebagai reaksi atas suatu masalah yang menimpanya. 5. Aktivis da’wah yang angkuh dan bersikap keras 6. Semangat di tingkat teknis dengan meninggalkan substansi Para da’i ibarat petani yang menabur benih di ladangnya. Para petani semestinya menjaga dan merawat benih tersebut dengan penuh kesabaran. Ketergesa-gesaan justru akan membuat tanaman tersebut mati sebelum waktunya. Begitu pula da’wah, menebar da’wah tidak boleh diiringi dengan janji-janji muluk yang akhirnya berujung pada ketertipuan. Janji-janji muluk tentang kemenangan Islam atas umat lain menjadi tidak pada tempatnya jika tak diiringi dengan metode-metode pencapaian yang tadarruj. Sebab syari’at Islam bukanlah barang yang bisa dikredit, artinya bersenang-senang sekarang dan bersusah-susah kemudian. Ingin menegakkan syari’at Islam bukan dengan gembar-gembor untuk segera memberlakukan syari’at dan khilafah Islamiyah sebagai solusi karena hal ini justru menyalahi sunnatullah. Harus ada langkah-langkah tarbiyah yang jelas dan tertata. 7. Munculnya sikap like dan dislike 8. Ketimpangan dalam Ibadah Contoh sikap-sikap juz’iyah : - Golongan orang yang menguasai ilmu syariah dan ‘aqliyah (filsafat). Mereka menekuni bidang tersebut namun masih saja bermaksiat dan tidak mengamalkan berbagai ketaatan. - Orang yang menguasai ilmu dan amal, senantiasa melakukan ketaatan dzahir tetapi mengabaikan aspek hati dari sifat tercela seperti sombong, riya’ dsb. - Sikap yang mengabaikan berbagai yang fardhu dan malah sibuk dengan berbagai nafilah dan keutamaan hingga melampaui batas. - Rajin berpuasa namun tidak manjaga hati dari rasa dengki, tak menjaga lisan dari menggunjing dsb. - Rajin ber-amar ma’ruf nahi mungkar namun melupakan dirinya sendiri. 9. Ambisi popularitas Perkara yang dicela dalam amal Islami adalah mencari popularitas. Namun jika popularitas itu muncul dan mengalir sendirinya secara alamiyah maka tidaklah mengapa. Popularitas yang demikian justru dibenarkan karena ketenaran dalam kebaikan akan menjadi keteladanan bagi orang banyak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar