Kita lebih sering berharap menerima daripada berpikir untuk memberi. Dari pagi, ketika bangun tidur, kita telah menerima perhatian dari seorang ibu yang membangunkan pagi. Setelah itu, kita menerima sarapan pagi yang kembali disuguhkan oleh ibu. Kemudian, kita menerima uang jajan dari ayah dan diantarkan ke sekolah. Di sekolah, kita menerima pelajaran dari guru. Ketika istirahat sekolah, ditemanin makan siang oleh seorang sahabat. Sewaktu pulang sekolah, kita menerima jasa angkot hingga sampai di rumah. Di rumah, kembali menerima santapan makan siang. Begitu seterusnya hingga malam, hingga pagi lagi.
Kita lebih sering menerima hak dan jarang berpikir untuk memberi hak orang lain. Seorang ibu juga berhak diringankan beban pekerjaan rumahnya, misalnya menyapu rumah, mencuci piring, bahkan membersihkan tempat tidur sendiri dan meletakkan sepatu pada tempatnya juga sudah meringankan beban ibu, dengan kata lain memberikan hak ibu. Pergi ke sekolah tanpa diantarkan oleh ayah juga sudah merupakan bentuk memberikan hak ayah, yaitu diringankan bebannya. Begitu juga dalam lingkungan sekolah, pertemanan, bertetangga, bersaudara, dan bermasyarakat secara luas.
“Memberi memiliki dimensi personal, sosial, dan spiritual,” tulis seseorang dalam artikel yang pernah saya baca. Seorang pemberi memiliki rasa cinta pada orang yang diberinya. Karena memang inti cinta adalah memberi. Memberi apa saja yang diperlukan oleh orang-orang yang kita cintai untuk tumbuh lebih baik dan berbahagia karenanya.
Karena rasa cinta itu, kita dengan mudah memberi. Maka tak heran jika ada seseorang yang harus bersusah payah melaksanakan sesuatu demi memberi kepada orang yang dicintainya. Ukuran ketulusan dan kesetiaan cinta adalah apa yang diberikan kepada yang kita cintai untuk membuatnya menjadi lebih baik. Meskipun memberi itu mesti melawan arus, dibenci orang, dan kadang berhadapan dengan maut. Orang-orang itulah ayah, ibu, saudara, teman, sahabat, dan orang-orang lain yang kita cintai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar