Cara yang seragam dalam mengajar dan menguji jelas tidak memuaskan karena setiap orang itu sangat berbeda. (Howard Gardner)
Jika kita berkunjung ke Kota Gresik, Jawa Timur, tepatnya di Jalan Jaksa Agung Suprapto 76, kita akan menemukan sekolahan unik yang bernama SMP YIMI Gresik “Full Day School.” Pada awalnya, sekolah ini menempati urutan terbawah dalam haltrust masyarakat untuk menyekolahkan anaknya ke sekolah tersebut (Chatib, 2009:4). Tetapi kemudian sekolah ini melakukan perubahan mendasar yang mungkin saja terlalu berani, yakni menerapkan Multiple Intelligences System (MIS). Dan, sekarang sekolah ini telah dilirik banyak pihak dan mampu menunjukkan keunikan dan keberhasilannya dibanding sekolah lain yang lebih dulu mapan kondisinya. Apa rahasianya?
SMP YIMI Gresik “Full Day School” ini merupakan sekolah yang mengedepankan proses pembelajaran yang berkualitas dan menyenangkan untuk semua kondisi (the best process), sekolah yang berperan sebagai agen pengubah kondisi siswanya dari kondisi negatif menjadi kondisi positif (agen of change), gurunya sebagai fasilitator dan katalisator, mengajar dengan menyesuaikan gaya belajar siswa dan selalu memantik rasa ingin tahu siswa (the best teacher), dan sekolah yang mempunyai paradigma setiap siswa mempunyai kecenderungan kecerdasan yang beragam, sehingga semua siswa adalah bintang, semua siswa adalah juara dengan cara yang berbeda-beda (multiple intelligences research).
Munif Chatib –penulis buku Sekolahnya Manusia- berpendapat bahwa “Keberhasilan pendidikan Indonesia secara makro sangat ditentukan oleh jutaan institusi mikro yang bernama sekolah”. Dengan kata lain sekolah merupakan ”jantung” kehidupan. Baik buruknya seseorang, keluarga, masyarakat, dan negara diprediksi –salah satunya- merupakan hasil dari proses pendidikan (baca: pembelajaran) di sekolah. Pendidikan menjadi salah satu modal bagi seseorang agar dapat berhasil dan mampu meraih kesuksesan dalam kehidupannya (Susanto, 2005:67). Salah satu ikhtiar untuk meningkatkan kualitas mutu pendidikan adalah dengan meningkatkan kualitas belajar bagi setiap siswa.
Tidak sedikit kita jumpai, pendidikan (baca: sekolah) yang masih menganggap siswa bagaikan kertas kosong yang bebas untuk ditulisi apa saja semua gurunya. Bahkan, hal ini kebanyakan dilakukan sekolah-sekolah yang nota bene “dianggap” unggul oleh sebagian kalangan. Sekolah unggul inilah yang akan mencetak siswa menjadi “seragam”, yang ujung-ujungnya ketika di akhir tahun pelajaran dapat lulus ujian nasional. Dalam gaya belajar tradisional di ruang kelas, siswa mendengarkan penjelasan guru, lalu mengerjakan soal atau menulis ulang materi pelajaran. Bagi sebagian anak, hal ini tidak bermasalah. Namun, banyak anak yang merasakan hal ini terlalu berat, membosankan, atau bahkan justru membingungkan. Haruskah metode ini dipertahankan terus?
Multiple Intelligences
Adalah Gardner (1983) mengenalkan Teori Multiple Intelligences yang menyatakan bahwa kecerdasan meliputi sembilan kecerdasan. Yaitu linguistik, matematis, visual, musikal, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, naturalis, dan eksistensial. Teori tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa kemampuan intelektual yang diukur melalui tes IQ sangatlah terbatas, karena tes IQ hanya menekan pada kemampuan logika (matematika) dan bahasa. Padahal setiap orang mempunyai cara yang unik untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapinya. Kecerdasan bukan hanya dilihat dari nilai yang diperoleh seseorang. Kecerdasan merupakan kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk melihat suatu masalah, lalu menyelesaikan masalah tersebut atau membuat sesuatu yang dapat berguna bagi orang lain.
Dengan menerapkan multiple intelligences, maka aktivitas mengajar adalah ibarat air yang mengisi ruang-ruang murid. Ketika murid diibaratkan bagaikan botol, maka seorang pendidik dituntut untuk mampu menyesuaikan seperti botol; dan ketika murid ibarat seperti gelas, maka seorang pendidik juga dituntut dapat mengikuti seperti gelas. Artinya dengan bekal multiple intelligences, aktivitas mengajar harus sesuai (baca: disesuaikan) dengan gaya belajar setiap individu murid. (Chatib, 2009:50). Mengembangkan multiple intelligences siswa merupakan kunci utama untuk kesuksesan masa depan siswa. Dengan mempertimbangkan dan melihat cara belajar apa yang paling menonjol dari masing-masing individu, maka seorang pendidik/orangtua diharapkan dapat bertindak secara arif dan bijaksana dalam memilih gaya mengajar yang sesuai dengan gaya belajar siswa.
Pembelajaran berbasis multiple intelligences secara umum dapat diartikan sebagai proses pembelajaran yang memberi “ruang gerak” bagi setiap individu siswa untuk mengembangkan potensi kecerdasannya. Siswa dituntut agar dapat belajar secara enjoi, tidak merasa terpaksa, dan memiliki motivasi yang tinggi. Pada hakikatnya, pembelajaran berbasis multiple intelligences dapat juga dimaknai sebagai pembelajaran yang membiarkan anak didik untuk selalu kreatif. Tentunya, kreativitas yang dibangun adalah bentuk ke-kreatif-an yang dapat mendukung terhadap keberlangsungan proses pembelajaran dengan menghasilkan target prestasi akademik yang membanggakan.
Melihat konsep multiple intelligences yang sangat benar-benar manusiawi tersebut, maka sangat diharapkan akan hadirnya sekolah-sekolah lain yang dapat menerapkan Multiple Intelligences System (MIS) di lembaga masing-masing, seperti halnya yang telah berhasil diterapkan oleh SMP YIMI Gresik “Full Day School. Semoga saja! [ahf]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar