Selasa, 20 Mei 2014

Melihat Mata Anis Matta


Di satu hari di ujung November, seorang pemuda berdiri di sebuah podium. Dia mengenakan jas tak berkancing dengan kemeja putih di dalamnya. Nada bicaranya tenang, tak meledak-ledak. Sorot matanya tajam. Mata itu milik seorang Anis Matta.
Kala itu, Anis Matta, pimpinan Partai Keadilan Sejahtera, sedang bicara dalam Seminar Forum Guru Besar Universitas Indonesia, Jumat, 28 November 2013. Di sana, Anis membentangkan gagasannya mengenai Indonesia masa silam, masa kini, dan masa depan.
Hari ini, agaknya, tak ada pimpinan partai, ataupun mereka yang sering tampil di televisi, yang berbicara soal gagasan. Biasanya, kalau bicara tentang Indonesia, atau apapun itu, semua sudah dianggap selesai. Semuanya sudah jadi, semuanya sudah terkunci, yang tersisa hanya perkara teknis atau siasat sosialisasi (lengkap dengan anggarannya yang dinanti-nanti).
Namun, Anis berbeda. Nampaknya dia hendak membaca ulang semua itu; membuka ruang diskursus tentang apa dan bagaimana Indonesia. Maka terhormatlah dia dan orang-orang yang berpikir.
Dalam catatan sekadarnya ini, saya akan menyebut Anis Matta dengan ‘Ustadz’. Mengapa? Sebab saya dan Anis Matta berasal dari faksi yang sama: Islam. Tapi saya bukan orang Partai Keadilan Sejahtera. Sebutan itu adalah kebiasaan orang Islam dalam menyebut seorang mualim atau guru dalam rangka memajukannya selangkah sembari meninggikan marwahnya. Dan begitu pulalah saya menyapa Ahmad Heryawan usai melakukan peliputan pemilihan gubernur Jawa Barat dua periode silam. Saya harus menekankan kata “usai”, sebab penyebutan istilah kita itu dilarang dalam proses pekerjaan saya, yang hasilnya akan dilihat oleh banyak faksi.
Pidato Ustadz, yang di-upload di situs youtube.com pada 28 November 2013, terbagi dalam beberapa bagian. Dan saya hanya menyaksikan bagian pertama dan kedua, serta sedikit bagian dalam tanya jawab. Entahlah jika ada sekian bagian lagi setelahnya. Saya pun tak membaca tulisan Ustadz yang, sebagaimana dikatakan pada mula-mula pidato, dimuat di Jakarta Post.
Oleh karena rujukan saya adalah lisan, bukan tulisan, maka tentu saya takkan mendalaminya secara penuh. Saya hanya akan membuat poin-poin untuk direspon. Dalam pelisanan, pemikiran seringkali memang menjadi tertinggal di kepala. Atau, ia justru meluncur spontan tanpa olahan. Lisan memang tidaklah seketat tulisan dalam mengkonstruksi jalan cerita.
Dalam pidatonya, Ustadz mengkonstruksi perjalanan Indonesia dalam babak demi babak. Ustadz menyebutnya gelombang satu, dua, dan tiga. Sekilas, ini membawa ingatan kita pada “Gelombang Ketiga”-nya Alvin Toffler, orang Amerika Serikat, kala membaca perubahan era dunia dari dahulu hingga era informasi.
Tapi, tindakan mengambil pola ini tak mengapa. Inspirasi bisa datang dari mana saja. Persoalan hanya muncul jika pola suatu bacaan diambil dari luar dan diletakkan di sini begitu saja. Ibarat meletakkan tatakan kue segitiga pada kue yang bersegi empat. Dan begitulah kita menyaksikan Indonesia hari ini, dimana pemikir-pemikirnya lebih tampak sebagai juru bicara pemikir-pemikir atau revolusioner-revolusioner Eropa.
Begitu kira-kira pendapat saya. Barangkali saya salah.
Jadi begini.
Pada mulanya, Ustadz menyebut gelombang pertama itu ada pada kurun waktu sampai dengan tahun 1945, setelah sebelumnya dijajah Belanda, Inggris, Portugis.
Bagi saya, ini terlalu menyederhanakan persoalan. Semoga Ustadz tak ikut-ikutan pada pemahaman yang mengatakan Indonesia dijajah 350 tahun, atau berapapun angkanya, yang berdampak pada penyeragaman dinamika atau dialektika sekian kaum yang faktanya beragam.
Di Sumatera Timur, Belanda adalah salah satu investor. Bukti perdagangan negara-negara kerajaan di Eropa ini kini hadir melalui teknologi, yakni e-book. Sebut saja buku berjudul Sumatera East Coast yang terbit pada 1910. Di dalamnya termuat kontrak-kontrak dagang, tidak saja dari perusahaan-perusahaan asal Belanda, tetapi juga perusahaan-perusahaan asal Inggris dengan negara-negara kesultanan Islam di Sumatera Timur, yang jangka waktu kontrak karyanya –meminjam bahasa hari ini– ada yang sampai tahun 1986. Di sini, kita mengenal istilah ‘tanah jaluran’.
Dan, mengapa pula Jepang tak disebut-sebut sebagai penjajah, Ustadz?
Tapi, fakta ini tentu saja tak menggugurkan negeri-negeri yang berperang dengan Eropa. Hanya saja, jalan ceritanya beragam, tak tunggal. Ada yang berlawan dengan Eropa sembari menjadi staf Jepang, pun ada yang berlawan dengan Jepang dan staf-stafnya sembari berkawan dengan Eropa.
Ustadz menyebut bahwa pada abad-abad ini, abad dimana Eropa ada, struktur dasar masyarakat-masyarakatnya adalah etnis, dan struktur atau format politiknya adalah kerajaan-kerajaan.
Untuk hal ini, saya setuju, tapi tak penuh. Selain etnis, struktur dasar masyarakat juga beralaskan pada agama. Kita tentu belum lupa atas apa yang disebut ‘adat bersendikan syara, syara bersendikan kitabullah’, atau ‘adat barenti ko syara, syara barenti ko kitabullah’, kata orang Sumbawa. Di sini, Islam dan etnis sudah seperti zat dengan bendanya. Hal ini sebanding dengan Bali yang bersendikan Hindu.
Dan pola beralas etnis-agama ini tidak kemudian berhenti di hadapan konsep negara baru. Ia menembus dimensi waktu dalam bentuk yang hari ini berbeda: provinsi dan atau kabupaten/kota. Sebagai contoh kasat mata, coba kita lihat komposisi perkauman dari gubernur/bupati/wali kota, wakil gubernur/bupati/wali kota, dan sekretaris daerah di banyak wilayah.
Kemudian, Ustadz juga menyatakan bahwa untuk melihat masalah, pertimbangan sejarah harus dipentingkan dibanding pertimbangan politik dan hukum. Sebab, Indonesia ini negara besar dan majemuk.
Nah, kalau hal ini saya setuju penuh, Ustadz. Hari ini memang lahir dari rahim hari kemarin.
Etnis-etnis kecil dan kerajaan-kerajaan kecil tak bisa dipertahankan kecuali bisa menemukan suatu ikatan politik baru, begitu kata Ustadz. Dan, proses mencari ikatan sosial dan politik inilah yang disebut ‘menjadi Indonesia’. Untuk itu, kita mencari ikatan sosial dan politik yang lebih besar, yang melampaui ikatan-ikatan primordial.
Ya. Dan pada akhirnya, ikatan primordial yang dianggap kecil itu kemudian ditransformasikan menjadi suatu bentuk primordial dengan wilayah yang lebih luas. Tapi, bukankah nasionalisme itu juga suatu bentuk primordial, Ustadz? Lantas, bagaimana nasib entitas primordial lama itu? Berdosakah ia hingga harus ditinggalkan? Mukhlis PaEni, Ketua Umum Masyarakat Sejarawan Indonesia, dari Bugis, juga mengatakan hal serupa dengan Ustadz. Tapi, PaEni menyebut Indonesia sebagai super-nasionalis. Dan beberapa yang lain menyebutnya supra-lokal.
Soal ikatan primordial, Islam yang datang pada kerajaan-kerajaan itu, yang kemudian disebut kesultanan, sebetulnya sudah melakukan koreksi. Pada masanya, pegangan orang Melayu adalah ‘pantang Melayu mendurhaka’. Begitu Islam masuk dan meluas menjadi agama negara (berbentuk kesultanan), pepatah itu berubah menjadi ‘raja adil raja disembah, raja zalim raja disanggah’. Bukankah imam pun bisa dikoreksi jika melanggar tradisi dalam salat?
Dan demikianlah etnis-etnis yang Ustadz sebut kecil itu sebetulnya sudah meluas ikatannya kala berjumpa dengan Islam.
Ustadz menyebut bahwa puncak dari proses menjadi Indonesia ada dua, yakni Sumpah Pemuda dan Proklamasi 1945. Pada Sumpah Pemuda, kita mendeklarasikan diri sebagai bangsa baru. Dan pada proklamasi kita mendeklarasikan diri sebagai negara.
Rasanya teks asli yang disebut “Sumpah Pemuda” itu sudah banyak keluar di buku-buku dan internet. Tak ada kata ‘sumpah’ dalam teks itu. Yang ada adalah ‘hasil kerapatan pemuda’. Dan apakah mereka, anak-anak sekolah yang ikut dalam kerapatan itu, adalah delegasi dari wilayah-wilayah adat atau negara-negara kesultanan Islam yang ada? Orang Islam di kepulauan ini sudah lama memiliki pemerintahan dengan coraknya sendiri. Di masanya, Islam memang meng-upgrade bentuk dan dinamika masyarakat. Karenanya, ia bukanlah sekumpulan orang-orang yang baru hidup dengan sistem. Fenomena adanya gambar bulan bintang di banyak negara kesultanan, pun dengan warna kuningnya, sejatinya adalah suatu kode tersendiri tentang adanya sebuah persekutuan untuk membentuk suatu tamadun.
Ustadz pun menyatakan bahwa “Sumpah Pemuda” memberikan dasar-dasar dari bangunan sebuah bangsa. Gampang menyepakati soal tanah air; gampang menyepakati nama bangsa karena nama ‘Indonesia’ sudah ada sejak pertengahan abad 19.
Lagi-lagi, dalam teks aslinya, kerapatan itu tak ada menuliskan kata ‘tanah air’, yang ada hanya ‘tanah’. Taufik Abdullah pernah menguraikan apa makna “tanah” itu. Dan soal nama ‘Indonesia’, ia memang sudah ada sejak 1850 dalam The Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia Vol. 4. Karena teknologi, sumber-sumber primer ini kini bisa mudah sekali kita akses.
Di jurnal itu pula kita kemudian mengetahui bahwa nama ‘Indonesia’ merupakan sinonim atau upaya memendekkan suatu istilah yang panjang: ‘Indian Archipelago’ yang, demi membedakan kepulauan ini dengan wilayah lain, ditambah dengan istilah ‘nesia’ dari Yunani-atas usulan George Samuel Windsor Earl (1813-1865), seorang putih dari Inggris.
The name Indian Archipelago is too long to admit of being used in an adjective or in an ethnographical form. Mr Earl suggest the ethnographical term Indu-nesians but reject it in favour of Malayunesians. For reasons which will be obvious on reading a subsequent note, I prefer the purely geographical term Indonesia, which is merely a shorter synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago. We thus get Indonesian for Indian Archipelagian or Archipelagic, and Indonesians for Indian Archipelagians or Indian Islander, tulis Logan dalam jurnal tersebut.
Dan konsep wilayah ‘Indonesia’ dalam benak Logan tersebut terbentang dari Sumatera hingga Formosa.
Yang rumit itu, kata Ustadz kemudian, adalah menyepakati satu bahasa. Kenapa bukan bahasa Jawa yang menjadi bahasa nasional? Kenapa bahasa Melayu yang penggunaannya minoritas secara etnis?
Pertama-tama, lagi-lagi, harus ditegaskan bahwa dalam teks aslinya tak ada yang disebut ‘bahasa yang satu’, yang ada adalah ‘bahasa persatuan’. Dan argument Ustadz agaknya memang sebunyi dengan argumen yang sering mengemuka dalam menafsirkan mengapa bahasa Melayu yang digunakan dan bukan yang lain. Di sini saya menyadari, orang memandang masa silam dari hari ini, dari kacamata non-Melayu, tapi dengan sekianjudgment khas hari ini. Maksudnya, siapalah yang tahu mana luas wilayah Indonesia pada 1928 itu. Jika merujuk pada Logan, maka bentangannya jauh lebih dahsyat lagi. Jadi, kemana sesungguhnya kita harus merujuk? Ke masa silam atau ke masa kini?
Soal bahasa Melayu yang digunakan oleh minoritas, mari kita sekejap tengok ke belakang. Mukhlis PaEnimenyebutkan bahwa pada awal abad 16 sudah ada catatan tentang adanya orang-orang Melayu di tanah Sulawesi. Tapi, siapakah orang-orang Melayu itu? Mereka adalah orang-orang dari negeri Pahang, Patani, Campa, Minangkabau, dan Johor. Hari ini, mereka terbelah dalam empat negara: Malaysia, Thailand, Kamboja, dan Indonesia. Kemudian hari, arus ini berbalik: orang-orang Bugis merantau ke Sumatera dan Semenanjung.
Pencampuran darah Bugis yang dikenal sebagai cendikia dan pemberani serta darah Melayu yang dikenal sebagai darahnya para seniman dan intelektual, kata PaEni, pada gilirannya menciptakan suatu entitas baru yang disebut Melayu Bugis. Lihat saja contoh nama-nama ini: Incek Muhammad Ali Daeng Rowa atau Incek Abdul Kadir Daeng Mamangung Datuk Sabandar. Atau, siapakah sebenarnya Collipujie Arug Pancana Toa Datu Tanate?
Arus “bolak balik” ini menjadi susur galur yang penting dalam khazanah peradaban Melayu dan Bugis atau Islam di Asia Tenggara. Dan kelak, Bugislah yang memainkan peran penting dalam penyebaran Islam di regionalnya. Oleh sebab itu, amatlah membingungkan jika bahasa Melayu masih disebutkan berada dalam tataran minor.
Sebetulnya sudah banyak penelitian soal ini. Sebut saja James T. Collins yang menulis buku Bahasa Melayu Bahasa Dunia. Dan jika kita melandaskan diri pada pemahaman hasil-hasil riset, bukan pengetahuan koran hari ini, maka akan teranglah siapa yang berada dalam lingkup kecil dan siapa yang menjadi lingua franca di Asia Tenggara.
Hari ini sudah banyak buku-buku tua yang kini didigitalisasi. Hari ini kita bisa membaca, salah satunya, bukuGrammar and Dictionary of the Malay Language karya John Crawfurd yang terbit pada 1852. Di buku ini, bahasa Melayu disebut memiliki unsur dari Arab, Betawi, Bengkulu, Bugis, Cina, Belanda, Inggris, Eropa, India, Jawa, Lampung, Persia, Portugis, Rejang, Sanskrit, Sunda, dan Telinga. Atau bisa pula membaca buku A Vocabulary of the English, Bugis, and Malay Languages yang terbit pada 1833; atau buku Vocabulaire Francais-Malaiskarya CH. Bougourd yang terbit pada 1856.
Bahkan, hingga kini, beberapa tulisan masih menyebut kawasan ini sebagai the Malay Archipelago atau Muslim Archipelago, sebagai lawan dari Indian Archipelago atau East India, yang ironisnya dipadankan secara gegabah sebagai ‘Kepulauan Nusantara’ oleh dua penerbit di Pulau Jawa.
Belum lagi jika kita mengendus jejak sebaran etnolinguistik di Asia Tenggara. Kata orang tua-tua, jejak etnolinguistik lebih memiliki nilai akurasi untuk mengendus jalur diaspora suatu kaum.
Ustadz kemudian menyebutkan, bahasa Melayu punya tata bahasa yang sederhana. Kosa katanya tidak terlalu kaya, jadi gampang dikembangkan.
‘Tata bahasa sebuah bahasa adalah sederhana’ biasanya diucapkan oleh penutur aslinya sendiri. Barangkali, orang Jepang pun akan bilang bahwa bahasa Jepang mudah dipelajari.
Ustadz lalu mengungkapkan kemiskinan bahasa Melayu/Indonesia dalam konsep waktu dibandingkan dengan Arab dan Inggris.
Konteks sebelumnya Ustadz sedang membandingkan bahasa Melayu dengan bahasa Jawa, tapi mengapa kemudian melompat ke bahasa Arab dan Inggris? Dalam pemahaman saya, barangkali juga pemahaman ini sudah umum di kalangan lain, tak ada yang disebut bahasa yang miskin dan bahasa yang kaya. Semua dikembalikan pada konteks lingkungannya.
Saat ke Sumbawa, saya bertanya mengenai apakah Sumbawa memiliki bahasa untuk tindakan… hmm, bagaimana menceritakannya dalam bahasa Melayu/Indonesia, ya? saya ingin membahasakan tindakan saya yang terkait dengan kertas. Tapi, setelah saya memperagakan gerakan tersebut di depan kawan-kawan di Sumbawa, ternyata mereka punya bahasanya. Orang Sumbawa menyebut itu ‘pleus’. Sementara, di Melayu Medan, bahasa untuk tindakan seperti membuka lembaran halaman dari buku atau kertas-kertas secara cepat dengan menggunakan ibu jari, tidak ada padanannya. Melalui pengalaman ini, saya pun kemudian bertabik pada budaya tulisan kaum Samawa.
Kekuatan tiap-tiap bahasa memang ditentukan oleh lingkungan dan alamnya. Bahasa orang-orang pesisir tentu lebih kaya dalam kosa kata kelautan dan tindakan-tindakan yang terkait dengan air ketimbang orang pedalaman. Pun sebaliknya.
Ustadz mengatakan bahwa begitu seseorang menjadi bangsa Indonesia, maka dia harus bilingual. Bahasa pertamanya adalah bahasa daerahnya, selanjutnya dia harus belajar bahasa Indonesia. Jadi setiap orang Indonesia itu pasti minimal bisa dua bahasa. Dan itu berarti orang Indonesia gampang belajar bahasa asing.
Saya setuju, bahwa bahasa Melayu, entah Melayu varian manapun, bukanlah bahasa ibu bagi beberapa pihak. Tapi, menegaskan ini hanya akan menyisakan persoalan serius. Pertama, bagaimana dengan Medan, misalnya? Ini adalah tanah Melayu, dan mereka bercakap dengan bahasa yang oleh orang lain dianggap sebagai ‘bahasa persatuan’. Yang berbeda satu sama lain adalah lebih pada logatnya atau variannya saja. Kedua, disebutkan bahwa fenomena bilingual ini mencerminkan karakter orang Indonesia mudah belajar bahasa asing. Seketika, saya, yang orang Medan ini, merasa diposisikan sebagai orang asing, tanpa kejelasan mana yang ‘asing’ mana yang ‘native’.
Ustadz juga  menyatakan bahwa kita semua sudah keluar dari ikatan primordial dan tiba-tiba kita bermetamorfosis dari etnis-etnis kecil digabung menjadi satu dan menjadi sebuah bangsa besar. Dan kita kemudian juga bermetamorfosis melebur semua kerajaan-kerajaan kecil ini dalam sebuah ikatan politik yang lebih besar yang sekarang kita sebut NKRI.
Ada dua hal yang memantul dari pikiran ini. Pertama, pernyataan ini menimbulkan pertanyaan, kapankah etnis-etnis kecil itu digabung menjadi satu bangsa? Pada peristiwa mana? Bukankah bangsa itu Allah yang ciptakan? Allah bilang, “… telah Aku jadikan engkau berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk saling mengenal satu sama lain”.
Jika jawabannya pembentukan bangsa itu adalah tahun 1928, ada persoalan serius di situ. Pertama, seperti di atas, apakah bisa ditegaskan bahwa peserta kerapatan pemuda itu adalah delegasi atau mendapat mandat dari pemerintahan teritorinya? Kedua, ada banyak faksi yang tak ada di kerapatan itu, sebut saja Borneo atau Papua. Dengan kata lain, jika kerapatan 1928 dijadikan alas konsensus, maka keberadaan Borneo, pun yang lain-lain, menjadi gamang.
Kedua, pada saat kapankah kerajaan-kerajaan yang disebut kecil itu melebur menjadi satu? Bukankah Ngajogjakarta Hadiningrat baru-baru ini menegaskan diri bahwa bergabung tak berarti melebur? Jika disebut kerajaan-kerajaan bergabung, maka dimana posisi Konferensi Inter Indonesia satu dan dua itu? Dan apa makna Konferensi Meja Bundar, yang menjadi peristiwa penyerahan kedaulatan Kerajaan Belanda dan Republik Indonesia kepada Republik Indonesia Serikat? Jika Konferensi Inter Indonesia dan Konferensi Meja Bundar tak dianggap ada, maka uang apa yang dibayarkan Indonesia kepada Belanda sebesar 600 juta gulden, yang lunas pada 2003 lalu?
Dan, ini yang kerap disalahpahami. Negara Kesatuan Republik Indonesia lahir pada 17 Agustus 1950, sebagai pengganti Negara Republik Indonesia Serikat (RIS). Adapun yang lahir pada 1945 adalah Negara Republik Indonesia (NRI). Sedangkan Republik Indonesia Serikat lahir pada 1949. Sedangkan Negara Indonesia Timur pada 1946.
Ustadz pun beranggapan, gelombang pertama ini selesai persis ketika kita memproklamasikan Indonesia pada tahun 1945. Di situ kita selesai dengan identitas. Kita punya identitas yang namanya Indonesia.
Jika mencermati sejarah, identitas itu sesungguhnya tidaklah pernah selesai, bahkan sampai sekarang. Ada perang saudara, ada darah yang tumpah, sejak 1945 sampai 1949. Dan situasi makronya sudah umum diketahui, bahwa di dunia pada masa itu sedang ada kontestasi antara kelompok sekutu dan kelompok fasis. Badai di level makro ini menciptakan topan yang sampai ke kepulauan ini.
Dan, ini juga meninggalkan persoalan. Adakah yang bisa menegaskan jawaban tentang apakah sesungguhnya Indonesia ini berdiri di atas puing-puing India Belanda atau puing-puing kesultanan-kesultanan Islam?
Kemudian, bagaimana mentransformasikan kesultanan-kesultanan Islam tadi, yang bersifat internasionalis, ke dalam sebuah entitas baru yang pernah dan kini amat bercorak nasionalistis? Dan jika dianggap sudah selesai, mengapa kasus-kasus yang melibatkan masyarakat adat masih bersisa hingga kini?
Sedikit saya ingin melencengkan pemikiran soal identitas ini, Ustadz. Ketika berbagai masalah mendera masyarakat adat, mengapa partai-partai Islam tak terdengar melakukan pembelaan? Mengapa perpaduan adat dan Islam ini masih nampak harmoni hanya pada kesenian? Bukankah ‘adat bersendikan Islam’ juga sebuah pernyataan politik? Atau ikatan ini sudah lapuk?
Ustadz juga menjelaskan kenapa sosialisme susah tumbuh di Indonesia, yakni karena background-nya bukan pertentangan kelas, tapi penderitaan bersama.
Setuju. Tiap tanah mengandung narasi berbeda. Dan narasi di sini adalah harmoni, bukan kompetisi, dan karenanya ia membutuhkan suatu pembacaan tersendiri.
Ustadz mengatakan ciri masyarakat Indonesia adalah mudah menyederhanakan hal yang rumit. Contohnya batik, yang dilihat sebagai tindakan penyederhaan yang harmonis dari sesuatu yang rumit. Meski proses pembuatannya rumit, tapi begitu jadi, semua kerumitan tadi ada dalam satu kesatuan yang harmonis. Ini menunjukkan bahwa salah satu kemampuan berpikir orang Indonesia itu adalah simplifikasi. Orang Indonesia ini paling jago menyederhanakan hal paling rumit.
Saya kira pernyataan ini memang sedang menampilkan apa yang sedang diceritakan. Usahlah batik, telefon genggam pun terdiri dari macam-macam bahan, dibuat dengan kerumitan tingkat tinggi, dan kemudian hasilnya menjadi tampak begitu sederhana. Kerumitan yang kemudian menjadi harmonis itu juga dialami oleh songket yang ditemukan hampir di tiap pulau di Indonesia itu.
Tapi, barangkali Ustadz ada maksud tersendiri kala mengucapkan batik itu.
Contoh dari keahlian memadu-madukan secara harmonis itu tampak pada makanan. Makanan kita paling terkenal, kata Ustadz, adalah gado-gado. Gado-gado tidak ada background etnisnya. Kalau makanan Padang ada dasar etnisnya. Coto Makassar ada dasar etnisnya. Jadi gado-gado adalah proses menjadi Indonesia.
Menurut saya, ini pernyataan bukan hasil pemeriksaan. Pertama, makanan, sebagai produk kultur, tentulah lahir di atas sebuah tanah. Dan tak ada tanah yang bebas nilai. Tak ada produk kultural yang terkunci pada dirinya sendiri dan menafikkan peran yang-lain. Soal gado-gado, barangkali bisa diperiksa lahir di tanah mana ia, dan mendapat pengaruh apa dan darimana. Dapatkah gado-gado independen? Mari kita tanyakan hal ini pada orang Betawi.
Pada makanan padang, sebutlah rendang, ia pun sesungguhnya bersifat kosmopolit. Kata ‘rendang’ bahkan sudah tersebut dalam kesusasteran Melayu klasik, salah satunya pada Hikayat Amir Hamzah, yang menunjukkan ia telah menjadi kegemaran kaum Melayu sedari 1550-an.
Seorang kawan Minang mengatakan, “syara’ mandaki, adat manurun” (agama mendaki, adat menurun). Hal ini merupakan pernyataan dari berjumpanya kaum adat dari daratan dengan kaum muslim dari pesisir. Di sini, rendang (daging) merepresentasikan adat, ketimbang ikan yang mencirikan masyarakat pesisir. Akan tetapi, rendang memiliki representasi elemen-elemen perjumpaan itu. Daging dilambangkan sebagai ninik mamak (pemimpin adat), karambia (kelapa) sebagai lambang cadiak pandai (cerdik pandai), lado (lada) sebagai lambang alim ulama yang pedas dan tegas, serta pemasak (bumbu) sebagai pelengkap dari keseluruhan masyarakat Minang. Keseimbangan penting untuk harmonisasi, termasuk demi mendapatkan rendang yang lezat.
“Tak ada kebudayaan yang benar-benar berdiri sendiri, tapi berkoalisi dengan kebudayaan-kebudayaan lain,” begitu tulis Claude Levi-Strauss dalam bukunya Ras dan Sejarah (2000).
Setelah kita punya identitas, kata Ustadz, kita punya tantangan baru. Tantangan baru ini adalah bagaimana mengisi identitas ini. Dan persoalan kita di gelombang kedua adalah pencarian sistem ekonomi, politik, hukum yang kompatibel dengan struktur budaya dan sejarah kita.
Seperti disebutkan sebelumnya, bahwa hari ini lahir dari masa silam, maka yang dimaksud gelombang kedua meminta kejelasan apa yang disebut gelombang pertama. Dan sistem politik, sistem ekonomi, bentuk negara, dan segala macam ketidakjelasan yang terjadi hari ini bukanlah terjadi mendadak. Ia bukan sesuatu yang jatuh dari langit.
Ustadz mengatakan bahwa pertarungan ideologi ada pada gelombang kedua ini. Di gelombang pertama ada pertarungan ideologi, tapi tidak terlalu sengit. Kenapa? Karena ada tujuan besar yang lebih besar dari ini, yaitu kita ingin merdeka. Tapi setelah kita merdeka, panggung ini adalah panggung kita. Dan itulah waktu terjadinya pertentangan yang sangat sengit pada waktu itu.
Agaknya kita perlu memeriksa kembali apa yang terjadi pada 1946 di Sumatera, Jawa, dan Bali, dan tahun-tahun berikutnya sampai 1949. Atau, mari kita periksa jalan cerita perdebatan Konferensi Inter Indonesia satu dan dua, atau Konferensi Meja Bundar, atau saat penyusunan naskah Konstitusi Republik Indonesia Serikat. Atau apa yang terjadi pada 1950? Atau 1952 sampai 1958, lalu 1958 sampai 1961, lalu 1962 sampai 1964, kemudian 1965 sampai 1967, dan seterusnya? Ribuan darah siapakah itu yang tumpah dan untuk apa? Siapa pelakunya? Jika ada darah yang tumpah disebut ‘tidak seberapa’, bagaimanalah lagi kita harus berucap. Ditambah, perkara rantai dendam bukan sesuatu yang mudah diputus. Alhasil, brutalitas pada 1965 pun terkait dengan darah yang tumpah pada kurun waktu itu.
Jadi, kata Ustadz, memilih demokrasi liberal pada waktu itu merupakan suatu keniscayaan. Negara baru ini belum punya isi. Begitu kita masuk ke detailnya, kita punya persoalan di situ. Perdebatan BPUPKI/PPKI tidak sesengit sidang konstituante.
Persoalan identitas Indonesia semestinya bisa merujuk pada periode 1950-an. Mengapa daerah administrasi baru bermunculan? Mengapa Riau dan Jambi keluar dari Sumatera Tengah? Mengapa Kalimantan Tengah lahir? Pertanyaan-pertanyaan ini, jika ditelisik, akan menghasilkan jawaban yang barangkali bertolak belakang dengan perspektif yang dikeluarkan di buku-buku pelajaran keluaran pemerintah pusat. Liberalisme adalah jalan keluar dari terjepitnya identitas-identitas etnis/nasion lama. Buku Antara Daerah dan Negara (2011) menjelaskan dengan baik persoalan ini.
Dan jika perdebatan dalam sidang BPUPKI dinilai tidak sesengit sidang konstituante, bisa dipahami. Nama asli ‘Badan Usaha Penyelidik Kemerdekaan Indonesia’ (BPUPKI), Dokuritsu Junbi Cosakai, sebenarnya sudah menjelaskan jalan cerita.
Demikianlah sekapur sirih catatan saya terhadap pidato Ustadz; pidato yang nampaknya mulai mengunci mata saya untuk menatap mata seorang Anis Matta.
Wallahu a’lam bishawab.
Melihat Mata Anis Matta4.8 out of 5 based on 6 ratings

Tidak ada komentar:

Posting Komentar