Tak hanya dalam hubungan percintaan, hubungan persahabatan juga kerap
diwarnai oleh ragam masalah. Salah satunya adalah teman yang hanya dekat
saat sedang butuh saja. Menyebalkan memang. Namun, ternyata masih
banyak teman yang 'beracun' dan bisa dihindari. Seperti dikutip dari All
Women Stalk, ada 6 tanda teman yang beracun. 1. Dekat saat butuh
Ini adalah hal yang kerap terjadi. Memiliki teman yang hanya dekat saat
sedang membutuhkan memang sangat merugikan. Namun, yang perlu diingat,
teman yang seperti ini bukanlah teman yang sebenarnya. Ia adalah teman
yang hanya bermaksud mempermainkan Anda, berhati-hatilah.
2. Dia, dia, dan dia
Jika selama berteman Anda merasa bahwa topik pembicaraan didominasi
dengan dia dan drama kehidupannya, percayalah teman tersebut adalah
teman yang egois. Ia hanya ingin kisah kehidupannya didengar, tanpa
memperdulikan Anda yang bosan dengan ceritanya.
3. Mengolok-olok
Tak ada satupun orang yang senang mendapatkan olokan, terlebih lagi
diolok oleh teman sendiri. Jika teman Anda sering mengolok-olok bahkan
di depan publik, tak salah lagi jika ia tipikal 'beracun'. Teman yang
baik tidak akan menjelek-jelekkan, di depan atau di belakang Anda
sekalipun.
4. Menggosip
Digosipkan bukanlah hal yang menyenangkan, terlebih lagi jika Anda
digosipkan oleh teman sendiri. Menemukan teman yang kerap menggosip di
belakang Anda, percayalah dia bukan teman yang baik. Bisa jadi seluruh
keburukan Anda disebarluaskan olehnya.
5. Plin plan
Memiliki teman yang plin plan dengan menomorsekiankan kebutuhan Anda
adalah salah satu tanda teman yang 'beracun'. Jika sebelumnya teman
mementingkan Anda, namun ketika ada seorang kekasih datang, dia justru
meninggalkan Anda, percayalah itu tak lebih dari sekedar fake.
6. Berbahaya
Memiliki teman yang berbahaya berarti dia adalah seorang pemakai
obat-obatan atau terlibat tindak kejahatan. Tak hanya berdampak bagi
Anda, ini juga sangat buruk bagi masa depannya.
Ada kalanya memilih teman itu dianjurkan sebagai bentuk antisipasi. Jika
tak ingin terkena hal-hal buruk, pilihlah teman dengan cermat ya,
Ladies. Bagaimanapun, teman yang baik akan mempengaruhi Anda, begitu
sebaliknya.
sumber: vemale.com
Senin, 03 September 2012
berbagi ilmu dengan jusuf kalla
TEMPO.CO, Yogyakarta -
Di bawah rindang pohon beringin, ratusan pelajar duduk lesehan.
Berkumpul sejak pagi, mereka menanti tamu istimewa. Sekolah Menengah
Atas Negeri 3 Kota Yogyakarta sedang punya gawe, Lustrum ke-XIV. Sebagai
pembicara utama adalah mantan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla.
»Apa
yang dilakukan Bapak saat masih sekolah?” tanya Mohammad Genta, sang
moderator, mengawali pembicaraan pada Sabtu, 1 September 2012 itu.
Pengalaman JK, berorganisasi dan berwiraswasta hingga mengantarkannya ke
kursi RI-2 adalah materi utama pembicaraan. JK, bagi Genta, tak sekadar
singkatan Jusuf Kalla. Tapi sekaligus, »Jalan Keluar,” katanya.Mulai berbicara di depan siswa pukul 09.25, JK terkenang dengan nama sekolah SMA-nya di Makassar. Sama-sama SMA 3, bedanya SMA JK bukan termasuk unggulan. Meski terbilang bukan sekolah favorit, JK aktif berorganisasi sejak sekolah melalui organisasi siswa intra sekolah.
Selain OSIS, lelaki kelahiran 15 Mei 1942 itu juga tercatat pernah berkecimpung di Pelajar Islam Indonesia dan Himpunan Mahasiswa. Bahkan, di kampusnya, Universitas Hasanudin, ia pernah menjabat sebagai Ketua Dewan Mahasiswa. »Sekolah tidak favorit, di sekolah (atau saat) mahasiswa, nyatanya bisa menjadi wapres,” katanya dengan gaya ceplas-ceplos.
Dengan gayanya yang seperti itu, suasana pertemuan justru tak kaku. Apalagi JK membuka ruang dialog dalam acara yang juga dihadiri siswa SMA se-Yogyakarta itu. Belajar, menurut dia, tak hanya terbatas di sekolah. Harus diimbangi dengan pengalaman dan semangat. »(Tapi) semangat tanpa belajar, (bisa) demo terus kayak di Makassar,” katanya, yang disambut tawa hadirin.
Aktif berorganisasi, menurut dia, mendorongnya berlatih dan menimba pengalaman. Khususnya bagaimana memimpin orang. Pengalaman itu juga yang kemudian menjadi bekalnya memimpin perusahaan. Lebih dari 30 tahun pengalaman memimpin perusahaan membuat JK terbiasa mengambil keputusan secara cepat. »Semua keputusan selalu ada risiko. Nah, kita harus ambil risiko itu,” katanya. Tak perlu ragu karena tiap risiko sebenarnya bisa diperhitungkan.
Sikap ini terbawa hingga ia menduduki sejumlah jabatan tinggi pemerintahan. Dari Menteri Perdagangan, Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, dan Wakil Presiden. Dan kini, ia menjabat sebagai Ketua Dewan Masjid Indonesia dan Palang Merah Indonesia.
Menjalani hidup, bagi dia, harus diseimbangkan. Tiga puluh tahun menjadi pengusaha, sepuluh tahun kerja di pemerintahan, dan kini tiga tahun sudah ia bergelut di organisasi sosial. »Lengkap sudah, (lantas) pensiun,” katanya.
Menjadi pengusaha adalah berpikir inovatif. Bekerja dengan melibatkan banyak orang. Bidang pekerjaan ini mengajarkan seseorang bekerja sama dengan orang lain. Inilah, lanjut dia, yang kini dibutuhkan bangsa ini. Untuk memulainya, cukup sederhana. »Just do it,” katanya.
Di depan siswa, ia mengajak mereka menjadi pengusaha. »Siapa yang pengin menjadi pengusaha?” tanyanya. Sejumlah siswa mengangkat tangan. Yang lain menjawab ingin menjadi bidan, dokter, dosen, hingga psikolog saat ditanya. Seseorang menjawab ingin menjadi tentara. Polisi? Tak ada sama sekali.
Minggu, 02 September 2012
Kesan Zikir Terhadap Otak Manusia
Otak hanyalah aktiviti-aktiviti bio-elektrik yang melibatkan sekumpulan saraf yang dipetanggungjawabkan untuk melakukan tugas-tugas tertentu bagi membolehkan ia berfungsi dengan sempurna. Setiap hari 14 juta saraf yang membentuk otak ini berinteraksi dengan 16 juta saraf tubuh yang lain. Semua aktiviti yang kita lakukan dan kefahaman atau ilmu yang kita perolehi adalah natijah daripada aliran interaksi bio-elektrik yang tidak terbatas.
Oleh itu, apabila seseorang itu berzikir dengan mengulangi kalimah-kalimah Allah seperti subhanallah, beberapa kawasan otak yang terlibat menjadi aktif. Ini menyebabkan berlakunya aliran bio-elektrik di kawasan-kawasan saraf otak tersebut. apabila zikir itu berulang-ulang kali, aktiviti saraf menjadi bertambah aktif dan turut menambah tenaga bio-elektrik. Lama-kelamaan kumpulan saraf yang sangat aktif ini mempengaruhi kumpulan saraf yang lain untuk turut sama aktif. Dengan itu otak menjadi aktif secara kesluruhan. Otak mula memahami perkara baru, melihat dari perspektif berbeza dan semakin kreatif dan kritis, sedangkan sebelum berzikir ianya tidak jadi begini. Otak yang segar dan cergas secara tidak langsung mempengaruhi hati untuk melakukan kebaikan dan menerima kebenaran.
Hasil kajian makmal yang dilakukan terhadap subjek ini dimuatkan dalam majalah Scientific American, keluaran Disember, 1993. Satu kajian yang dilakukan di Universiti Washington di mana ujian ini dilakukan melalui ujian imbasan PET yang mengukur kadar aktiviti otak manusia secara tidak sedar. Dalam kajian ini, sukarelawan diberikan satu senarai benda. Mereka dikehendaki membaca perkataan tersebut satu-persatu dan mengaitkan perkataan dengan katakerja yang berkaitan. Apabila sukarelawan melakukan tugasan mereka, beberapa bahagian berbeza otak menunjukkan peningkatan akitiviti saraf termasuk di bahagian depan otak dan korteks.
Menariknya, apabila sukarelawan mengulangi senarai perkataan yang sama berulang-ulang kali, aktiviti saraf otak merebak kepada kawasan lain dan mengaktifkan kawasan saraf lain. Apabila senarai perkataan baru diberikan kepada mereka, aktiviti saraf kembali meningkat di kawasan pertama. Ini sekaligus membuktikan secara saintifik bahawa perkataan yang diulang-ulang seperti perbuatan zikir terbukti meningkatkan kecerdasan otak dan menambah kemampuannya. Oleh itu, saudara-saudara seIslam, ketika saintis barat baru menemui mukjizat ini, kita umat Islam iaitu umat terpilih ini telah lama mengamalkannya dan menerima manfaatnya. Malang bagi mereka yang masih memandang remeh tentang kepentingan berzikir dan secara nyata mengabaikannya. -penawar.com-
Oleh itu, apabila seseorang itu berzikir dengan mengulangi kalimah-kalimah Allah seperti subhanallah, beberapa kawasan otak yang terlibat menjadi aktif. Ini menyebabkan berlakunya aliran bio-elektrik di kawasan-kawasan saraf otak tersebut. apabila zikir itu berulang-ulang kali, aktiviti saraf menjadi bertambah aktif dan turut menambah tenaga bio-elektrik. Lama-kelamaan kumpulan saraf yang sangat aktif ini mempengaruhi kumpulan saraf yang lain untuk turut sama aktif. Dengan itu otak menjadi aktif secara kesluruhan. Otak mula memahami perkara baru, melihat dari perspektif berbeza dan semakin kreatif dan kritis, sedangkan sebelum berzikir ianya tidak jadi begini. Otak yang segar dan cergas secara tidak langsung mempengaruhi hati untuk melakukan kebaikan dan menerima kebenaran.
Hasil kajian makmal yang dilakukan terhadap subjek ini dimuatkan dalam majalah Scientific American, keluaran Disember, 1993. Satu kajian yang dilakukan di Universiti Washington di mana ujian ini dilakukan melalui ujian imbasan PET yang mengukur kadar aktiviti otak manusia secara tidak sedar. Dalam kajian ini, sukarelawan diberikan satu senarai benda. Mereka dikehendaki membaca perkataan tersebut satu-persatu dan mengaitkan perkataan dengan katakerja yang berkaitan. Apabila sukarelawan melakukan tugasan mereka, beberapa bahagian berbeza otak menunjukkan peningkatan akitiviti saraf termasuk di bahagian depan otak dan korteks.
Menariknya, apabila sukarelawan mengulangi senarai perkataan yang sama berulang-ulang kali, aktiviti saraf otak merebak kepada kawasan lain dan mengaktifkan kawasan saraf lain. Apabila senarai perkataan baru diberikan kepada mereka, aktiviti saraf kembali meningkat di kawasan pertama. Ini sekaligus membuktikan secara saintifik bahawa perkataan yang diulang-ulang seperti perbuatan zikir terbukti meningkatkan kecerdasan otak dan menambah kemampuannya. Oleh itu, saudara-saudara seIslam, ketika saintis barat baru menemui mukjizat ini, kita umat Islam iaitu umat terpilih ini telah lama mengamalkannya dan menerima manfaatnya. Malang bagi mereka yang masih memandang remeh tentang kepentingan berzikir dan secara nyata mengabaikannya. -penawar.com-
Al Quran, Fakta Unik dan Keajaiban Angka 7
Angka 7 pertama kali disebutkan dalam Al-Qur’an di surah Al-Baqarah dalam firman Allah,
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu, dan Dia berkehendak menciptakan langit, dan dijadikannya tujuh langit, dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu”.
Angka 7 disebut terakhir dalam surah An-Naba’ayat 12 dalam firmanNya,
“Dan Kami bangun di atas kamu tujuh langit yang kokoh.”
Sekarang mari kita cermati fakta-fakta kelipatan 7 diseputar kedua ayat ini.
Fakta pertama, jumlah surah Al-Baqarah, tempat penyebutan angka 7 pertama kali, hingga An-Naba’, tempat penyebutan terakhir kali, sebanyak 77. Kelipatan 7 {11 x 7}. Jumlah ayat dari ayat yang pertama kali menyebut angka 7 hingga ayat terakhir yang menyebut angka 7, atau dari ayat 29 Al-Baqarah hingga ayat 12 An-Naba’, adalah 5.649 ayat. Ini juga kelipatan 7 {807 x 7}.
Fakta kedua, dari awal Al-Baqarah sampai akhir An-Naba’ terdapat 5.705 ayat. Bilangan ini juga kelipatan 7, jumlah ayat diantara keduanya juga kelipatan 7, dan tema pembicaraan keduanya adalah angka 7.
Ayat pertama yang menyebut nama Allah adalah ayat pertama Al-Qur’an, yaitu Bismillahirrahmanirrahim {Q.S. Al-Fatihah: 1}, dan ayat terakhir yang menyebut lafal Allah adalah Allahusshamad {Q.S. Al-Ikhlas: 2}. Dari al-fatihah hingga Al-Ikhlas ada 112 surah, bilangan ini adalah kelipatan 7 {16 x 7}.
Dari ayat 1 Al-Fatihah hingga ayat 2 Al-Ikhlas ada 6.223 ayat. Bilangan ini juga kelipatan 7, sebanyak dua kali untuk menegaskan kebenaran sistem yang sangat teratur ini {127 x 7 x 7}. Jumlah huruf kedua ayat tersebut 29 buah, juga kelipatan 7.
Dalam Logika ilmiah menetapkan bahwa kebetulan tidak akan terulang secara kontinu dalam satu buku kecuali jika penyusun buku itu telah menyusunnya dengan cara tertentu. Keselarasan yang dilihat dengan angka 7 ini mengidentifikasikan secara pasti bahwa Allah telah menyusun kitabNya dengan format yang sesuai dengan angka 7. Dan masih ada lagi beberapa ayat di Al-Qur’an yang menyebutkan angka 7.
Sesungguhnya Allah tidak menjadikan sesuatu perkara itu dengan sia-sia atau secara kebetulan melainkan disebaliknya mengandung suatu hikmah besar lagi tersembunyi didalam pengetahuan dan rahasia Allah S.W.T. yang mungkin saja belum dapat kita pecahkan rahasia di baliknya. (acerahmatds)
Di antara rahasia di balik angka “7” ini adalah :
Allah telah menjadikan 7 HARI dalam seminggu.
Allah telah menjadikan 7 LAPISAN langit
Allah telah menjadikan 7 LAPISAN bumi.
Allah telah menjadikan 7 AYAT di dalam surah Al-Fatihah.
Allah telah menjadikan 7 KALI putaran TAWAF mengelilingi kaabah.
Allah telah menjadikan 7 KALI SA’I antara Bukit Shafa dan Marwah.
Allah telah menjadikan 7 PINTU SYURGA.
Allah telah menjadikan 7 PINTU NERAKA.
Allah telah menjadikan 7 PENGHUNI GUA yang tidur selama lebih 300 tahun didalam Gua (Surah Al-Kahfi)
Allah telah menjadikan 7 ANGGOTA SUJUD didalam sholat (2 kaki,2 lutut,2 tapak tangan dan 1 dahi)
Allah telah menjadikan 7 LAUTAN (Mediterranean,Adriatik,Laut Hitam,Laut Merah,Laut Arab,Persian,Laut Kaspia)
Allah telah menjadikan 7 BENUA (Asia,Afrika,Amerika,Australia,Antartika,Eropa,Oceana)
Terdapat 7 keajaiban dunia yang telah diakui sebagai warisan dunia ( 7 wonders of the ancient world).
Allah telah menjadikan angka 7 sebagai no ‘prime’(nombor perdana) dlm penyelesaian masalah matematik.Ianya juga digelar sebagai ‘safe prime’/no perdana yg unik.
Allah telah menjadikan 7 sebagai penyelesai kebanyakan masalah matematik yang melibatkan nombor kuasa genap,polynomial,vector dan nombor faktor sepunya.
Allah telah menjadikan 7 sisi polygon (heptagon), dimana sesebuah polygon sekata dpt dilukis dgn menggunakan jangka lukis,namun tidak bagi Heptagon (7 sisi) yang sekata ini.
Allah telah menjadikan 7 sebagai nilai yang paling kerap muncul (kebarangkalian 1/6) apabila dadu dibalingkan,jumlah hasil tambah 2 permukaan yg muncul itu menghasilkan 7
“Millenium Prize Problems” merupakan 7 masalah dalam ilmu matematik yang diumumkan oleh “Clay Mathematics Institute”.Hingga kini 6 lagi masalah tersebut belum diselesaikan.
Terdapat 7 unit S.I (Standard International) dalam Takaran fisik yaitu (meter,kilogram,waktu,ampere,Kelvin,mole, candela)
Allah telah menjadikan 7 warna di dalam pelangi.
Allah telah menjadikan 7 atom karbon didalam setiap molekul Heptana
Allah telah menjadikan 7 sebagai nilai ‘NEUTRAL’ antara sifat acid dan alkali.
Allah telah menjadikan 7 sebagai nombor atom didalam nitrogen.
7 merupakan bilangan “KALA” di dalam jadwal berkala (pengelasan unsur kimia)
Allah telah menjadikan 7 “Cervical vetebratae”/(tulang belakang leher yang menyambung ke kepala) bagi kebanyakan mamalia.
Terdapat 7 jenis virus merujuk kepada “Pengelasan Baltimore”
Terdapat 7 tompok hitam di atas badan kumbang jenis “LADYBIRD”
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu, dan Dia berkehendak menciptakan langit, dan dijadikannya tujuh langit, dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu”.
Angka 7 disebut terakhir dalam surah An-Naba’ayat 12 dalam firmanNya,
“Dan Kami bangun di atas kamu tujuh langit yang kokoh.”
Sekarang mari kita cermati fakta-fakta kelipatan 7 diseputar kedua ayat ini.
Fakta pertama, jumlah surah Al-Baqarah, tempat penyebutan angka 7 pertama kali, hingga An-Naba’, tempat penyebutan terakhir kali, sebanyak 77. Kelipatan 7 {11 x 7}. Jumlah ayat dari ayat yang pertama kali menyebut angka 7 hingga ayat terakhir yang menyebut angka 7, atau dari ayat 29 Al-Baqarah hingga ayat 12 An-Naba’, adalah 5.649 ayat. Ini juga kelipatan 7 {807 x 7}.
Fakta kedua, dari awal Al-Baqarah sampai akhir An-Naba’ terdapat 5.705 ayat. Bilangan ini juga kelipatan 7, jumlah ayat diantara keduanya juga kelipatan 7, dan tema pembicaraan keduanya adalah angka 7.
Ayat pertama yang menyebut nama Allah adalah ayat pertama Al-Qur’an, yaitu Bismillahirrahmanirrahim {Q.S. Al-Fatihah: 1}, dan ayat terakhir yang menyebut lafal Allah adalah Allahusshamad {Q.S. Al-Ikhlas: 2}. Dari al-fatihah hingga Al-Ikhlas ada 112 surah, bilangan ini adalah kelipatan 7 {16 x 7}.
Dari ayat 1 Al-Fatihah hingga ayat 2 Al-Ikhlas ada 6.223 ayat. Bilangan ini juga kelipatan 7, sebanyak dua kali untuk menegaskan kebenaran sistem yang sangat teratur ini {127 x 7 x 7}. Jumlah huruf kedua ayat tersebut 29 buah, juga kelipatan 7.
Dalam Logika ilmiah menetapkan bahwa kebetulan tidak akan terulang secara kontinu dalam satu buku kecuali jika penyusun buku itu telah menyusunnya dengan cara tertentu. Keselarasan yang dilihat dengan angka 7 ini mengidentifikasikan secara pasti bahwa Allah telah menyusun kitabNya dengan format yang sesuai dengan angka 7. Dan masih ada lagi beberapa ayat di Al-Qur’an yang menyebutkan angka 7.
Sesungguhnya Allah tidak menjadikan sesuatu perkara itu dengan sia-sia atau secara kebetulan melainkan disebaliknya mengandung suatu hikmah besar lagi tersembunyi didalam pengetahuan dan rahasia Allah S.W.T. yang mungkin saja belum dapat kita pecahkan rahasia di baliknya. (acerahmatds)
Di antara rahasia di balik angka “7” ini adalah :
Allah telah menjadikan 7 HARI dalam seminggu.
Allah telah menjadikan 7 LAPISAN langit
Allah telah menjadikan 7 LAPISAN bumi.
Allah telah menjadikan 7 AYAT di dalam surah Al-Fatihah.
Allah telah menjadikan 7 KALI putaran TAWAF mengelilingi kaabah.
Allah telah menjadikan 7 KALI SA’I antara Bukit Shafa dan Marwah.
Allah telah menjadikan 7 PINTU SYURGA.
Allah telah menjadikan 7 PINTU NERAKA.
Allah telah menjadikan 7 PENGHUNI GUA yang tidur selama lebih 300 tahun didalam Gua (Surah Al-Kahfi)
Allah telah menjadikan 7 ANGGOTA SUJUD didalam sholat (2 kaki,2 lutut,2 tapak tangan dan 1 dahi)
Allah telah menjadikan 7 LAUTAN (Mediterranean,Adriatik,Laut Hitam,Laut Merah,Laut Arab,Persian,Laut Kaspia)
Allah telah menjadikan 7 BENUA (Asia,Afrika,Amerika,Australia,Antartika,Eropa,Oceana)
Terdapat 7 keajaiban dunia yang telah diakui sebagai warisan dunia ( 7 wonders of the ancient world).
Allah telah menjadikan angka 7 sebagai no ‘prime’(nombor perdana) dlm penyelesaian masalah matematik.Ianya juga digelar sebagai ‘safe prime’/no perdana yg unik.
Allah telah menjadikan 7 sebagai penyelesai kebanyakan masalah matematik yang melibatkan nombor kuasa genap,polynomial,vector dan nombor faktor sepunya.
Allah telah menjadikan 7 sisi polygon (heptagon), dimana sesebuah polygon sekata dpt dilukis dgn menggunakan jangka lukis,namun tidak bagi Heptagon (7 sisi) yang sekata ini.
Allah telah menjadikan 7 sebagai nilai yang paling kerap muncul (kebarangkalian 1/6) apabila dadu dibalingkan,jumlah hasil tambah 2 permukaan yg muncul itu menghasilkan 7
“Millenium Prize Problems” merupakan 7 masalah dalam ilmu matematik yang diumumkan oleh “Clay Mathematics Institute”.Hingga kini 6 lagi masalah tersebut belum diselesaikan.
Terdapat 7 unit S.I (Standard International) dalam Takaran fisik yaitu (meter,kilogram,waktu,ampere,Kelvin,mole, candela)
Allah telah menjadikan 7 warna di dalam pelangi.
Allah telah menjadikan 7 atom karbon didalam setiap molekul Heptana
Allah telah menjadikan 7 sebagai nilai ‘NEUTRAL’ antara sifat acid dan alkali.
Allah telah menjadikan 7 sebagai nombor atom didalam nitrogen.
7 merupakan bilangan “KALA” di dalam jadwal berkala (pengelasan unsur kimia)
Allah telah menjadikan 7 “Cervical vetebratae”/(tulang belakang leher yang menyambung ke kepala) bagi kebanyakan mamalia.
Terdapat 7 jenis virus merujuk kepada “Pengelasan Baltimore”
Terdapat 7 tompok hitam di atas badan kumbang jenis “LADYBIRD”
Sabtu, 01 September 2012
Tarbiyah Rahasia Kemenangan Dakwah
Pengokohan Tarbiyah : “Tarbiyah Rahasia Kemenangan Dakwah”.
Posted by mujahidallah under Aktivis Biologi, Asholah Da'wah
[5] Comments
Pengokohan Tarbiyah : “Tarbiyah Rahasia Kemenangan Dakwah”.
Presentasi : Dra. Hj. Anis Byarwati Departemen Kaderisasi DPP PKS (Power Point. Sunday, November 21. 2010)
Disalin ulang oleh : Fadli Rahman. http://mujahidallah.wordpress.com , e-mail : agus.igaz@gmail.com
PENGARUH PERJALANAN WAKTU TERHADAP GERAK DAKWAH KITA.
• Semakin jauh rentang generasi, semakin jauh pemahaman terhadap cita-cita para pendiri jamaah.
• Melemah atau bahkan redupnya pemahaman terhadap “ashalah” dakwah (Ini menjadi persoalan penting mengingat IM adalah jamaah dengan keanggotaan yang sangat besar).
DIANTARA “MASHALAH” ITU.
• Pertama : Tolok ukur kemenangan pada keshalihan.
1. Bahwa kemenangan tidak hanya ditentukan oleh hal-hal yang bersifat fisik (materi).
2. Nasihat Umar RA pada pasukannya saat melepas mereka berperang, nasihat Abu Darda’, Fudhail bin Iyadh.
3. Kita berjuang dengan amal-amal kita sebelum dengan keahlian, strategi, dan senjata kita.
Kedua: Efek pantul kedekatan kepada Allah.
1. “Sebesar apa kesibukanmu terhadap Allah, sebesar itu pula kesibukan makhluk terhadap dirimu.” (Yahya bin Mu’adz).
2. Sebesar apa keseriusan kita dalam mendekati Allah, sebesar itu pula respon masyarakat terhadap dakwah kita. Jika kita bersikap santai dan dingin dalam perjuangan ini, maka begitu pulalah sikap masyarakat terhadap seruan kita.
3. Jika iman lemah, hati keras, maka kita melihat usaha kita kurang memberi manfaat meski kita banyak bergerak.
•Ketiga: Refleksi Kebaikan Diri. 1. “Yang pandai berbuat baik untuk orang lain hanyalah yang yang pandai berbuat baik untuk dirinya sendiri.” (Abdullah bin Wahhab). 2. Seorang da’i tidak bisa mempengaruhi orang lain selama ia sendiri tidak terpengaruh oleh apa yang diserukannya itu. (Kitab Al-Masaar, Muhammad Ahmad Ar-Rasyid).
APA CITA-CITA JAMAAH IM?
• “Ikhwan berkeyakinan bahwa khilafah adalah lambang kesatuan Islam dan bentuk formal dari ikatan antarbangsa muslim. Ia merupakan identitas dan kekuatan Islam…Oleh karena itu, Ikhwanul Muslimin menjadikan fikrah tentang khilafah dan upaya untuk mengembalikan eksistensinya sebagai agenda utama dalam manhajnya…” (Risalah Mu’tamarul Khamis). مَحَاوِرُ الدَّعْوَةِ
APA LANGKAH KONKRIT JAMA’AH UNTUK MENGEMBALIKAN KHILAFAH?
• Menyiapkan SDM, kader.
• ..Bisa saya katakan bahwa yang pertama kali kita siapkan adalah kebangkitan ruhani, hidupnya hati, serta kesadaran penuh yang ada dalam jiwa dan perasaan. Kami menginginkan jiwa-jiwa yang hidup, kuat, tangguh, hati-hati yang segar serta memiliki semangat yang berkobar, perasaan dan ghirah yang selalu bergelora, ruh-ruh yang bersemangat, selalu optimis, merindukan nilai-nilai yang luhur, tujuan mulia serta mau bekerja keras untuk mengapainya..” (Risalah Da’watuna Fii Thaurin Jadiid)
TIGA PERASAAN.
• Perasaan Pertama: Keimanan pada keagungan risalah, bahwa risalah yang kita perjuangkan adalah risalah Allah, adalah kebenaran, adalah sebaik-baik fikrah dan seutama-utamanya manhaj.
• Perasaan Kedua: Kebanggaan dalam mengemban risalah. Selama kita menjadi pendukung kebenaran, maka kita adalah pemimpin bagi manusia. (QS Ali Imran: 110)
• Perasaan Ketiga: Optimis terhadap dukungan dan pertolongan Allah. Bahwa selama kita beriman pada kebenaran dan bangga menjadi pendukungnya, maka Allah akan selalu bersama kita; Dia akan memberikan dukungan, bimbingan dan pertolongan; Dia akan selalu bersama kita dimanapun kita berada. Dan bila tak ada penduduk bumi yang siap mendukung kita, maka Dia akan menurunkan pasukan dari langit untuk mendukung kita. (Prof. Dr. Abdul Hamid Al-Ghazali, Haula Assasiyat Al-Masyru’ Al-Islamy Li Nahdhatil Ummah)
KEY WORDS: KADER YANG BERKUALITAS!
• “Kader adalah rahasia kehidupan dan kebangkitan. Sejarah umat adalah sejarah para kader militan dan memiliki kekuatan jiwa dan kehendak. Sesungguhnya kuat lemahnya suatu umat diukur dari sejauh mana umat tersebut dalam menghasilkan kader-kader yang memiliki sifat ksatria…” (Risalah Hal Nahnu Qaumun Amaliyun)
INILAH KADER YANG BERKUALITAS ITU.
Pemahahan Islam yang menyeluruh dan benar bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah. Keikhlasan yang tinggi, sehingga ia menjadi pembela fikroh dan aqidah bukan pembela kepentingan dan keuntungan pribadi. Mengutamakan kerja dari pada berbicara. Totalitas untuk da’wah. Selalu siap jihad dalam rangka menegakkan syari’at Allah. Siap berkorban dengan segala potensi yang ia miliki. Tegar dijalan untuk mencapai cita-cita da’wah, sekalipun lama waktunya, panjang perjalanannya dan berat tantangannya. Membiasakan diri untuk selalu taat kepada qiadah dan jama’ah. Percaya kepada kepada qiadah dan jama’ah. Selalu memelihara kemurnian ukhuwwah yang berdiri di atas kasih sayang dan cinta mencintai. (Risalah At-Ta’lim)
• Sampai saat ini dalam Manhaj IM, Satu-satunya cara yang diyakini mampu untuk mewujudkan kader yang berkualitas adalah: TARBIYAH!
• Tarbiyah adalah “tsawabit” dalam manhaj kita. • Tarbiyah adalah jalan kita, ciri khas kita. Dengan tarbiyah kita tumbuh, dengan tarbiyah kita berkembang, dan dengan tarbiyah kita meraih kemenangan.
DASAR-DASAR (ASAS) PEMBENTUKAN KADER DA’WAH
• Al-Fahmu ad-Daqiq • Al-Iman al- Amiq • At-Takwin al-Matin • Tarbiyah Mutawashilah
• Kader yang proses tarbiyahnya bermasalah akan menjadi masalah dan menimbulkan banyak masalah, baik masalah pribadi, keluarga, sosial, da’wah dan harokah.
• Kegiatan tarbiyah bagi kader da’wah bukan kegiatan sampingan atau aktifitas sekunder yang boleh di abaikan dan ditunda atau diganti dengan kegiatan yang lain, tetapi ia harus menjadi kegiatan yang asasi baginya yang harus diutamakan dari kegiatan yang lain, dari kegiatan da’wah sekalipun. • Bagi kader da’wah tidak boleh meninggalkan tarbiyah dengan alasan sibuk da’wah sya’biyah atau istirahat dan cuti tarbiyah karena kuliah dan kerja cari maisyah.
• “Saya pertegas kepada saudara-saudara yang memilki ghiroh Islam, bahwa setiap jama’ah islamiyah pada saat ini sangat membutuhkan kader yang aktif bekerja (amil) , pemikir (mufakkir) , pemberani (jar-i) , produktif (muntij) . Maka haram hukumnya bagi kader da’wah lambat memenuhi panggilan da’wah walaupun hanya satu menit saja “. (Risalah Hal Nahnu Qaumun Amaliyyun) • • “Kader da’wah yang di butuhkan hari ini berbeda dengan kader da’wah kemarin, kader da’wah hari ini harus memiliki wawasan intelektualitas yang luas (mutsaqqofun) , terampil dan berbakat (mujahhazun) , terlatih (mudarrobun) dan spesialis profesional (mutakhasisun)…” (Risalah Da’watuna).
WARNING !! • ..
”Sesungguhnya suatu umat yang terbuai dalam kenikmatan, terlena oleh kemewahan, tenggelam dalam kemilau harta benda dan tertipu oleh pesona bunga-bunga dunia, serta lupa pada kemungkinan menghadapi tragedi, lupa berjuang menegakkan kebenaran, kepada umat seperti itu katakanlah: “Selamat tinggal kehormatan dan kemuliaan!” (Risalah Ila Ayyi Syai’in Nad’un Naas).
WALLAHU’ALAM BISH-SHAWWAB
Posted by mujahidallah under Aktivis Biologi, Asholah Da'wah
[5] Comments
Pengokohan Tarbiyah : “Tarbiyah Rahasia Kemenangan Dakwah”.
Presentasi : Dra. Hj. Anis Byarwati Departemen Kaderisasi DPP PKS (Power Point. Sunday, November 21. 2010)
Disalin ulang oleh : Fadli Rahman. http://mujahidallah.wordpress.com , e-mail : agus.igaz@gmail.com
PENGARUH PERJALANAN WAKTU TERHADAP GERAK DAKWAH KITA.
• Semakin jauh rentang generasi, semakin jauh pemahaman terhadap cita-cita para pendiri jamaah.
• Melemah atau bahkan redupnya pemahaman terhadap “ashalah” dakwah (Ini menjadi persoalan penting mengingat IM adalah jamaah dengan keanggotaan yang sangat besar).
DIANTARA “MASHALAH” ITU.
• Pertama : Tolok ukur kemenangan pada keshalihan.
1. Bahwa kemenangan tidak hanya ditentukan oleh hal-hal yang bersifat fisik (materi).
2. Nasihat Umar RA pada pasukannya saat melepas mereka berperang, nasihat Abu Darda’, Fudhail bin Iyadh.
3. Kita berjuang dengan amal-amal kita sebelum dengan keahlian, strategi, dan senjata kita.
Kedua: Efek pantul kedekatan kepada Allah.
1. “Sebesar apa kesibukanmu terhadap Allah, sebesar itu pula kesibukan makhluk terhadap dirimu.” (Yahya bin Mu’adz).
2. Sebesar apa keseriusan kita dalam mendekati Allah, sebesar itu pula respon masyarakat terhadap dakwah kita. Jika kita bersikap santai dan dingin dalam perjuangan ini, maka begitu pulalah sikap masyarakat terhadap seruan kita.
3. Jika iman lemah, hati keras, maka kita melihat usaha kita kurang memberi manfaat meski kita banyak bergerak.
•Ketiga: Refleksi Kebaikan Diri. 1. “Yang pandai berbuat baik untuk orang lain hanyalah yang yang pandai berbuat baik untuk dirinya sendiri.” (Abdullah bin Wahhab). 2. Seorang da’i tidak bisa mempengaruhi orang lain selama ia sendiri tidak terpengaruh oleh apa yang diserukannya itu. (Kitab Al-Masaar, Muhammad Ahmad Ar-Rasyid).
APA CITA-CITA JAMAAH IM?
• “Ikhwan berkeyakinan bahwa khilafah adalah lambang kesatuan Islam dan bentuk formal dari ikatan antarbangsa muslim. Ia merupakan identitas dan kekuatan Islam…Oleh karena itu, Ikhwanul Muslimin menjadikan fikrah tentang khilafah dan upaya untuk mengembalikan eksistensinya sebagai agenda utama dalam manhajnya…” (Risalah Mu’tamarul Khamis). مَحَاوِرُ الدَّعْوَةِ
APA LANGKAH KONKRIT JAMA’AH UNTUK MENGEMBALIKAN KHILAFAH?
• Menyiapkan SDM, kader.
• ..Bisa saya katakan bahwa yang pertama kali kita siapkan adalah kebangkitan ruhani, hidupnya hati, serta kesadaran penuh yang ada dalam jiwa dan perasaan. Kami menginginkan jiwa-jiwa yang hidup, kuat, tangguh, hati-hati yang segar serta memiliki semangat yang berkobar, perasaan dan ghirah yang selalu bergelora, ruh-ruh yang bersemangat, selalu optimis, merindukan nilai-nilai yang luhur, tujuan mulia serta mau bekerja keras untuk mengapainya..” (Risalah Da’watuna Fii Thaurin Jadiid)
TIGA PERASAAN.
• Perasaan Pertama: Keimanan pada keagungan risalah, bahwa risalah yang kita perjuangkan adalah risalah Allah, adalah kebenaran, adalah sebaik-baik fikrah dan seutama-utamanya manhaj.
• Perasaan Kedua: Kebanggaan dalam mengemban risalah. Selama kita menjadi pendukung kebenaran, maka kita adalah pemimpin bagi manusia. (QS Ali Imran: 110)
• Perasaan Ketiga: Optimis terhadap dukungan dan pertolongan Allah. Bahwa selama kita beriman pada kebenaran dan bangga menjadi pendukungnya, maka Allah akan selalu bersama kita; Dia akan memberikan dukungan, bimbingan dan pertolongan; Dia akan selalu bersama kita dimanapun kita berada. Dan bila tak ada penduduk bumi yang siap mendukung kita, maka Dia akan menurunkan pasukan dari langit untuk mendukung kita. (Prof. Dr. Abdul Hamid Al-Ghazali, Haula Assasiyat Al-Masyru’ Al-Islamy Li Nahdhatil Ummah)
KEY WORDS: KADER YANG BERKUALITAS!
• “Kader adalah rahasia kehidupan dan kebangkitan. Sejarah umat adalah sejarah para kader militan dan memiliki kekuatan jiwa dan kehendak. Sesungguhnya kuat lemahnya suatu umat diukur dari sejauh mana umat tersebut dalam menghasilkan kader-kader yang memiliki sifat ksatria…” (Risalah Hal Nahnu Qaumun Amaliyun)
INILAH KADER YANG BERKUALITAS ITU.
Pemahahan Islam yang menyeluruh dan benar bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah. Keikhlasan yang tinggi, sehingga ia menjadi pembela fikroh dan aqidah bukan pembela kepentingan dan keuntungan pribadi. Mengutamakan kerja dari pada berbicara. Totalitas untuk da’wah. Selalu siap jihad dalam rangka menegakkan syari’at Allah. Siap berkorban dengan segala potensi yang ia miliki. Tegar dijalan untuk mencapai cita-cita da’wah, sekalipun lama waktunya, panjang perjalanannya dan berat tantangannya. Membiasakan diri untuk selalu taat kepada qiadah dan jama’ah. Percaya kepada kepada qiadah dan jama’ah. Selalu memelihara kemurnian ukhuwwah yang berdiri di atas kasih sayang dan cinta mencintai. (Risalah At-Ta’lim)
• Sampai saat ini dalam Manhaj IM, Satu-satunya cara yang diyakini mampu untuk mewujudkan kader yang berkualitas adalah: TARBIYAH!
• Tarbiyah adalah “tsawabit” dalam manhaj kita. • Tarbiyah adalah jalan kita, ciri khas kita. Dengan tarbiyah kita tumbuh, dengan tarbiyah kita berkembang, dan dengan tarbiyah kita meraih kemenangan.
DASAR-DASAR (ASAS) PEMBENTUKAN KADER DA’WAH
• Al-Fahmu ad-Daqiq • Al-Iman al- Amiq • At-Takwin al-Matin • Tarbiyah Mutawashilah
• Kader yang proses tarbiyahnya bermasalah akan menjadi masalah dan menimbulkan banyak masalah, baik masalah pribadi, keluarga, sosial, da’wah dan harokah.
• Kegiatan tarbiyah bagi kader da’wah bukan kegiatan sampingan atau aktifitas sekunder yang boleh di abaikan dan ditunda atau diganti dengan kegiatan yang lain, tetapi ia harus menjadi kegiatan yang asasi baginya yang harus diutamakan dari kegiatan yang lain, dari kegiatan da’wah sekalipun. • Bagi kader da’wah tidak boleh meninggalkan tarbiyah dengan alasan sibuk da’wah sya’biyah atau istirahat dan cuti tarbiyah karena kuliah dan kerja cari maisyah.
• “Saya pertegas kepada saudara-saudara yang memilki ghiroh Islam, bahwa setiap jama’ah islamiyah pada saat ini sangat membutuhkan kader yang aktif bekerja (amil) , pemikir (mufakkir) , pemberani (jar-i) , produktif (muntij) . Maka haram hukumnya bagi kader da’wah lambat memenuhi panggilan da’wah walaupun hanya satu menit saja “. (Risalah Hal Nahnu Qaumun Amaliyyun) • • “Kader da’wah yang di butuhkan hari ini berbeda dengan kader da’wah kemarin, kader da’wah hari ini harus memiliki wawasan intelektualitas yang luas (mutsaqqofun) , terampil dan berbakat (mujahhazun) , terlatih (mudarrobun) dan spesialis profesional (mutakhasisun)…” (Risalah Da’watuna).
WARNING !! • ..
”Sesungguhnya suatu umat yang terbuai dalam kenikmatan, terlena oleh kemewahan, tenggelam dalam kemilau harta benda dan tertipu oleh pesona bunga-bunga dunia, serta lupa pada kemungkinan menghadapi tragedi, lupa berjuang menegakkan kebenaran, kepada umat seperti itu katakanlah: “Selamat tinggal kehormatan dan kemuliaan!” (Risalah Ila Ayyi Syai’in Nad’un Naas).
WALLAHU’ALAM BISH-SHAWWAB
Jumat, 31 Agustus 2012
BERJILBAB YANG DIANJURKAN ISLAM DAN DILARANG OLEH ISLAM: CARA BERJILBAB YANG DI AJARKAN OLEH AL-QUR'AN
CARA BERJILBAB YANG DI AJARKAN OLEH AL-QUR'AN
Setiap muslimah diwajibkan memakai jilbab untuk menutup auratnya. Tetapi dalam berjilbab ini ternyata masih banyak yang salah, melenceng dari syariat islam dan cenderung menjerumus ke hal yang dilarang. Berikut adalah cara berjilbab yang banyak berkembang dikalangan muslimah tetapi sebenarnya salah dan dilarang. Dalam berjilbab seharusnya para muslimah jangan mendahulukan fashion ketimbang syariat. Fashion boleh, dianjurkan malah. Allah itu indah dan mencintai keindahan. Tetapi fashion harus mengikut syariat, bukan syariat yang mengikut fashion.
Mari kita lihat fashion jilbab sekarang yang salah dan boleh dikatakan menyerupai pakaian agama lain:
1. jilbab yang bersanggul.
Larangan jilbab yang bersanggul ini datang sendiri dari nabi Muhammad SAW seperti yang terlihat pada gambar di atas.
Rasullullah bersabda “ada dua golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat:
1. Suatu kaum yang memiliki cemeti seperti ekor lembu untuk memukul manusia dan,
2. Para wanita yang berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti bonggol unta yang bergoyang-goyang.
Wanita yang seperti itu tidak akan masuk syurga dan tidak akan mencium baunya. Sedangkan baunya dapat tercium selama perjalanan sekian dan sekian” (HR. Muslim)
Jelas sekali diterangkan rasulullah bahwa wanita yang seperti itu tidak akan masuk syurga dan mencium baunya pun tidak. Maka ini peringatan bagi para muslimah untuk bermuhasabah diri.
2. fashion jilbab menyerupai biarawati kristian
Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang menterupai suatu kaum, maka ia termasuk dari golongan mereka”(HR. Abu Dawud, dishahihkan oleh Ibnu Hibban)
Sangat dilarang umat islam untuk menyerupai suatu kaum. Nah disini dibahas fashion yang menyerupai biarawati kristian, yang seperti apa itu? Fashion para biarawati yaitu menggunakan penutup seperti jilbab dengan menampakkan bentuk lehernya. Mungkin masih sering kita jumpai para muslimah yang mengenakan jilbab dengan menampakkan bentuk lehernya. Itu merukan hal yang dilarang karena menyerupai kaum kristian.
Baik telah ana jelaskan diatas tentang cara berjilbab yang mungkin masih banyak atau sedang ngetren-ngetren nya di kalangan muslimah apalagi remaja, tetapi sayangnya dilarang. Mungkin masih banyak yang belum mengetahui tentang informasi ini, jadi bagi sahabat yang sudah mengetahuinya, ana harap dapat diamalkan.
Jadi kalau sahabat masih menemukan teman atau saudara kita menggunakan fashion jilbab seperti diatas. Alangkah baiknya untuk sekedar member tahu atau member pencerahan. Tetapi harus dengan baik-baik dengan cara yang lembut tanpa menyakiti hati saudara kita itu.
NB: alangkah indah lagi jika para muslimah menghulurkan jilbabnya ke seluruh tubuhnya, pasti akan lebih terlihat cantik dan manis..
Wallahu alam bi shawab..
cara berjilbab yang benar
Jadi bagi para kaum hawa, mulai saat inilh kita harus memperbaiki cara berpakaian kita yang selama ini tidak sesuai dengan syari'at islam, di dunia inilah kita bisa memperbaiki, tetapi jika nyawa sudah di kerongkongan, maka kita akan menyesal selama-lamanya, ini adalah perintah Allah SWT melalui Al-Qur'an mari kita bertaqwa dengan menjalankan syari'at yang diperintahkan oleh Allah SWT.
Allah Jalla wa ’Ala berfirman yang artinya:
"Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri istrimu, anak anak perempuanmu dan istri istri orang mukmin, "Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". (QS. Al Ahzaab: 59).
Setiap muslimah diwajibkan memakai jilbab untuk menutup auratnya. Tetapi dalam berjilbab ini ternyata masih banyak yang salah, melenceng dari syariat islam dan cenderung menjerumus ke hal yang dilarang. Berikut adalah cara berjilbab yang banyak berkembang dikalangan muslimah tetapi sebenarnya salah dan dilarang. Dalam berjilbab seharusnya para muslimah jangan mendahulukan fashion ketimbang syariat. Fashion boleh, dianjurkan malah. Allah itu indah dan mencintai keindahan. Tetapi fashion harus mengikut syariat, bukan syariat yang mengikut fashion.
Mari kita lihat fashion jilbab sekarang yang salah dan boleh dikatakan menyerupai pakaian agama lain:
1. jilbab yang bersanggul.
Larangan jilbab yang bersanggul ini datang sendiri dari nabi Muhammad SAW seperti yang terlihat pada gambar di atas.
Rasullullah bersabda “ada dua golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat:
1. Suatu kaum yang memiliki cemeti seperti ekor lembu untuk memukul manusia dan,
2. Para wanita yang berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti bonggol unta yang bergoyang-goyang.
Wanita yang seperti itu tidak akan masuk syurga dan tidak akan mencium baunya. Sedangkan baunya dapat tercium selama perjalanan sekian dan sekian” (HR. Muslim)
Jelas sekali diterangkan rasulullah bahwa wanita yang seperti itu tidak akan masuk syurga dan mencium baunya pun tidak. Maka ini peringatan bagi para muslimah untuk bermuhasabah diri.
2. fashion jilbab menyerupai biarawati kristian
Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang menterupai suatu kaum, maka ia termasuk dari golongan mereka”(HR. Abu Dawud, dishahihkan oleh Ibnu Hibban)
Sangat dilarang umat islam untuk menyerupai suatu kaum. Nah disini dibahas fashion yang menyerupai biarawati kristian, yang seperti apa itu? Fashion para biarawati yaitu menggunakan penutup seperti jilbab dengan menampakkan bentuk lehernya. Mungkin masih sering kita jumpai para muslimah yang mengenakan jilbab dengan menampakkan bentuk lehernya. Itu merukan hal yang dilarang karena menyerupai kaum kristian.
Baik telah ana jelaskan diatas tentang cara berjilbab yang mungkin masih banyak atau sedang ngetren-ngetren nya di kalangan muslimah apalagi remaja, tetapi sayangnya dilarang. Mungkin masih banyak yang belum mengetahui tentang informasi ini, jadi bagi sahabat yang sudah mengetahuinya, ana harap dapat diamalkan.
Jadi kalau sahabat masih menemukan teman atau saudara kita menggunakan fashion jilbab seperti diatas. Alangkah baiknya untuk sekedar member tahu atau member pencerahan. Tetapi harus dengan baik-baik dengan cara yang lembut tanpa menyakiti hati saudara kita itu.
NB: alangkah indah lagi jika para muslimah menghulurkan jilbabnya ke seluruh tubuhnya, pasti akan lebih terlihat cantik dan manis..
Wallahu alam bi shawab..
cara berjilbab yang benar
Jadi bagi para kaum hawa, mulai saat inilh kita harus memperbaiki cara berpakaian kita yang selama ini tidak sesuai dengan syari'at islam, di dunia inilah kita bisa memperbaiki, tetapi jika nyawa sudah di kerongkongan, maka kita akan menyesal selama-lamanya, ini adalah perintah Allah SWT melalui Al-Qur'an mari kita bertaqwa dengan menjalankan syari'at yang diperintahkan oleh Allah SWT.
Allah Jalla wa ’Ala berfirman yang artinya:
"Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri istrimu, anak anak perempuanmu dan istri istri orang mukmin, "Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". (QS. Al Ahzaab: 59).
Senin, 27 Agustus 2012
Doa Para Akhwat yang sangat merindukan datangnya seorang pendamping....
Untuk Para Akhwat.... mari kita Aminkan Doa ini.......
Untuk Para Ikhwan.... Dengarlah Doa Para Akhwat yang sangat merindukan datangnya seorang pendamping....
"Peringatan Rasulullah: "Bukan termasuk golonganku orang-orang yang merasa khawatir akan terkungkung hidupnya karena menikah kemudian ia tidak menikah." (HR. Thabrani). "
Apa yang menghimpit saudara kita sehingga MEREKA SANGGUP MENETESKAN AIR MATA. Awalnya adalah KARENA MEREKA MENUNDA APA YANG HARUS DISEGERAKAN, MEMPERSULIT APA YANG SEHARUSNYA DIMUDAHKAN. Padahal Rasululloh berpesan: "Wahai Ali, ada TIGA PERKARA JANGAN DITUNDA-TUNDA, apabila SHOLAT TELAH TIBA WAKTUNYA, JENAZAH APABILA TELAH SIAP PENGUBURANNYA, dan PEREMPUAN APABILA TELAH DATANG LAKI-LAKI YANG SEPADAN MEMINANGNYA." (HR Ahmad) "
-- M. Fauzil Adhim
****************************
A Prayer
Tuhanku...
Aku berdo'a untuk seorang pria yang akan menjadi bagian dari hidupku
Seseorang yang sungguh mencintaiMu lebih dari segala sesuatu
Seorang pria yang akan meletakkanku pada posisi kedua di hatinya setelah Engkau
Seorang pria yang hidup bukan untuk dirinya sendiri tetapi untukMu
Wajah tampan dan daya tarik fisik tidaklah penting
Yang penting adalah sebuah hati yang sungguh mencintai dan dekat dengan Engkau
dan berusaha menjadikan sifat-sifatMu ada pada dirinya
Dan ia haruslah mengetahui bagi siapa dan untuk apa ia hidup sehingga hidupnya tidaklah sia-sia
Seseorang yang memiliki hati yang bijak tidak hanya otak yang cerdas
Seorang pria yang tidak hanya mencintaiku tapi juga menghormatiku
Seorang pria yang tidak hanya memujaku tetapi juga dapat menasihatiku ketika aku berbuat salah
Seseorang yang mencintaiku bukan karena kecantikanku tapi karena hatiku
Seorang pria yang dapat menjadi sahabat terbaikku dalam setiap waktu dan situasi
Seseorang yang dapat membuatku merasa sebagai seorang wanita ketika aku di sisinya
Tuhanku...
Aku tidak meminta seseorang yang sempurna namun aku meminta seseorang yang tidak sempurna,
sehingga aku dapat membuatnya sempurna di mataMu
Seorang pria yang membutuhkan dukunganku sebagai peneguhnya
Seorang pria yang membutuhkan doaku untuk kehidupannya
Seseorang yang membutuhkan senyumku untuk mengatasi kesedihannya
Seseorang yang membutuhkan diriku untuk membuat hidupnya menjadi sempurna
Tuhanku...
Aku juga meminta,
Buatlah aku menjadi wanita yang dapat membuatnya bangga
Berikan aku hati yang sungguh mencintaiMu sehingga aku dapat mencintainya dengan sekedar cintaku
Berikanlah sifat yang lembut sehingga kecantikanku datang dariMu
Berikanlah aku tangan sehingga aku selalu mampu berdoa untuknya
Berikanlah aku penglihatan sehingga aku dapat melihat banyak hal baik dan bukan hal buruk dalam dirinya
Berikanlah aku lisan yang penuh dengan kata-kata bijaksana,
mampu memberikan semangat serta mendukungnya setiap saat dan tersenyum untuk dirinya setiap pagi
Dan bilamana akhirnya kami akan bertemu, aku berharap kami berdua dapat mengatakan:
"Betapa Maha Besarnya Engkau karena telah memberikan kepadaku pasangan yang dapat membuat hidupku menjadi sempurna."
Aku mengetahui bahwa Engkau ingin kami bertemu pada waktu yang tepat
Dan Engkau akan membuat segala sesuatunya indah pada waktu yang telah Engkau tentukan
Amin....
Untuk Para Ikhwan.... Dengarlah Doa Para Akhwat yang sangat merindukan datangnya seorang pendamping....
"Peringatan Rasulullah: "Bukan termasuk golonganku orang-orang yang merasa khawatir akan terkungkung hidupnya karena menikah kemudian ia tidak menikah." (HR. Thabrani). "
Apa yang menghimpit saudara kita sehingga MEREKA SANGGUP MENETESKAN AIR MATA. Awalnya adalah KARENA MEREKA MENUNDA APA YANG HARUS DISEGERAKAN, MEMPERSULIT APA YANG SEHARUSNYA DIMUDAHKAN. Padahal Rasululloh berpesan: "Wahai Ali, ada TIGA PERKARA JANGAN DITUNDA-TUNDA, apabila SHOLAT TELAH TIBA WAKTUNYA, JENAZAH APABILA TELAH SIAP PENGUBURANNYA, dan PEREMPUAN APABILA TELAH DATANG LAKI-LAKI YANG SEPADAN MEMINANGNYA." (HR Ahmad) "
-- M. Fauzil Adhim
****************************
A Prayer
Tuhanku...
Aku berdo'a untuk seorang pria yang akan menjadi bagian dari hidupku
Seseorang yang sungguh mencintaiMu lebih dari segala sesuatu
Seorang pria yang akan meletakkanku pada posisi kedua di hatinya setelah Engkau
Seorang pria yang hidup bukan untuk dirinya sendiri tetapi untukMu
Wajah tampan dan daya tarik fisik tidaklah penting
Yang penting adalah sebuah hati yang sungguh mencintai dan dekat dengan Engkau
dan berusaha menjadikan sifat-sifatMu ada pada dirinya
Dan ia haruslah mengetahui bagi siapa dan untuk apa ia hidup sehingga hidupnya tidaklah sia-sia
Seseorang yang memiliki hati yang bijak tidak hanya otak yang cerdas
Seorang pria yang tidak hanya mencintaiku tapi juga menghormatiku
Seorang pria yang tidak hanya memujaku tetapi juga dapat menasihatiku ketika aku berbuat salah
Seseorang yang mencintaiku bukan karena kecantikanku tapi karena hatiku
Seorang pria yang dapat menjadi sahabat terbaikku dalam setiap waktu dan situasi
Seseorang yang dapat membuatku merasa sebagai seorang wanita ketika aku di sisinya
Tuhanku...
Aku tidak meminta seseorang yang sempurna namun aku meminta seseorang yang tidak sempurna,
sehingga aku dapat membuatnya sempurna di mataMu
Seorang pria yang membutuhkan dukunganku sebagai peneguhnya
Seorang pria yang membutuhkan doaku untuk kehidupannya
Seseorang yang membutuhkan senyumku untuk mengatasi kesedihannya
Seseorang yang membutuhkan diriku untuk membuat hidupnya menjadi sempurna
Tuhanku...
Aku juga meminta,
Buatlah aku menjadi wanita yang dapat membuatnya bangga
Berikan aku hati yang sungguh mencintaiMu sehingga aku dapat mencintainya dengan sekedar cintaku
Berikanlah sifat yang lembut sehingga kecantikanku datang dariMu
Berikanlah aku tangan sehingga aku selalu mampu berdoa untuknya
Berikanlah aku penglihatan sehingga aku dapat melihat banyak hal baik dan bukan hal buruk dalam dirinya
Berikanlah aku lisan yang penuh dengan kata-kata bijaksana,
mampu memberikan semangat serta mendukungnya setiap saat dan tersenyum untuk dirinya setiap pagi
Dan bilamana akhirnya kami akan bertemu, aku berharap kami berdua dapat mengatakan:
"Betapa Maha Besarnya Engkau karena telah memberikan kepadaku pasangan yang dapat membuat hidupku menjadi sempurna."
Aku mengetahui bahwa Engkau ingin kami bertemu pada waktu yang tepat
Dan Engkau akan membuat segala sesuatunya indah pada waktu yang telah Engkau tentukan
Amin....
Agenda Harian
Semoga kita senantiasa terpacu untuk mengukir prestasi amal yang akan memperberat timbangan kebaikan di yaumil akhir, berikut rangkaian yang bisa dilakukan
1. Agenda pada sepertiga malam akhir
a. Menunaikan shalat tahajjud dengan memanjangkan waktu pada saat ruku’ dan sujud di dalamnya,
b. Menunaikan shalat witir
c. Duduk untuk berdoa dan memohon ampun kepada Allah hingga azan subuh
Rasulullah saw bersabda:
يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الْآخِرُ فَيَقُولُ مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ
“Sesungguhnya Allah SWT selalu turun pada setiap malam menuju langit dunia saat 1/3 malam terakhir, dan Dia berkata: “Barangsiapa yang berdoa kepada-Ku maka akan Aku kabulkan, dan barangsiapa yang meminta kepada-Ku maka akan Aku berikan, dan barangsiapa yang memohon ampun kepada-Ku maka akan Aku ampuni”. (HR. Bukhari Muslim)
2. Agenda Setelah Terbit Fajar
a. Menjawab seruan azan untuk shalat subuh
” الَّلهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلاَةِ الْقَائِمَةِ آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيْلَةَ وَالْفَضِيْلَةَ وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُوْدًا الَّذِي وَعَدْتَهُ “
“Ya Allah, Tuhan pemilik seruan yang sempurna ini, shalat yang telah dikumandangkan, berikanlah kepada Nabi Muhammad wasilah dan karunia, dan bangkitkanlah dia pada tempat yang terpuji seperti yang telah Engkau janjikan. (Ditashih oleh Al-Albani)
b. Menunaikan shalat sunnah fajar di rumah dua rakaat
Rasulullah saw bersabda:
رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيْهَا
“Dua rakaat sunnah fajar lebih baik dari dunia dan segala isinya”. (Muslim)
وَ قَدْ قَرَأَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فِي رَكْعَتَي الْفَجْرِ قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُوْنَ وَقُلْ هُوَ اللهُ أَحَدَ
“Nabi saw pada dua rakaat sunnah fajar membaca surat “Qul ya ayyuhal kafirun” dan “Qul huwallahu ahad”.
c. Menunaikan shalat subuh berjamaah di masjid –khususnya- bagi laki-laki.
Rasulullah saw bersabda:
وَلَوْ يَعْلَمُوْنَ مَا فِي الْعَتْمَةِ وَالصُّبْحِ لأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا
“Sekiranya manusia tahu apa yang ada dalam kegelapan dan subuh maka mereka akan mendatanginya walau dalam keadaan tergopoh-gopoh” (Muttafaqun alaih)
بَشِّرِ الْمَشَّائِيْنَ فِي الظّلَمِ إِلَى الْمَسَاجِدِ بِالنُّوْرِ التَّامِّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Berikanlah kabar gembira kepada para pejalan di kegelapan menuju masjid dengan cahaya yang sempurna pada hari kiamat”. (Tirmidzi dan ibnu Majah)
d. Menyibukkan diri dengan doa, dzikir atau tilawah Al-Quran hingga waktu iqamat shalat
Rasulullah saw bersabda:
الدُّعَاءُ لاَ يُرَدُّ بَيْنَ الأَذَانِ وَالإِقَامَةِ
“Doa antara adzan dan iqamat tidak akan ditolak” (Ahmad dan Tirmidzi dan Abu Daud)
e. Duduk di masjid bagi laki-laki /mushalla bagi wanita untuk berdzikir dan membaca dzikir waktu pagi
Dalam hadits nabi disebutkan:
كَانَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” إَذَا صَلَّى الْفَجْرَ تَرَبَّعَ فِي مَجْلِسِهِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ الْحَسَنَاءُ
” Nabi saw jika selesai shalat fajar duduk di tempat duduknya hingga terbit matahari yang ke kuning-kuningan”. (Muslim)
Agenda prioritas
Membaca Al-Quran.
Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya waktu fajar itu disaksikan (malaikat). (Al-Isra : 78) Dan memiliki komitmen sesuai kemampuannya untuk selalu:
- Membaca ½ hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 1 kali
- Membaca 1 hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 2 kali
- Bagi yang mampu menambah lebih banyak dari itu semua, maka akan menuai kebaikan berlimpah insya Allah.
3. Menunaikan shalat Dhuha walau hanya dua rakaat
Rasulullah saw bersabda:
يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنْ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنْ الضُّحَى
“Setiap ruas tulang tubuh manusia wajib dikeluarkan sedekahnya, setiap hari ketika matahari terbit. Mendamaikan antara dua orang yang berselisih adalah sedekah, menolong orang dengan membantunya menaiki kendaraan atau mengangkat kan barang ke atas kendaraannya adalah sedekah, kata-kata yang baik adalah sedekah, tiap-tiap langkahmu untuk mengerjakan shalat adalah sedekah, dan membersihkan rintangan dari jalan adalah sedekah”. (Bukhari dan Muslim)
4. Berangkat kerja atau belajar dengan berharap karena Allah
Rasulullah saw bersabda:
مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمِلِ يَدِهِ، وَكَانَ دَاوُدُ لا يَأْكُلُ إِلا مِنْ عَمِلِ يَدِهِ
“Tidaklah seseorang memakan makanan, lebih baik dari yang didapat oleh tangannya sendiri, dan bahwa nabi Daud makan dari hasil tangannya sendiri”. (Bukhari)
Dalam hadits lainnya nabi juga bersabda:
مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ
“Barangsiapa yang berjalan dalam rangka mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga”. (Muslim)
d. Menyibukkan diri dengan dzikir sepanjang hari
Allah berfirman :
أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“Ketahuilah dengan berdzikir kepada Allah maka hati akan menjadi tenang” (Ra’ad : 28)
Rasulullah saw bersabda:
أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللهَ أَنْ تَمُوْتَ ولسانُك رَطْبٌ من ذِكْرِ الله
“Sebaik-baik perbuatan kepada Allah adalah saat engkau mati sementara lidahmu basah dari berdzikir kepada Allah” (Thabrani dan Ibnu Hibban) .
5. Agenda saat shalat Zhuhur
a. Menjawab azan untuk shalat Zhuhur, lalu menunaikan shalat Zhuhur berjamaah di Masjid khususnya bagi laki-laki
b. Menunaikan sunnah rawatib sebelum Zhuhur 4 rakaat dan 2 rakaat setelah Zhuhur
Rasulullah saw bersabda:
مَنْ صَلَّى اثْنَتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً فِي يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ بُنِيَ لَهُ بِهِنَّ بَيْتٌ فِي الْجَنَّةِ
“Barangsiapa yang shalat 12 rakaat pada siang dan malam hari maka Allah akan membangunkan baginya dengannya rumah di surga”. (Muslim).
6. Agenda saat dan setelah shalat Ashar
a. Menjawab azan untuk shalat Ashar, kemudian dilanjutkan dengan menunaikan shalat Ashar secara berjamaah di masjid
b. Mendengarkan nasihat di masjid (jika ada)
Rasulullah saw bersabda:
مَنْ غَدَا إِلَى الْمَسْجِدِ لا يُرِيدُ إِلا أَنْ يَتَعَلَّمَ خَيْرًا أَوْ يَعْلَمَهُ، كَانَ لَهُ كَأَجْرِ حَاجٍّ تَامًّا حِجَّتُهُ
“Barangsiapa yang pergi ke masjid tidak menginginkan yang lain kecuali belajar kebaikan atau mengajarkannya, maka baginya ganjaran haji secara sempurna”. (Thabrani – hasan shahih)
c. Istirahat sejenak dengan niat yang karena Allah
Rasulullah saw bersabda:
وَإِنَّ لِبَدَنِكَ عَلَيْكَ حَقٌّ
“Sesungguhnya bagi setiap tubuh atasmu ada haknya”.
Agenda prioritas:
Membaca Al-Quran dan berkomitmen semampunya untuk:
- Membaca ½ hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 1 kali
- Membaca 1 hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 2 kali
- Bagi yang mampu menambah sesuai kemampuan, maka akan menuai kebaikan yang berlimpah insya Allah.
7. Agenda sebelum Maghrib
a. Memperhatikan urusan rumah tangga – melakukan mudzakarah – Menghafal Al-Quran
b. Mendengarkan ceramah, nasihat, khutbah, untaian hikmah atau dakwah melalui media
c. Menyibukkan diri dengan doa
Rasulullah saw bersabda:
الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ
“Doa adalah ibadah”
8. Agenda setelah terbenam matahari
a. Menjawab azan untuk shalat Maghrib
b. Menunaikan shalat Maghrib secara berjamaah di masjid (khususnya bagi laki-laki)
c. Menunaikan shalat sunnah rawatib setelah Maghrib – 2 rakaat
d. Membaca dzikir sore
e. Mempersiapkan diri untuk shalat Isya lalu melangkahkan kaki menuju masjid
Rasulullah saw bersabda:
مَنْ تَطَهَّرَ فِي بَيْتِهِ ثُمَّ مَشَى إِلَى بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ لِيَقْضِيَ فَرِيضَةً مِنْ فَرَائِضِ اللَّهِ كَانَتْ خَطْوَتَاهُ إِحْدَاهُمَا تَحُطُّ خَطِيئَةً وَالْأُخْرَى تَرْفَعُ دَرَجَةً
“Barangsiapa yang bersuci/berwudhu kemudian berjalan menuju salah satu dari rumah-rumah Allah untuk menunaikan salah satu kewajiban dari kewajiban Allah, maka langkah-langkahnya akan menggugurkan kesalahan dan yang lainnya mengangkat derajatnya”. (Muslim)
9. Agenda pada waktu shalat Isya
a. Menjawab azan untuk shalat Isya kemudian menunaikan shalat Isya secara jamaah di masjid
b. Menunaikan shalat sunnah rawatib setelah Isya – 2 rakaat
c. Duduk bersama keluarga/melakukan silaturahim
d. Mendengarkan ceramah, nasihat dan untaian hikmah di Masjid
e. Dakwah melalui media atau lainnya
f. Melakukan mudzakarah
g. Menghafal Al-Quran
Agenda prioritas
Membaca Al-Quran dengan berkomitmen sesuai dengan kemampuannya untuk:
- Membaca ½ hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 1 kali
- Membaca 1 hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 2 kali
- Bagi yang mampu menambah sesuai kemampuan bacaan maka telah menuai kebaikan berlimpah insya Allah.
Apa yang kita jelaskan di sini merupakan contoh, sehingga tidak harus sama persis dengan yang kami sampaikan, kondisional tergantung masing-masing individu. Semoga ikhtiar ini bisa memandu kita untuk optimalisasi ibadah insya Allah. Allahu a’lam
Jazaakillah
Sedikit revisi dari : http://www.al-ikhwan.net/agenda-harian-ramadhan-menuju-bahagia-di-bulan-ramadhan-2989/
1. Agenda pada sepertiga malam akhir
a. Menunaikan shalat tahajjud dengan memanjangkan waktu pada saat ruku’ dan sujud di dalamnya,
b. Menunaikan shalat witir
c. Duduk untuk berdoa dan memohon ampun kepada Allah hingga azan subuh
Rasulullah saw bersabda:
يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الْآخِرُ فَيَقُولُ مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ
“Sesungguhnya Allah SWT selalu turun pada setiap malam menuju langit dunia saat 1/3 malam terakhir, dan Dia berkata: “Barangsiapa yang berdoa kepada-Ku maka akan Aku kabulkan, dan barangsiapa yang meminta kepada-Ku maka akan Aku berikan, dan barangsiapa yang memohon ampun kepada-Ku maka akan Aku ampuni”. (HR. Bukhari Muslim)
2. Agenda Setelah Terbit Fajar
a. Menjawab seruan azan untuk shalat subuh
” الَّلهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلاَةِ الْقَائِمَةِ آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيْلَةَ وَالْفَضِيْلَةَ وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُوْدًا الَّذِي وَعَدْتَهُ “
“Ya Allah, Tuhan pemilik seruan yang sempurna ini, shalat yang telah dikumandangkan, berikanlah kepada Nabi Muhammad wasilah dan karunia, dan bangkitkanlah dia pada tempat yang terpuji seperti yang telah Engkau janjikan. (Ditashih oleh Al-Albani)
b. Menunaikan shalat sunnah fajar di rumah dua rakaat
Rasulullah saw bersabda:
رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيْهَا
“Dua rakaat sunnah fajar lebih baik dari dunia dan segala isinya”. (Muslim)
وَ قَدْ قَرَأَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فِي رَكْعَتَي الْفَجْرِ قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُوْنَ وَقُلْ هُوَ اللهُ أَحَدَ
“Nabi saw pada dua rakaat sunnah fajar membaca surat “Qul ya ayyuhal kafirun” dan “Qul huwallahu ahad”.
c. Menunaikan shalat subuh berjamaah di masjid –khususnya- bagi laki-laki.
Rasulullah saw bersabda:
وَلَوْ يَعْلَمُوْنَ مَا فِي الْعَتْمَةِ وَالصُّبْحِ لأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا
“Sekiranya manusia tahu apa yang ada dalam kegelapan dan subuh maka mereka akan mendatanginya walau dalam keadaan tergopoh-gopoh” (Muttafaqun alaih)
بَشِّرِ الْمَشَّائِيْنَ فِي الظّلَمِ إِلَى الْمَسَاجِدِ بِالنُّوْرِ التَّامِّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Berikanlah kabar gembira kepada para pejalan di kegelapan menuju masjid dengan cahaya yang sempurna pada hari kiamat”. (Tirmidzi dan ibnu Majah)
d. Menyibukkan diri dengan doa, dzikir atau tilawah Al-Quran hingga waktu iqamat shalat
Rasulullah saw bersabda:
الدُّعَاءُ لاَ يُرَدُّ بَيْنَ الأَذَانِ وَالإِقَامَةِ
“Doa antara adzan dan iqamat tidak akan ditolak” (Ahmad dan Tirmidzi dan Abu Daud)
e. Duduk di masjid bagi laki-laki /mushalla bagi wanita untuk berdzikir dan membaca dzikir waktu pagi
Dalam hadits nabi disebutkan:
كَانَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” إَذَا صَلَّى الْفَجْرَ تَرَبَّعَ فِي مَجْلِسِهِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ الْحَسَنَاءُ
” Nabi saw jika selesai shalat fajar duduk di tempat duduknya hingga terbit matahari yang ke kuning-kuningan”. (Muslim)
Agenda prioritas
Membaca Al-Quran.
Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya waktu fajar itu disaksikan (malaikat). (Al-Isra : 78) Dan memiliki komitmen sesuai kemampuannya untuk selalu:
- Membaca ½ hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 1 kali
- Membaca 1 hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 2 kali
- Bagi yang mampu menambah lebih banyak dari itu semua, maka akan menuai kebaikan berlimpah insya Allah.
3. Menunaikan shalat Dhuha walau hanya dua rakaat
Rasulullah saw bersabda:
يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنْ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنْ الضُّحَى
“Setiap ruas tulang tubuh manusia wajib dikeluarkan sedekahnya, setiap hari ketika matahari terbit. Mendamaikan antara dua orang yang berselisih adalah sedekah, menolong orang dengan membantunya menaiki kendaraan atau mengangkat kan barang ke atas kendaraannya adalah sedekah, kata-kata yang baik adalah sedekah, tiap-tiap langkahmu untuk mengerjakan shalat adalah sedekah, dan membersihkan rintangan dari jalan adalah sedekah”. (Bukhari dan Muslim)
4. Berangkat kerja atau belajar dengan berharap karena Allah
Rasulullah saw bersabda:
مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمِلِ يَدِهِ، وَكَانَ دَاوُدُ لا يَأْكُلُ إِلا مِنْ عَمِلِ يَدِهِ
“Tidaklah seseorang memakan makanan, lebih baik dari yang didapat oleh tangannya sendiri, dan bahwa nabi Daud makan dari hasil tangannya sendiri”. (Bukhari)
Dalam hadits lainnya nabi juga bersabda:
مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ
“Barangsiapa yang berjalan dalam rangka mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga”. (Muslim)
d. Menyibukkan diri dengan dzikir sepanjang hari
Allah berfirman :
أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“Ketahuilah dengan berdzikir kepada Allah maka hati akan menjadi tenang” (Ra’ad : 28)
Rasulullah saw bersabda:
أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللهَ أَنْ تَمُوْتَ ولسانُك رَطْبٌ من ذِكْرِ الله
“Sebaik-baik perbuatan kepada Allah adalah saat engkau mati sementara lidahmu basah dari berdzikir kepada Allah” (Thabrani dan Ibnu Hibban) .
5. Agenda saat shalat Zhuhur
a. Menjawab azan untuk shalat Zhuhur, lalu menunaikan shalat Zhuhur berjamaah di Masjid khususnya bagi laki-laki
b. Menunaikan sunnah rawatib sebelum Zhuhur 4 rakaat dan 2 rakaat setelah Zhuhur
Rasulullah saw bersabda:
مَنْ صَلَّى اثْنَتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً فِي يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ بُنِيَ لَهُ بِهِنَّ بَيْتٌ فِي الْجَنَّةِ
“Barangsiapa yang shalat 12 rakaat pada siang dan malam hari maka Allah akan membangunkan baginya dengannya rumah di surga”. (Muslim).
6. Agenda saat dan setelah shalat Ashar
a. Menjawab azan untuk shalat Ashar, kemudian dilanjutkan dengan menunaikan shalat Ashar secara berjamaah di masjid
b. Mendengarkan nasihat di masjid (jika ada)
Rasulullah saw bersabda:
مَنْ غَدَا إِلَى الْمَسْجِدِ لا يُرِيدُ إِلا أَنْ يَتَعَلَّمَ خَيْرًا أَوْ يَعْلَمَهُ، كَانَ لَهُ كَأَجْرِ حَاجٍّ تَامًّا حِجَّتُهُ
“Barangsiapa yang pergi ke masjid tidak menginginkan yang lain kecuali belajar kebaikan atau mengajarkannya, maka baginya ganjaran haji secara sempurna”. (Thabrani – hasan shahih)
c. Istirahat sejenak dengan niat yang karena Allah
Rasulullah saw bersabda:
وَإِنَّ لِبَدَنِكَ عَلَيْكَ حَقٌّ
“Sesungguhnya bagi setiap tubuh atasmu ada haknya”.
Agenda prioritas:
Membaca Al-Quran dan berkomitmen semampunya untuk:
- Membaca ½ hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 1 kali
- Membaca 1 hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 2 kali
- Bagi yang mampu menambah sesuai kemampuan, maka akan menuai kebaikan yang berlimpah insya Allah.
7. Agenda sebelum Maghrib
a. Memperhatikan urusan rumah tangga – melakukan mudzakarah – Menghafal Al-Quran
b. Mendengarkan ceramah, nasihat, khutbah, untaian hikmah atau dakwah melalui media
c. Menyibukkan diri dengan doa
Rasulullah saw bersabda:
الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ
“Doa adalah ibadah”
8. Agenda setelah terbenam matahari
a. Menjawab azan untuk shalat Maghrib
b. Menunaikan shalat Maghrib secara berjamaah di masjid (khususnya bagi laki-laki)
c. Menunaikan shalat sunnah rawatib setelah Maghrib – 2 rakaat
d. Membaca dzikir sore
e. Mempersiapkan diri untuk shalat Isya lalu melangkahkan kaki menuju masjid
Rasulullah saw bersabda:
مَنْ تَطَهَّرَ فِي بَيْتِهِ ثُمَّ مَشَى إِلَى بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ لِيَقْضِيَ فَرِيضَةً مِنْ فَرَائِضِ اللَّهِ كَانَتْ خَطْوَتَاهُ إِحْدَاهُمَا تَحُطُّ خَطِيئَةً وَالْأُخْرَى تَرْفَعُ دَرَجَةً
“Barangsiapa yang bersuci/berwudhu kemudian berjalan menuju salah satu dari rumah-rumah Allah untuk menunaikan salah satu kewajiban dari kewajiban Allah, maka langkah-langkahnya akan menggugurkan kesalahan dan yang lainnya mengangkat derajatnya”. (Muslim)
9. Agenda pada waktu shalat Isya
a. Menjawab azan untuk shalat Isya kemudian menunaikan shalat Isya secara jamaah di masjid
b. Menunaikan shalat sunnah rawatib setelah Isya – 2 rakaat
c. Duduk bersama keluarga/melakukan silaturahim
d. Mendengarkan ceramah, nasihat dan untaian hikmah di Masjid
e. Dakwah melalui media atau lainnya
f. Melakukan mudzakarah
g. Menghafal Al-Quran
Agenda prioritas
Membaca Al-Quran dengan berkomitmen sesuai dengan kemampuannya untuk:
- Membaca ½ hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 1 kali
- Membaca 1 hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 2 kali
- Bagi yang mampu menambah sesuai kemampuan bacaan maka telah menuai kebaikan berlimpah insya Allah.
Apa yang kita jelaskan di sini merupakan contoh, sehingga tidak harus sama persis dengan yang kami sampaikan, kondisional tergantung masing-masing individu. Semoga ikhtiar ini bisa memandu kita untuk optimalisasi ibadah insya Allah. Allahu a’lam
Jazaakillah
Sedikit revisi dari : http://www.al-ikhwan.net/agenda-harian-ramadhan-menuju-bahagia-di-bulan-ramadhan-2989/
Agenda Harian
Semoga kita senantiasa terpacu untuk mengukir prestasi amal yang akan memperberat timbangan kebaikan di yaumil akhir, berikut rangkaian yang bisa dilakukan
1. Agenda pada sepertiga malam akhir
a. Menunaikan shalat tahajjud dengan memanjangkan waktu pada saat ruku’ dan sujud di dalamnya,
b. Menunaikan shalat witir
c. Duduk untuk berdoa dan memohon ampun kepada Allah hingga azan subuh
Rasulullah saw bersabda:
يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الْآخِرُ فَيَقُولُ مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ
“Sesungguhnya Allah SWT selalu turun pada setiap malam menuju langit dunia saat 1/3 malam terakhir, dan Dia berkata: “Barangsiapa yang berdoa kepada-Ku maka akan Aku kabulkan, dan barangsiapa yang meminta kepada-Ku maka akan Aku berikan, dan barangsiapa yang memohon ampun kepada-Ku maka akan Aku ampuni”. (HR. Bukhari Muslim)
2. Agenda Setelah Terbit Fajar
a. Menjawab seruan azan untuk shalat subuh
” الَّلهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلاَةِ الْقَائِمَةِ آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيْلَةَ وَالْفَضِيْلَةَ وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُوْدًا الَّذِي وَعَدْتَهُ “
“Ya Allah, Tuhan pemilik seruan yang sempurna ini, shalat yang telah dikumandangkan, berikanlah kepada Nabi Muhammad wasilah dan karunia, dan bangkitkanlah dia pada tempat yang terpuji seperti yang telah Engkau janjikan. (Ditashih oleh Al-Albani)
b. Menunaikan shalat sunnah fajar di rumah dua rakaat
Rasulullah saw bersabda:
رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيْهَا
“Dua rakaat sunnah fajar lebih baik dari dunia dan segala isinya”. (Muslim)
وَ قَدْ قَرَأَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فِي رَكْعَتَي الْفَجْرِ قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُوْنَ وَقُلْ هُوَ اللهُ أَحَدَ
“Nabi saw pada dua rakaat sunnah fajar membaca surat “Qul ya ayyuhal kafirun” dan “Qul huwallahu ahad”.
c. Menunaikan shalat subuh berjamaah di masjid –khususnya- bagi laki-laki.
Rasulullah saw bersabda:
وَلَوْ يَعْلَمُوْنَ مَا فِي الْعَتْمَةِ وَالصُّبْحِ لأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا
“Sekiranya manusia tahu apa yang ada dalam kegelapan dan subuh maka mereka akan mendatanginya walau dalam keadaan tergopoh-gopoh” (Muttafaqun alaih)
بَشِّرِ الْمَشَّائِيْنَ فِي الظّلَمِ إِلَى الْمَسَاجِدِ بِالنُّوْرِ التَّامِّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Berikanlah kabar gembira kepada para pejalan di kegelapan menuju masjid dengan cahaya yang sempurna pada hari kiamat”. (Tirmidzi dan ibnu Majah)
d. Menyibukkan diri dengan doa, dzikir atau tilawah Al-Quran hingga waktu iqamat shalat
Rasulullah saw bersabda:
الدُّعَاءُ لاَ يُرَدُّ بَيْنَ الأَذَانِ وَالإِقَامَةِ
“Doa antara adzan dan iqamat tidak akan ditolak” (Ahmad dan Tirmidzi dan Abu Daud)
e. Duduk di masjid bagi laki-laki /mushalla bagi wanita untuk berdzikir dan membaca dzikir waktu pagi
Dalam hadits nabi disebutkan:
كَانَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” إَذَا صَلَّى الْفَجْرَ تَرَبَّعَ فِي مَجْلِسِهِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ الْحَسَنَاءُ
” Nabi saw jika selesai shalat fajar duduk di tempat duduknya hingga terbit matahari yang ke kuning-kuningan”. (Muslim)
Agenda prioritas
Membaca Al-Quran.
Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya waktu fajar itu disaksikan (malaikat). (Al-Isra : 78) Dan memiliki komitmen sesuai kemampuannya untuk selalu:
- Membaca ½ hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 1 kali
- Membaca 1 hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 2 kali
- Bagi yang mampu menambah lebih banyak dari itu semua, maka akan menuai kebaikan berlimpah insya Allah.
3. Menunaikan shalat Dhuha walau hanya dua rakaat
Rasulullah saw bersabda:
يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنْ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنْ الضُّحَى
“Setiap ruas tulang tubuh manusia wajib dikeluarkan sedekahnya, setiap hari ketika matahari terbit. Mendamaikan antara dua orang yang berselisih adalah sedekah, menolong orang dengan membantunya menaiki kendaraan atau mengangkat kan barang ke atas kendaraannya adalah sedekah, kata-kata yang baik adalah sedekah, tiap-tiap langkahmu untuk mengerjakan shalat adalah sedekah, dan membersihkan rintangan dari jalan adalah sedekah”. (Bukhari dan Muslim)
4. Berangkat kerja atau belajar dengan berharap karena Allah
Rasulullah saw bersabda:
مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمِلِ يَدِهِ، وَكَانَ دَاوُدُ لا يَأْكُلُ إِلا مِنْ عَمِلِ يَدِهِ
“Tidaklah seseorang memakan makanan, lebih baik dari yang didapat oleh tangannya sendiri, dan bahwa nabi Daud makan dari hasil tangannya sendiri”. (Bukhari)
Dalam hadits lainnya nabi juga bersabda:
مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ
“Barangsiapa yang berjalan dalam rangka mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga”. (Muslim)
d. Menyibukkan diri dengan dzikir sepanjang hari
Allah berfirman :
أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“Ketahuilah dengan berdzikir kepada Allah maka hati akan menjadi tenang” (Ra’ad : 28)
Rasulullah saw bersabda:
أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللهَ أَنْ تَمُوْتَ ولسانُك رَطْبٌ من ذِكْرِ الله
“Sebaik-baik perbuatan kepada Allah adalah saat engkau mati sementara lidahmu basah dari berdzikir kepada Allah” (Thabrani dan Ibnu Hibban) .
5. Agenda saat shalat Zhuhur
a. Menjawab azan untuk shalat Zhuhur, lalu menunaikan shalat Zhuhur berjamaah di Masjid khususnya bagi laki-laki
b. Menunaikan sunnah rawatib sebelum Zhuhur 4 rakaat dan 2 rakaat setelah Zhuhur
Rasulullah saw bersabda:
مَنْ صَلَّى اثْنَتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً فِي يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ بُنِيَ لَهُ بِهِنَّ بَيْتٌ فِي الْجَنَّةِ
“Barangsiapa yang shalat 12 rakaat pada siang dan malam hari maka Allah akan membangunkan baginya dengannya rumah di surga”. (Muslim).
6. Agenda saat dan setelah shalat Ashar
a. Menjawab azan untuk shalat Ashar, kemudian dilanjutkan dengan menunaikan shalat Ashar secara berjamaah di masjid
b. Mendengarkan nasihat di masjid (jika ada)
Rasulullah saw bersabda:
مَنْ غَدَا إِلَى الْمَسْجِدِ لا يُرِيدُ إِلا أَنْ يَتَعَلَّمَ خَيْرًا أَوْ يَعْلَمَهُ، كَانَ لَهُ كَأَجْرِ حَاجٍّ تَامًّا حِجَّتُهُ
“Barangsiapa yang pergi ke masjid tidak menginginkan yang lain kecuali belajar kebaikan atau mengajarkannya, maka baginya ganjaran haji secara sempurna”. (Thabrani – hasan shahih)
c. Istirahat sejenak dengan niat yang karena Allah
Rasulullah saw bersabda:
وَإِنَّ لِبَدَنِكَ عَلَيْكَ حَقٌّ
“Sesungguhnya bagi setiap tubuh atasmu ada haknya”.
Agenda prioritas:
Membaca Al-Quran dan berkomitmen semampunya untuk:
- Membaca ½ hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 1 kali
- Membaca 1 hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 2 kali
- Bagi yang mampu menambah sesuai kemampuan, maka akan menuai kebaikan yang berlimpah insya Allah.
7. Agenda sebelum Maghrib
a. Memperhatikan urusan rumah tangga – melakukan mudzakarah – Menghafal Al-Quran
b. Mendengarkan ceramah, nasihat, khutbah, untaian hikmah atau dakwah melalui media
c. Menyibukkan diri dengan doa
Rasulullah saw bersabda:
الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ
“Doa adalah ibadah”
8. Agenda setelah terbenam matahari
a. Menjawab azan untuk shalat Maghrib
b. Menunaikan shalat Maghrib secara berjamaah di masjid (khususnya bagi laki-laki)
c. Menunaikan shalat sunnah rawatib setelah Maghrib – 2 rakaat
d. Membaca dzikir sore
e. Mempersiapkan diri untuk shalat Isya lalu melangkahkan kaki menuju masjid
Rasulullah saw bersabda:
مَنْ تَطَهَّرَ فِي بَيْتِهِ ثُمَّ مَشَى إِلَى بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ لِيَقْضِيَ فَرِيضَةً مِنْ فَرَائِضِ اللَّهِ كَانَتْ خَطْوَتَاهُ إِحْدَاهُمَا تَحُطُّ خَطِيئَةً وَالْأُخْرَى تَرْفَعُ دَرَجَةً
“Barangsiapa yang bersuci/berwudhu kemudian berjalan menuju salah satu dari rumah-rumah Allah untuk menunaikan salah satu kewajiban dari kewajiban Allah, maka langkah-langkahnya akan menggugurkan kesalahan dan yang lainnya mengangkat derajatnya”. (Muslim)
9. Agenda pada waktu shalat Isya
a. Menjawab azan untuk shalat Isya kemudian menunaikan shalat Isya secara jamaah di masjid
b. Menunaikan shalat sunnah rawatib setelah Isya – 2 rakaat
c. Duduk bersama keluarga/melakukan silaturahim
d. Mendengarkan ceramah, nasihat dan untaian hikmah di Masjid
e. Dakwah melalui media atau lainnya
f. Melakukan mudzakarah
g. Menghafal Al-Quran
Agenda prioritas
Membaca Al-Quran dengan berkomitmen sesuai dengan kemampuannya untuk:
- Membaca ½ hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 1 kali
- Membaca 1 hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 2 kali
- Bagi yang mampu menambah sesuai kemampuan bacaan maka telah menuai kebaikan berlimpah insya Allah.
Apa yang kita jelaskan di sini merupakan contoh, sehingga tidak harus sama persis dengan yang kami sampaikan, kondisional tergantung masing-masing individu. Semoga ikhtiar ini bisa memandu kita untuk optimalisasi ibadah insya Allah. Allahu a’lam
Jazaakillah
Sedikit revisi dari : http://www.al-ikhwan.net/agenda-harian-ramadhan-menuju-bahagia-di-bulan-ramadhan-2989/
1. Agenda pada sepertiga malam akhir
a. Menunaikan shalat tahajjud dengan memanjangkan waktu pada saat ruku’ dan sujud di dalamnya,
b. Menunaikan shalat witir
c. Duduk untuk berdoa dan memohon ampun kepada Allah hingga azan subuh
Rasulullah saw bersabda:
يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الْآخِرُ فَيَقُولُ مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ
“Sesungguhnya Allah SWT selalu turun pada setiap malam menuju langit dunia saat 1/3 malam terakhir, dan Dia berkata: “Barangsiapa yang berdoa kepada-Ku maka akan Aku kabulkan, dan barangsiapa yang meminta kepada-Ku maka akan Aku berikan, dan barangsiapa yang memohon ampun kepada-Ku maka akan Aku ampuni”. (HR. Bukhari Muslim)
2. Agenda Setelah Terbit Fajar
a. Menjawab seruan azan untuk shalat subuh
” الَّلهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلاَةِ الْقَائِمَةِ آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيْلَةَ وَالْفَضِيْلَةَ وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُوْدًا الَّذِي وَعَدْتَهُ “
“Ya Allah, Tuhan pemilik seruan yang sempurna ini, shalat yang telah dikumandangkan, berikanlah kepada Nabi Muhammad wasilah dan karunia, dan bangkitkanlah dia pada tempat yang terpuji seperti yang telah Engkau janjikan. (Ditashih oleh Al-Albani)
b. Menunaikan shalat sunnah fajar di rumah dua rakaat
Rasulullah saw bersabda:
رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيْهَا
“Dua rakaat sunnah fajar lebih baik dari dunia dan segala isinya”. (Muslim)
وَ قَدْ قَرَأَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فِي رَكْعَتَي الْفَجْرِ قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُوْنَ وَقُلْ هُوَ اللهُ أَحَدَ
“Nabi saw pada dua rakaat sunnah fajar membaca surat “Qul ya ayyuhal kafirun” dan “Qul huwallahu ahad”.
c. Menunaikan shalat subuh berjamaah di masjid –khususnya- bagi laki-laki.
Rasulullah saw bersabda:
وَلَوْ يَعْلَمُوْنَ مَا فِي الْعَتْمَةِ وَالصُّبْحِ لأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا
“Sekiranya manusia tahu apa yang ada dalam kegelapan dan subuh maka mereka akan mendatanginya walau dalam keadaan tergopoh-gopoh” (Muttafaqun alaih)
بَشِّرِ الْمَشَّائِيْنَ فِي الظّلَمِ إِلَى الْمَسَاجِدِ بِالنُّوْرِ التَّامِّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Berikanlah kabar gembira kepada para pejalan di kegelapan menuju masjid dengan cahaya yang sempurna pada hari kiamat”. (Tirmidzi dan ibnu Majah)
d. Menyibukkan diri dengan doa, dzikir atau tilawah Al-Quran hingga waktu iqamat shalat
Rasulullah saw bersabda:
الدُّعَاءُ لاَ يُرَدُّ بَيْنَ الأَذَانِ وَالإِقَامَةِ
“Doa antara adzan dan iqamat tidak akan ditolak” (Ahmad dan Tirmidzi dan Abu Daud)
e. Duduk di masjid bagi laki-laki /mushalla bagi wanita untuk berdzikir dan membaca dzikir waktu pagi
Dalam hadits nabi disebutkan:
كَانَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” إَذَا صَلَّى الْفَجْرَ تَرَبَّعَ فِي مَجْلِسِهِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ الْحَسَنَاءُ
” Nabi saw jika selesai shalat fajar duduk di tempat duduknya hingga terbit matahari yang ke kuning-kuningan”. (Muslim)
Agenda prioritas
Membaca Al-Quran.
Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya waktu fajar itu disaksikan (malaikat). (Al-Isra : 78) Dan memiliki komitmen sesuai kemampuannya untuk selalu:
- Membaca ½ hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 1 kali
- Membaca 1 hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 2 kali
- Bagi yang mampu menambah lebih banyak dari itu semua, maka akan menuai kebaikan berlimpah insya Allah.
3. Menunaikan shalat Dhuha walau hanya dua rakaat
Rasulullah saw bersabda:
يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنْ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنْ الضُّحَى
“Setiap ruas tulang tubuh manusia wajib dikeluarkan sedekahnya, setiap hari ketika matahari terbit. Mendamaikan antara dua orang yang berselisih adalah sedekah, menolong orang dengan membantunya menaiki kendaraan atau mengangkat kan barang ke atas kendaraannya adalah sedekah, kata-kata yang baik adalah sedekah, tiap-tiap langkahmu untuk mengerjakan shalat adalah sedekah, dan membersihkan rintangan dari jalan adalah sedekah”. (Bukhari dan Muslim)
4. Berangkat kerja atau belajar dengan berharap karena Allah
Rasulullah saw bersabda:
مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمِلِ يَدِهِ، وَكَانَ دَاوُدُ لا يَأْكُلُ إِلا مِنْ عَمِلِ يَدِهِ
“Tidaklah seseorang memakan makanan, lebih baik dari yang didapat oleh tangannya sendiri, dan bahwa nabi Daud makan dari hasil tangannya sendiri”. (Bukhari)
Dalam hadits lainnya nabi juga bersabda:
مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ
“Barangsiapa yang berjalan dalam rangka mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga”. (Muslim)
d. Menyibukkan diri dengan dzikir sepanjang hari
Allah berfirman :
أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“Ketahuilah dengan berdzikir kepada Allah maka hati akan menjadi tenang” (Ra’ad : 28)
Rasulullah saw bersabda:
أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللهَ أَنْ تَمُوْتَ ولسانُك رَطْبٌ من ذِكْرِ الله
“Sebaik-baik perbuatan kepada Allah adalah saat engkau mati sementara lidahmu basah dari berdzikir kepada Allah” (Thabrani dan Ibnu Hibban) .
5. Agenda saat shalat Zhuhur
a. Menjawab azan untuk shalat Zhuhur, lalu menunaikan shalat Zhuhur berjamaah di Masjid khususnya bagi laki-laki
b. Menunaikan sunnah rawatib sebelum Zhuhur 4 rakaat dan 2 rakaat setelah Zhuhur
Rasulullah saw bersabda:
مَنْ صَلَّى اثْنَتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً فِي يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ بُنِيَ لَهُ بِهِنَّ بَيْتٌ فِي الْجَنَّةِ
“Barangsiapa yang shalat 12 rakaat pada siang dan malam hari maka Allah akan membangunkan baginya dengannya rumah di surga”. (Muslim).
6. Agenda saat dan setelah shalat Ashar
a. Menjawab azan untuk shalat Ashar, kemudian dilanjutkan dengan menunaikan shalat Ashar secara berjamaah di masjid
b. Mendengarkan nasihat di masjid (jika ada)
Rasulullah saw bersabda:
مَنْ غَدَا إِلَى الْمَسْجِدِ لا يُرِيدُ إِلا أَنْ يَتَعَلَّمَ خَيْرًا أَوْ يَعْلَمَهُ، كَانَ لَهُ كَأَجْرِ حَاجٍّ تَامًّا حِجَّتُهُ
“Barangsiapa yang pergi ke masjid tidak menginginkan yang lain kecuali belajar kebaikan atau mengajarkannya, maka baginya ganjaran haji secara sempurna”. (Thabrani – hasan shahih)
c. Istirahat sejenak dengan niat yang karena Allah
Rasulullah saw bersabda:
وَإِنَّ لِبَدَنِكَ عَلَيْكَ حَقٌّ
“Sesungguhnya bagi setiap tubuh atasmu ada haknya”.
Agenda prioritas:
Membaca Al-Quran dan berkomitmen semampunya untuk:
- Membaca ½ hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 1 kali
- Membaca 1 hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 2 kali
- Bagi yang mampu menambah sesuai kemampuan, maka akan menuai kebaikan yang berlimpah insya Allah.
7. Agenda sebelum Maghrib
a. Memperhatikan urusan rumah tangga – melakukan mudzakarah – Menghafal Al-Quran
b. Mendengarkan ceramah, nasihat, khutbah, untaian hikmah atau dakwah melalui media
c. Menyibukkan diri dengan doa
Rasulullah saw bersabda:
الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ
“Doa adalah ibadah”
8. Agenda setelah terbenam matahari
a. Menjawab azan untuk shalat Maghrib
b. Menunaikan shalat Maghrib secara berjamaah di masjid (khususnya bagi laki-laki)
c. Menunaikan shalat sunnah rawatib setelah Maghrib – 2 rakaat
d. Membaca dzikir sore
e. Mempersiapkan diri untuk shalat Isya lalu melangkahkan kaki menuju masjid
Rasulullah saw bersabda:
مَنْ تَطَهَّرَ فِي بَيْتِهِ ثُمَّ مَشَى إِلَى بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ لِيَقْضِيَ فَرِيضَةً مِنْ فَرَائِضِ اللَّهِ كَانَتْ خَطْوَتَاهُ إِحْدَاهُمَا تَحُطُّ خَطِيئَةً وَالْأُخْرَى تَرْفَعُ دَرَجَةً
“Barangsiapa yang bersuci/berwudhu kemudian berjalan menuju salah satu dari rumah-rumah Allah untuk menunaikan salah satu kewajiban dari kewajiban Allah, maka langkah-langkahnya akan menggugurkan kesalahan dan yang lainnya mengangkat derajatnya”. (Muslim)
9. Agenda pada waktu shalat Isya
a. Menjawab azan untuk shalat Isya kemudian menunaikan shalat Isya secara jamaah di masjid
b. Menunaikan shalat sunnah rawatib setelah Isya – 2 rakaat
c. Duduk bersama keluarga/melakukan silaturahim
d. Mendengarkan ceramah, nasihat dan untaian hikmah di Masjid
e. Dakwah melalui media atau lainnya
f. Melakukan mudzakarah
g. Menghafal Al-Quran
Agenda prioritas
Membaca Al-Quran dengan berkomitmen sesuai dengan kemampuannya untuk:
- Membaca ½ hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 1 kali
- Membaca 1 hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 2 kali
- Bagi yang mampu menambah sesuai kemampuan bacaan maka telah menuai kebaikan berlimpah insya Allah.
Apa yang kita jelaskan di sini merupakan contoh, sehingga tidak harus sama persis dengan yang kami sampaikan, kondisional tergantung masing-masing individu. Semoga ikhtiar ini bisa memandu kita untuk optimalisasi ibadah insya Allah. Allahu a’lam
Jazaakillah
Sedikit revisi dari : http://www.al-ikhwan.net/agenda-harian-ramadhan-menuju-bahagia-di-bulan-ramadhan-2989/
Hukum Berjabat Tangan Antara Laki-Laki dengan Perempuan Fiqih Kontemporer Oleh: Tim dakwatuna.com
Sebuah persoalan yang sedang saya hadapi, dan sudah barang tentu juga dihadapi orang lain, yaitu masalah berjabat tangan antara laki-laki dengan wanita, khususnya terhadap kerabat yang bukan mahram saya, seperti anak paman atau anak bibi, atau istri saudara ayah atau istri saudara ibu, atau saudara wanita istri saya, atau wanita-wanita lainnya yang ada hubungan kekerabatan atau persemendaan dengan saya. Lebih-lebih dalam momen-momen tertentu, seperti datang dari bepergian, sembuh dari sakit, datang dari haji atau umrah, atau saat-saat lainnya yang biasanya para kerabat, semenda, tetangga, dan teman-teman lantas menemuinya dan bertahni’ah (mengucapkan selamat atasnya) dan berjabat tangan antara yang satu dengan yang lain.
Pertanyaan saya, apakah ada nash Al-Qur’an atau As-Sunnah yang mengharamkan berjabat tangan antara laki-laki dengan wanita, sementara sudah saya sebutkan banyak motivasi kemasyarakatan atau kekeluargaan yang melatarinya, di samping ada rasa saling percaya. Aman dari fitnah, dan jauh dari rangsangan syahwat. Sedangkan kalau kita tidak mau berjabat tangan, maka mereka memandang kita orang-orang beragama ini kuno dan terlalu ketat, merendahkan wanita, selalu berprasangka buruk kepadanya, dan sebagainya.
Apabila ada dalil syar’inya, maka kami akan menghormatinya dengan tidak ragu-ragu lagi, dan tidak ada yang kami lakukan kecuali mendengar dan mematuhi, sebagai konsekuensi keimanan kami kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan jika hanya semata-mata hasil ijtihad fuqaha-fuqaha kita terdahulu, maka adakalanya fuqaha-fuqaha kita sekarang boleh berbeda pendapat dengannya, apabila mereka mempunyai ijtihad yang benar, dengan didasarkan pada tuntutan peraturan yang senantiasa berubah dan kondisi kehidupan yang selalu berkembang.
Karena itu, saya menulis surat ini kepada Ustadz dengan harapan Ustadz berkenan membahasnya sampai ke akar-akarnya berdasarkan Al-Qur’anul Karim dan Al-Hadits asy-Syarif. Kalau ada dalil yang melarang sudah tentu kami akan berhenti; tetapi jika dalam hal ini terdapat kelapangan, maka kami tidak mempersempit kelapangan-kelapangan yang diberikan Allah kepada kami, lebih-lebih sangat diperlukan dan bisa menimbulkan “bencana” kalau tidak dipenuhi.
Saya berharap kesibukan-kesibukan Ustadz yang banyak itu tidak menghalangi Ustadz untuk menjawab surat saya ini, sebab – sebagaimana saya katakan di muka – persoalan ini bukan persoalan saya seorang, tetapi mungkin persoalan berjuta-juta orang seperti saya.
Semoga Allah melapangkan dada Ustadz untuk menjawab, dan memudahkan kesempatan bagi Ustadz untuk menahkik masalah, dan mudah-mudahan Dia menjadikan Ustadz bermanfaat.
Jawaban
Tidak perlu saya sembunyikan kepada saudara penanya bahwa masalah hukum berjabat tangan antara laki-laki dengan perempuan – yang saudara tanyakan itu – merupakan masalah yang amat penting, dan untuk menahkik hukumnya tidak bisa dilakukan dengan seenaknya. Ia memerlukan kesungguhan dan pemikiran yang optimal dan ilmiah sehingga si mufti harus bebas dari tekanan pikiran orang lain atau pikiran yang telah diwarisi dari masa-masa lalu, apabila tidak didapati acuannya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah sehingga argumentasi-argumentasinya dapat didiskusikan untuk memperoleh pendapat yang lebih kuat dan lebih mendekati kebenaran menurut pandangan seorang faqih, yang di dalam pembahasannya hanya mencari ridha Allah, bukan memperturutkan hawa nafsu.
Sebelum memasuki pembahasan dan diskusi ini, saya ingin mengeluarkan dua buah gambaran dari lapangan perbedaan pendapat ini, yang saya percaya bahwa hukum kedua gambaran itu tidak diperselisihkan oleh fuqaha-fuqaha terdahulu, menurut pengetahuan saya. Kedua gambaran itu ialah:
Pertama, diharamkan berjabat tangan dengan wanita apabila disertai dengan syahwat dan taladzdzudz (berlezat-lezat) dari salah satu pihak, laki-laki atau wanita (kalau keduanya dengan syahwat sudah barang tentu lebih terlarang lagi; penj.) atau di belakang itu dikhawatirkan terjadinya fitnah, menurut dugaan yang kuat. Ketetapan diambil berdasarkan pada hipotesis bahwa menutup jalan menuju kerusakan itu adalah wajib, lebih-lebih jika telah tampak tanda-tandanya dan tersedia sarananya.
Hal ini diperkuat lagi oleh apa yang dikemukakan para ulama bahwa bersentuhan kulit antara laki-laki dengannya – yang pada asalnya mubah itu – bisa berubah menjadi haram apabila disertai dengan syahwat atau dikhawatirkan terjadinya fitnah,1 khususnya dengan anak perempuan si istri (anak tiri), atau saudara sepersusuan, yang perasaan hatinya sudah barang tentu tidak sama dengan perasaan hati ibu kandung, anak kandung, saudara wanita sendiri, bibi dari ayah atau ibu, dan sebagainya.
Kedua, kemurahan (diperbolehkan) berjabat tangan dengan wanita tua yang sudah tidak punya gairah terhadap laki-laki, demikian pula dengan anak-anak kecil yang belum mempunyai syahwat terhadap laki-laki, karena berjabat tangan dengan mereka itu aman dari sebab-sebab fitnah. Begitu pula bila si laki-laki sudah tua dan tidak punya gairah terhadap wanita.
Hal ini didasarkan pada riwayat dari Abu Bakar RA bahwa beliau pernah berjabat tangan dengan beberapa orang wanita tua, dan Abdullah bin Zubair mengambil pembantu wanita tua untuk merawatnya, maka wanita itu mengusapnya dengan tangannya dan membersihkan kepalanya dari kutu.2
Hal ini sudah ditunjukkan Al-Qur’an dalam membicarakan perempuan-perempuan tua yang sudah berhenti (dari haid dan mengandung), dan tiada gairah terhadap laki-laki, dimana mereka diberi keringanan dalam beberapa masalah pakaian yang tidak diberikan kepada yang lain:
“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (an-Nur: 60)
Dikecualikan pula laki-laki yang tidak memiliki gairah terhadap wanita dan anak-anak kecil yang belum muncul hasrat seksualnya. Mereka dikecualikan dari sasaran larangan terhadap wanita-wanita mukminah dalam hal menampakkan perhiasannya.
“… Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita …”(an-Nur: 31)
Selain dua kelompok yang disebutkan itulah yang menjadi tema pembicaraan dan pembahasan serta memerlukan pengkajian dan tahkik.
Golongan yang mewajibkan wanita menutup seluruh tubuhnya hingga wajah dan telapak tangannya, dan tidak menjadikan wajah dan tangan ini sebagai yang dikecualikan oleh ayat:
“… Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa tampak daripadanya …” (an-Nur: 31)
Bahkan mereka menganggap bahwa perhiasan yang biasa tampak itu adalah pakaian luar seperti baju panjang, mantel, dan sebagainya, atau yang tampak karena darurat seperti tersingkap karena ditiup angin kencang dan sebagainya. Maka tidak mengherankan lagi bahwa berjabat tangan antara laki-laki dengan wanita menurut mereka adalah haram. Sebab, apabila kedua telapak tangan itu wajib ditutup maka melihatnya adalah haram; dan apabila melihatnya saja haram, apa lagi menyentuhnya. Sebab, menyentuh itu lebih berat daripada melihat, karena ia lebih merangsang, sedangkan tidak ada jabat tangan tanpa bersentuhan kulit.
Tetapi sudah dikenal bahwa mereka yang berpendapat demikian adalah golongan minoritas, sedangkan mayoritas fuqaha dari kalangan sahabat, tabi’in, dan orang-orang sesudah mereka berpendapat bahwa yang dikecualikan dalam ayat “kecuali yang biasa tampak daripadanya” adalah wajah dan kedua (telapak) tangan.
Maka apakah dalil mereka untuk mengharamkan berjabat tangan yang tidak disertai syahwat?
Sebenarnya saya telah berusaha mencari dalil yang memuaskan yang secara tegas menetapkan demikian, tetapi tidak saya temukan.
Dalil yang terkuat dalam hal ini ialah menutup pintu fitnah (saddudz-dzari’ah), dan alasan ini dapat diterima tanpa ragu-ragu lagi ketika syahwat tergerak, atau karena takut fitnah bila telah tampak tanda-tandanya. Tetapi dalam kondisi aman – dan ini sering terjadi – maka di manakah letak keharamannya?
Sebagian ulama ada yang berdalil dengan sikap Nabi SAW yang tidak berjabat tangan dengan perempuan ketika beliau membaiat mereka pada waktu penaklukan Mekah yang terkenal itu, sebagaimana disebutkan dalam surat al-Mumtahanah.
Tetapi ada satu muqarrar (ketetapan) bahwa apabila Nabi SAW meninggalkan suatu urusan, maka hal itu tidak menunjukkan – secara pasti – akan keharamannya. Adakalanya beliau meninggalkan sesuatu karena haram, adakalanya karena makruh, adakalanya hal itu kurang utama, dan adakalanya hanya semata-mata karena beliau tidak berhasrat kepadanya, seperti beliau tidak memakan daging biawak padahal daging itu mubah.
Kalau begitu, sikap Nabi SAW tidak berjabat tangan dengan wanita itu tidak dapat dijadikan dalil untuk menetapkan keharamannya, oleh karena itu harus ada dalil lain bagi orang yang berpendapat demikian.
Lebih dari itu, bahwa masalah Nabi SAW tidak berjabat tangan dengan kaum wanita pada waktu baiat itu belum disepakati, karena menurut riwayat Ummu Athiyah al-Anshariyah RA bahwa Nabi SAW pernah berjabat tangan dengan wanita pada waktu baiat, berbeda dengan riwayat dari Ummul Mukminin Aisyah RA dimana beliau mengingkari hal itu dan bersumpah menyatakan tidak terjadinya jabat tangan itu.
Imam Bukhari meriwayatkan dalam shahihnya dari Aisyah bahwa Rasulullah saw.SAW menguji wanita-wanita mukminah yang berhijrah dengan ayat ini, yaitu firman Allah:
“Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu pun dengan Allah; tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dengan kaki mereka3 dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (al-Mumtahanah: 12)
Aisyah berkata, “Maka barangsiapa di antara wanita-wanita beriman itu yang menerima syarat tersebut, Rasulullah SAW berkata kepadanya, “Aku telah membai’atmu – dengan perkataan saja – dan demi Allah tangan beliau sama sekali tidak menyentuh tangan wanita dalam baiat itu; beliau tidak membaiat mereka melainkan dengan mengucapkan, ‘Aku telah membai’atmu tentang hal itu.’” 4
Dalam mensyarah perkataan Aisyah “Tidak, demi Allah …,” al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari sebagai berikut: Perkataan itu berupa sumpah untuk menguatkan berita, dan dengan perkataannya itu seakan-akan Aisyah hendak menyangkal berita yang diriwayatkan dari Ummu Athiyah. Menurut riwayat Ibnu Hibban, al-Bazzar, ath-Thabari, dan Ibnu Mardawaih, dari (jalan) Ismail bin Abdurrahman dari neneknya, Ummu Athiyah, mengenai kisah baiat, Ummu Athiyah berkata:
“Lalu Rasulullah SAW mengulurkan tangannya dari luar rumah dan kami mengulurkan tangan kami dari dalam rumah, kemudian beliau berucap, ‘Ya Allah, saksikanlah.’”
Demikian pula hadits sesudahnya – yakni sesudah hadits yang tersebut dalam al-Bukhari – dimana Aisyah mengatakan:
“Seorang wanita menahan tangannya”
Memberi kesan seolah-olah mereka melakukan baiat dengan tangan mereka.
Al-Hafizh (Ibnu Hajar) berkata: “Untuk yang pertama itu dapat diberi jawaban bahwa mengulurkan tangan dari balik hijab mengisyaratkan telah terjadinya baiat meskipun tidak sampai berjabat tangan… Adapun untuk yang kedua, yang dimaksud dengan menggenggam tangan itu ialah menariknya sebelum bersentuhan… Atau baiat itu terjadi dengan menggunakan lapis tangan.
Abu Daud meriwayatkan dalam al-Marasil dari asy-Sya’bi bahwa Nabi SAW ketika membaiat kaum wanita beliau membawa kain selimut bergaris dari Qatar lalu beliau meletakkannya di atas tangan beliau, seraya berkata,
“Aku tidak berjabat dengan wanita.”
Dalam Maghazi Ibnu Ishaq disebutkan bahwa Nabi SAW memasukkan tangannya ke dalam bejana dan wanita itu juga memasukkan tangannya bersama beliau.
Ibnu Hajar berkata: “Dan boleh jadi berulang-ulang, yakni peristiwa baiat itu terjadi lebih dari satu kali, di antaranya ialah baiat yang terjadi di mana beliau tidak menyentuh tangan wanita sama sekali, baik dengan menggunakan lapis maupun tidak, beliau membaiat hanya dengan perkataan saja, dan inilah yang diriwayatkan oleh Aisyah. Dan pada kesempatan yang lain beliau tidak berjabat tangan dengan wanita dengan menggunakan lapis, dan inilah yang diriwayatkan oleh asy-Sya’bi.”
Di antaranya lagi ialah dalam bentuk seperti yang disebutkan Ibnu Ishaq, yaitu memasukkan tangan ke dalam bejana. Dan ada lagi dalam bentuk seperti yang ditunjukkan oleh perkataan Ummu Athiyah, yaitu berjabat tangan secara langsung.
Di antara alasan yang memperkuat kemungkinan berulang-ulangnya baiat itu ialah bahwa Aisyah membicarakan baiat wanita-wanita mukminah yang berhijrah setelah terjadinya peristiwa Perjanjian Hudaibiyah, sedangkan Ummu Athiyah – secara lahiriah – membicarakan yang lebih umum daripada itu dan meliputi baiat wanita mukminah secara umum, termasuk di dalamnya wanita-wanita Anshar seperti Ummu Athiyah si perawi hadits. Karena itu, Imam Bukhari memasukkan hadits Aisyah di bawah bab “Idzaa Jaa aka al-Mu’minaat Muhaajiraat,” sedangkan hadits Ummu Athiyah dimasukkan dalam bab “Idzaa Jaa aka al- Mu’minaat Yubaayi’naka.”
Maksud pengutipan semua ini ialah bahwa apa yang dijadikan acuan oleh kebanyakan orang yang mengharamkan berjabat tangan antara laki-laki dengan perempuan – yaitu bahwa Nabi SAW tidak berjabat tangan dengan wanita – belumlah disepakati. Tidak seperti sangkaan orang-orang yang tidak merujuk kepada sumber-sumber aslinya. Masalah ini bahkan masih diperselisihkan sebagaimana yang telah saya kemukakan.
Sebagian ulama sekarang ada yang mengharamkan berjabat tangan dengan wanita dengan mengambil dalil riwayat Thabrani dan Baihaqi dari Ma’qil bin Yasar dari Nabi SAW, beliau bersabda:
“Sesungguhnya ditusuknya kepala salah seorang di antara kamu dengan jarum besi itu lebih baik daripada ia menyentuh wanita yang tidak halal baginya.”5
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan berkenaan dengan pengambilan hadits di atas sebagai dalil:
1. Bahwa imam-imam ahli hadits tidak menyatakan secara jelas akan keshahihan hadits tersebut, hanya orang-orang seperti al-Mundziri dan al-Haitsami yang mengatakan, “Perawi-perawinya adalah perawi-perawi kepercayaan atau perawi-perawi shahih.”
Perkataan seperti ini saja tidak cukup untuk menetapkan keshahihan hadits tersebut, karena masih ada kemungkinan terputus jalan periwayatannya (inqitha’) atau terdapat ‘illat (cacat) yang samar. Karena itu, hadits ini tidak diriwayatkan oleh seorang pun dari penyusun kitab-kitab yang masyhur, sebagaimana tidak ada seorang pun fuqaha terdahulu yang menjadikannya sebagai dasar untuk mengharamkan berjabat tangan antara laki-laki dengan perempuan dan sebagainya.
2. Fuqaha Hanafiyah dan sebagian fuqaha Malikiyah mengatakan bahwa pengharaman itu tidak dapat ditetapkan kecuali dengan dalil qath’i yang tidak ada kesamaran padanya, seperti Al-Qur’anul Karim serta hadits-hadits mutawatir dan masyhur. Adapun jika ketetapan atau keshahihannya sendiri masih ada kesamaran, maka hal itu tidak lain hanyalah menunjukkan hukum makruh, seperti hadits-hadits ahad yang shahih. Maka bagaimana lagi dengan hadits yang diragukan keshahihannya?
3. Andaikata kita terima bahwa hadits itu shahih dan dapat digunakan untuk mengharamkan suatu masalah, maka saya dapati petunjuknya tidak jelas. Kalimat “menyentuh kulit wanita yang tidak halal baginya” itu tidak dimaksudkan semata-mata bersentuhan kulit dengan kulit tanpa syahwat, sebagaimana yang biasa terjadi dalam berjabat tangan. Bahkan kata-kata al-mass (massa – yamassu – mass: menyentuh) cukup digunakan dalam nash-nash syar’iyah seperti Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan salah satu dari dua pengertian, yaitu:
a. Bahwa ia merupakan kinayah (kiasan) dari hubungan biologis (jima’) sebagaimana diriwayatkan Ibnu Abbas dalam menafsirkan firman Allah: “Laamastum an-Nisat” (Kamu menyentuh wanita). Ibnu Abbas berkata, “Lafal al-lams, al-mulaamasah, dan al-mass dalam Al-Qur’an dipakai sebagai kiasan untuk jima’ (hubungan seksual). Secara umum, ayat-ayat Al-Qur’an yang menggunakan kata al-mass menunjukkan arti seperti itu dengan jelas, seperti firman Allah yang diucapkan Maryam:
“Betapa mungkin aku akan mempunyai anak padahal aku belum pernah disentuh oleh seorang laki-laki pun …” (Ali Imran: 47)
“Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu menyentuh mereka…” (al-Baqarah: 237)
Dalam hadits diceritakan bahwa Nabi SAW mendekati istri-istrinya tanpa menyentuhnya….
b. Bahwa yang dimaksud ialah tindakan-tindakan di bawah kategori jima’, seperti mencium, memeluk, merangkul, dan lain-lain yang merupakan pendahuluan bagi jima’ (hubungan seksual). Ini diriwayatkan oleh sebagian ulama salaf dalam menafsirkan makna kata mulaamasah.
Al-Hakim mengatakan dalam “Kitab ath-Thaharah” dalam al-Mustadrak ‘al a ash-Shahihaini sebagai berikut:
Imam Bukhari dan Muslim telah sepakat mengeluarkan hadits-hadits yang berserakan dalam dua musnad yang shahih yang menunjukkan bahwa al-mass itu berarti sesuatu (tindakan) di bawah jima’:
(1) Di antaranya hadits Abu Hurairah:
“Tangan, zinanya ialah menyentuh…”
(2) Hadits Ibnu Abbas:
“Barangkali engkau menyentuhnya…?”
(3) Hadits lbnu Mas’ud:
“Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang)…”6
Al-Hakim berkata, “Dan masih ada beberapa hadits shahih pada mereka (Bukhari dan Muslim) mengenai tafsir dan lainnya …” Kemudian al-Hakim menyebutkan di antaranya:
(4) Dari Aisyah, ia berkata:
“Sedikit sekali hari (berlalu) kecuali Rasulullah SAW mengelilingi kami semua – yakni istri-istrinya – lalu beliau mencium dan menyentuh yang derajatnya di bawah jima’. Maka apabila beliau tiba di rumah istri yang waktu giliran beliau di situ, beliau menetap di situ.”
(5) Dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata, “Au laamastum an-nisa” (atau kamu menyentuh wanita) ialah tindakan di bawah jima’, dan untuk ini wajib wudhu.”
(6) Dan dari Umar, ia berkata, “Sesungguhnya mencium itu termasuk al-lams, oleh sebab itu berwudhulah karenanya.”7
Berdasarkan nash-nash yang telah disebutkan itu, maka mazhab Maliki dan mazhab Ahmad berpendapat bahwa menyentuh wanita yang membatalkan wudhu itu ialah yang disertai dengan syahwat. Dan dengan pengertian seperti inilah mereka menafsirkan firman Allah, “au laamastum an-nisa’” (atau kamu menyentuh wanita).
Karena itu, Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Fatawa-nya melemahkan pendapat orang yang menafsirkan lafal “mulaamasah” atau “al-lams” dalam ayat tersebut dengan semata-mata bersentuhan kulit walaupun tanpa syahwat.
Di antara yang beliau katakan mengenai masalah ini seperti berikut:
Adapun menggantungkan batalnya wudhu dengan menyentuh semata-mata (persentuhan kulit, tanpa syahwat), maka hal ini bertentangan dengan ushul, bertentangan dengan ijma’ sahabat, bertentangan dengan atsar, serta tidak ada nash dan qiyas bagi yang berpendapat begitu.
Apabila lafal al-lams (menyentuh) dalam firman Allah (atau jika kamu menyentuh wanita …) itu dimaksudkan untuk menyentuh dengan tangan atau mencium dan sebagainya – seperti yang dikatakan Ibnu Umar dan lainnya – maka sudah dimengerti bahwa ketika hal itu disebutkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, yang dimaksud ialah yang dilakukan dengan bersyahwat, seperti firman Allah dalam ayat i’tikaf: “… Dan janganlah kamu me-mubasyarah mereka ketika kamu sedang i’tikaf dalam masjid…” (al-Baqarah: 187)
Mubasyarah (memeluk) bagi orang yang sedang i’tikaf dengan tidak bersyahwat itu tidak diharamkan, berbeda dengan memeluk yang disertai syahwat.
Demikian pula firman Allah: “Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu menyentuh mereka …” (al-Baqarah: 237). Atau dalam ayat sebelumnya disebutkan: “Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu menyentuh mereka …” (al-Baqarah: 236).
Karena seandainya si suami hanya menyentuhnya dengan sentuhan biasa tanpa syahwat, maka tidak wajib iddah dan tidak wajib membayar mahar secara utuh serta tidak menjadikan mahram karena persemendaan menurut kesepakatan ulama.
Barangsiapa menganggap bahwa lafal au laamastum an-nisa’ mencakup sentuhan biasa meskipun tidak dengan bersyahwat, maka ia telah menyimpang dari bahasa Al-Qur’an, bahkan menyimpang dari bahasa manusia sebagaimana yang sudah dikenal. Sebab, jika disebutkan lafal al-mass (menyentuh) yang diiringi dengan laki-laki dan perempuan, maka tahulah dia bahwa yang dimaksud ialah menyentuh dengan bersyahwat, sebagaimana bila disebutkan lafal al-wath’u (yang asal artinya “menginjak”) yang diikuti dengan kata-kata laki-laki dan perempuan, maka tahulah ia bahwa yang dimaksud ialah al-wath’u dengan kemaluan (yakni bersetubuh), bukan menginjak dengan kaki.”8
Di tempat lain lbnu Taimiyah menyebutkan bahwa para sahabat berbeda pendapat mengenai maksud firman Allah au laamastum annisa’. Ibnu Abbas dan segolongan sahabat berpendapat bahwa yang dimaksud ialah jima’. Dan mereka berkata, “Allah itu Pemalu dan Maha Mulia. Ia membuat kinayah untuk sesuatu sesuai dengan yang Ia kehendaki.”
Beliau berkata, “Ini yang lebih tepat di antara kedua pendapat tersebut.”
Bangsa Arab dan Mawali juga berbeda pendapat mengenai makna kata al-lams, apakah ia berarti jima’ atau tindakan di bawah jima’. Bangsa Arab mengatakan, yang dimaksud adalah jima’. Sedangkan Mawali (bekas-bekas budak yang telah dimerdekakan) berkata: yang dimaksud ialah tindakan di bawah jima’ (pra-hubungan biologis). Lalu mereka meminta keputusan kepada Ibnu Abbas, lantas Ibnu Abbas membenarkan bangsa Arab dan menyalahkan Mawali.9
Maksud dikutipnya semua ini ialah untuk kita ketahui bahwa kata-kata al-mass atau al-lams ketika digunakan dalam konteks laki-laki dan perempuan tidaklah dimaksudkan dengan semata-mata bersentuhan kulit biasa, tetapi yang dimaksud ialah mungkin jima’ (hubungan seks) atau pendahuluannya seperti mencium, memeluk, dan sebagainya yang merupakan sentuhan disertai syahwat dan kelezatan.
Kalau kita perhatikan riwayat yang shahih dari Rasulullah SAW, niscaya kita jumpai sesuatu yang menunjukkan bahwa semata-mata bersentuhan tangan antara laki-laki dengan perempuan tanpa disertai syahwat dan tidak dikhawatirkan terjadinya fitnah tidaklah terlarang, bahkan pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW, sedangkan pada dasarnya perbuatan Nabi SAW itu adalah tasyri’ dan untuk diteladani:
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah SAW itu suri teladan yang baik bagimu…” (al-Ahzab: 21)
Imam Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya pada “Kitab al-Adab” dari Anas bin Malik RA, ia berkata:
“Sesungguhnya seorang budak wanita di antara budak-budak penduduk Madinah memegang tangan Rasulullah SAW, lalu membawanya pergi ke mana ia suka.”
Dalam riwayat Imam Ahmad dari Anas juga, ia berkata:
“Sesungguhnya seorang budak perempuan dari budak-budak penduduk Madinah datang, lalu ia memegang tangan Rasulullah SAW, maka beliau tidak melepaskan tangan beliau dari tangannya sehingga dia membawanya pergi ke mana ia suka.”
Ibnu Majah juga meriwayatkan hal demikian.
Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan dalam Fathul Bari:
“Yang dimaksud dengan memegang tangan di sini ialah kelazimannya, yaitu kasih sayang dan ketundukan, dan ini meliputi bermacam-macam kesungguhan dalam tawadhu’, karena disebutkannya perempuan bukan laki-laki, dan disebutkannya budak bukan orang merdeka, digunakannya kata-kata umum dengan lafal al-imaa’ (budak-budak perempuan), yakni budak perempuan yang mana pun, dan dengan perkataan haitsu syaa’at (ke mana saja ia suka), yakni ke tempat mana saja. Dan ungkapan dengan “mengambil/memegang tangannya” itu menunjukkan apa saja yang dilakukannya, sehingga meskipun si budak perempuan itu ingin pergi ke luar kota Madinah dan dia meminta kepada beliau untuk membantu memenuhi keperluannya itu niscaya beliau akan membantunya.
Ini merupakan dalil yang menunjukkan betapa tawadhu’nya Rasulullah SAW dan betapa bersihnya beliau dari sikap sombong.”10
Apa yang dikemukakan oleh Ibnu Hajar itu secara garis besar dapat diterima, tetapi beliau memalingkan makna memegang tangan dari makna lahiriahnya kepada kelazimannya yang berupa kasih sayang dan ketundukan, tidak dapat diterima, karena makna lahir dan kelaziman itu adalah dua hal yang dimaksudkan secara bersama-sama, dan pada asalnya perkataan itu harus diartikan menurut lahirnya, kecuali jika ada dalil atau indikasi tertentu yang memalingkannya dari makna lahir. Sedangkan dalam hal ini saya tidak menjumpai faktor yang mencegah atau melarang dipakainya makna lahir itu, bahkan riwayat Imam Ahmad yang menyebutkan “maka beliau tidak melepaskan tangan beliau dari tangannya sehingga ia membawa beliau pergi ke mana saja ia suka” menunjukkan dengan jelas bahwa makna lahir itulah yang dimaksud. Sungguh termasuk memberat-beratkan diri dan perbuatan serampangan jika keluar dari makna lahir ini.
Lebih banyak dan lebih mengena lagi apa yang diriwayatkan dalam Shahihain dan kitab-kitab Sunan dari Anas “bahwa Nabi SAW tidur siang hari di rumah bibi Anas yang bernama Ummu Haram binti Milhan istri Ubadah bin Shamit, dan beliau tidur di sisi Ummu Haram dengan meletakkan kepala beliau di pangkuan Ummu Haram, dan Ummu Haram membersihkan kepala beliau dari kutu …”
Ibnu Hajar dalam menjelaskan hadits ini mengatakan, “Hadits ini memperbolehkan tamu tidur siang di rumah orang lain (yakni tuan rumah) dengan memenuhi persyaratannya, seperti dengan adanya izin dan aman dari fitnah, dan bolehnya wanita asing (bukan istri) melayani tamu dengan menghidangkan makanan, menyediakan keperluannya, dan sebagainya.
Hadits ini juga memperbolehkan wanita melayani tamunya dengan membersihkan kutu kepalanya. Tetapi hal ini menimbulkan kemusykilan bagi sejumlah orang. Maka Ibnu Abdil Barr berkata, “Saya kira Ummu Haram itu dahulunya menyusui Rasulullah SAW (waktu kecil), atau saudaranya yaitu Ummu Sulaim, sehingga masing-masing berkedudukan “sebagai ibu susuan” atau bibi susuan bagi Rasulullah SAW. Karena itu, beliau tidur di sisinya, dan dia lakukan terhadap Rasulullah apa yang layak dilakukan oleh mahram.”
Selanjutnya Ibnu Abdil Barr membawakan riwayat dengan sanadnya yang menunjukkan bahwa Ummu Haram mempunyai hubungan mahram dengan Rasul dari jurusan bibi (saudara ibunya), sebab ibu Abdul Muthalib, kakek Nabi, adalah dari Bani Najjar …
Yang lain lagi berkata, “Nabi SAW itu maksum (terpelihara dari dosa dan kesalahan). Beliau mampu mengendalikan hasratnya terhadap istrinya, maka betapa lagi terhadap wanita lain mengenai hal-hal yang beliau disucikan daripadanya? Beliau suci dari perbuatan-perbuatan buruk dan perkataan-perkataan kotor, dan ini termasuk kekhususan beliau.”
Tetapi pendapat ini disangkal oleh al-Qadhi ‘Iyadh dengan argumentasi bahwa kekhususan itu tidak dapat ditetapkan dengan sesuatu yang bersifat kemungkinan. Tetapnya kemaksuman beliau memang dapat diterima, tetapi pada dasarnya tidak ada kekhususan dan boleh meneladani beliau dalam semua tindakan beliau, sehingga ada dalil yang menunjukkan kekhususannya.
Al-Hafizh ad-Dimyati mengemukakan sanggahan yang lebih keras lagi terhadap orang yang mengatakan kemungkinan pertama, yaitu anggapan tentang adanya hubungan kemahraman antara Nabi SAW dengan Ummu Haram. Beliau berkata:
“Mengigau orang yang menganggap Ummu Haram sebagai salah seorang bibi Nabi SAW, baik bibi susuan maupun bibi nasab. Sudah dimaklumi, orang-orang yang menyusukan beliau tidak ada seorang pun di antara mereka yang berasal dari wanita Anshar selain Ummu Abdil Muthalib, yaitu Salma binti Amr bin Zaid bin Lubaid bin Hirasy bin Amir bin Ghanam bin Adi bin an-Najjar; dan Ummu Haram adalah binti Milhan bin Khalid bin Zaid bin Haram bin Jundub bin Amir tersebut. Maka nasab Ummu Haram tidak bertemu dengan nasab Salma kecuali pada Amir bin Ghanam, kakek mereka yang sudah jauh ke atas. Dan hubungan bibi (yang jauh) ini tidak menetapkan kemahraman, sebab ini adalah bibi majazi, seperti perkataan Nabi SAW terhadap Sa’ad bin Abi Waqash, “Ini pamanku” karena Sa’ad dari Bani Zahrah, kerabat ibu beliau Aminah, sedangkan Sa’ad bukan saudara Aminah, baik nasab maupun susuan.”
Selanjutnya beliau (Dimyati) berkata, “Apabila sudah tetap yang demikian, maka terdapat riwayat dalam ash-Shahih yang menceritakan bahwa Nabi SAW tidak pernah masuk ke tempat wanita selain istri-istri beliau, kecuali kepada Ummu Sulaim. Lalu beliau ditanya mengenai masalah itu, dan beliau menjawab, ‘Saya kasihan kepadanya, saudaranya terbunuh dalam peperangan bersama saya.’ Yakni Haram bin Milhan, yang terbunuh pada waktu peperangan Bi’r Ma’unah.”
Apabila hadits ini mengkhususkan pengecualian untuk Ummu Sulaim, maka demikian pula halnya dengan Ummu Haram tersebut. Karena keduanya adalah bersaudara dan hidup di dalam satu rumah, sedangkan Haram bin Milhan adalah saudara mereka berdua. Maka ‘illat (hukumnya) adalah sama di antara keduanya, sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu Hajar.
Dan ditambahkan pula kepada ‘illat tersebut bahwa Ummu Sulaim adalah ibu Anas, pelayan Nabi SAW, sedangkan telah berlaku kebiasaan pergaulan antara pelayan, yang dilayani, serta keluarganya, serta ditiadakan kekhawatiran yang terjadi di antara orang-orang luar.
Kemudian ad-Dimyati berkata, “Tetapi hadits itu tidak menunjukkan terjadinya khalwat antara Nabi SAW dengan Ummu Haram, kemungkinan pada waktu itu disertai oleh anak, pembantu, suami, atau pendamping.”
Ibnu Hajar berkata, “Ini merupakan kemungkinan yang kuat, tetapi masih belum dapat menghilangkan kemusykilan dari asalnya, karena masih adanya mulamasah (persentuhan) dalam membersihkan kutu kepala, demikian pula tidur di pangkuan.”
Al-Hafizh berkata, “Sebaik-baik jawaban mengenai masalah ini ialah dengan menganggapnya sebagai kekhususan, dan hal ini tidak dapat ditolak oleh keberadaannya yang tidak ditetapkan kecuali dengan dalil, karena dalil mengenai hal ini sudah jelas.”11
Tetapi saya tidak tahu mana dalilnya ini, samar-samar ataukah jelas?
Setelah memperhatikan riwayat-riwayat tersebut, maka yang mantap dalam hati saya adalah bahwa semata-mata bersentuhan kulit tidaklah haram. Apabila didapati sebab-sebab yang menjadikan percampuran (pergaulan) seperti yang terjadi antara Nabi SAW dengan Ummu Haram dan Ummu Sulaim serta aman dari fitnah bagi kedua belah pihak, maka tidak mengapalah berjabat tangan antara laki-laki dengan perempuan ketika diperlukan, seperti ketika datang dari perjalanan jauh, seorang kerabat laki-laki berkunjung kepada kerabat wanita yang bukan mahramnya atau sebaliknya, seperti anak perempuan paman atau anak perempuan bibi baik dari pihak ibu maupun dari pihak ayah, atau istri paman, dan sebagainya, lebih-lebih jika pertemuan itu setelah lama tidak berjumpa.
Dalam menutup pembahasan ini ada dua hal yang perlu saya tekankan:
Pertama, bahwa berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan itu hanya diperbolehkan apabila tidak disertai dengan syahwat serta aman dari fitnah. Apabila dikhawatirkan terjadi fitnah terhadap salah satunya, atau disertai syahwat dan taladzdzudz (berlezat-lezat) dari salah satunya (apa lagi keduanya; penj.) maka keharaman berjabat tangan tidak diragukan lagi.
Bahkan seandainya kedua syarat ini tidak terpenuhi – yaitu tiadanya syahwat dan aman dari fitnah – meskipun jabatan tangan itu antara seseorang dengan mahramnya seperti bibinya, saudara sesusuan, anak tirinya, ibu tirinya, mertuanya, atau lainnya, maka berjabat tangan pada kondisi seperti itu adalah haram.
Bahkan berjabat tangan dengan anak yang masih kecil pun haram hukumnya jika kedua syarat itu tidak terpenuhi.
Kedua, hendaklah berjabat tangan itu sebatas ada kebutuhan saja, seperti yang disebutkan dalam pertanyaan di atas, yaitu dengan kerabat atau semenda (besan) yang terjadi hubungan yang erat dan akrab di antara mereka; dan tidak baik hal ini diperluas kepada orang lain, demi membendung pintu kerusakan, menjauhi syubhat, mengambil sikap hati-hati, dan meneladani Nabi SAW – tidak ada riwayat kuat yang menyebutkan bahwa beliau pernah berjabat tangan dengan wanita lain (bukan kerabat atau tidak mempunyai hubungan yang erat).
Dan yang lebih utama bagi seorang muslim atau muslimah – yang komitmen pada agamanya – ialah tidak memulai berjabat tangan dengan lain jenis. Tetapi, apabila diajak berjabat tangan barulah ia menjabat tangannya.
Saya tetapkan keputusan ini untuk dilaksanakan oleh orang yang memerlukannya tanpa merasa telah mengabaikan agamanya, dan bagi orang yang telah mengetahui tidak usah mengingkarinya selama masih ada kemungkinan untuk berijtihad.
Wallahu a’lam.
(hdn)
Maraji’: Yusuf Qaradhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer.
—
Catatan kaki:
1 Lihat al-Ikhtiar li Mukhtar fi Fiqhil Hanafyah, 4: 155.
2 Ibid., 4: 156-157
3 Perbuatan yang mereka ada-adakan antara tangan dengan kaki mereka itu maksudnya ialah mengadakan pengakuan-pengakuan palsu mengenai hubungan antara laki-laki dengan wanita seperti tuduhan berzina, tuduhan bahwa anak si Fulan bukan anak suaminya, dan sebagainya. (Al-Qur’an dan Terjemahannya, catatan kaki nomor 1473; penj.)
4 HR Bukhari dalam shahihnya, dalam “Kitab Tafsir Surat al-Mumtahanah,” Bab “Idzaa Jaa’aka al-Mu’minaatu Muhaajiraat.”
5 Al-Mundziri berkata dalam at-Targhib: “Perawi-perawi Thabrani adalah orang-orang tepercaya, perawi-perawi yang shahih.”
6 Beliau (al-Hakim) mengisyaratkan kepada riwayat asy-Syaikhani dan lainnya dan hadits Ibnu Maswud, dan dalam sebagian riwayat-riwayatnya: Bahwa seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW Lalu dia mengatakan bahwa dia telah berbuat sesuatu terhadap wanita, mungkin menciumnya, menyentuh dengan tangannya, atau perbuatan lainnya, seakan-akan ia menanyakan kafaratnya. Lalu Allah menurunkan ayat (yang artinya), “Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan dari malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan dosa perbuatan-perbuatan yang buruk…” (Hud: 114) (HR Muslim dengan lafal ini dalam “Kitab at-Taubah,” nomor 40)
7 Lihat, al-Mustadrak, 1: 135.
8 Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah, terbitan ar-Riyadh, jilid 21, hlm. 223-224.
9 Ibid.
10 Fathul Bari, juz 13.
11 Fathul Bari 13: 230-231. Dengan beberapa perubahan susunan redaksional
Keyword: hukum, jabat, laki-laki, perempuan, tangan
Pertanyaan saya, apakah ada nash Al-Qur’an atau As-Sunnah yang mengharamkan berjabat tangan antara laki-laki dengan wanita, sementara sudah saya sebutkan banyak motivasi kemasyarakatan atau kekeluargaan yang melatarinya, di samping ada rasa saling percaya. Aman dari fitnah, dan jauh dari rangsangan syahwat. Sedangkan kalau kita tidak mau berjabat tangan, maka mereka memandang kita orang-orang beragama ini kuno dan terlalu ketat, merendahkan wanita, selalu berprasangka buruk kepadanya, dan sebagainya.
Apabila ada dalil syar’inya, maka kami akan menghormatinya dengan tidak ragu-ragu lagi, dan tidak ada yang kami lakukan kecuali mendengar dan mematuhi, sebagai konsekuensi keimanan kami kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan jika hanya semata-mata hasil ijtihad fuqaha-fuqaha kita terdahulu, maka adakalanya fuqaha-fuqaha kita sekarang boleh berbeda pendapat dengannya, apabila mereka mempunyai ijtihad yang benar, dengan didasarkan pada tuntutan peraturan yang senantiasa berubah dan kondisi kehidupan yang selalu berkembang.
Karena itu, saya menulis surat ini kepada Ustadz dengan harapan Ustadz berkenan membahasnya sampai ke akar-akarnya berdasarkan Al-Qur’anul Karim dan Al-Hadits asy-Syarif. Kalau ada dalil yang melarang sudah tentu kami akan berhenti; tetapi jika dalam hal ini terdapat kelapangan, maka kami tidak mempersempit kelapangan-kelapangan yang diberikan Allah kepada kami, lebih-lebih sangat diperlukan dan bisa menimbulkan “bencana” kalau tidak dipenuhi.
Saya berharap kesibukan-kesibukan Ustadz yang banyak itu tidak menghalangi Ustadz untuk menjawab surat saya ini, sebab – sebagaimana saya katakan di muka – persoalan ini bukan persoalan saya seorang, tetapi mungkin persoalan berjuta-juta orang seperti saya.
Semoga Allah melapangkan dada Ustadz untuk menjawab, dan memudahkan kesempatan bagi Ustadz untuk menahkik masalah, dan mudah-mudahan Dia menjadikan Ustadz bermanfaat.
Jawaban
Tidak perlu saya sembunyikan kepada saudara penanya bahwa masalah hukum berjabat tangan antara laki-laki dengan perempuan – yang saudara tanyakan itu – merupakan masalah yang amat penting, dan untuk menahkik hukumnya tidak bisa dilakukan dengan seenaknya. Ia memerlukan kesungguhan dan pemikiran yang optimal dan ilmiah sehingga si mufti harus bebas dari tekanan pikiran orang lain atau pikiran yang telah diwarisi dari masa-masa lalu, apabila tidak didapati acuannya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah sehingga argumentasi-argumentasinya dapat didiskusikan untuk memperoleh pendapat yang lebih kuat dan lebih mendekati kebenaran menurut pandangan seorang faqih, yang di dalam pembahasannya hanya mencari ridha Allah, bukan memperturutkan hawa nafsu.
Sebelum memasuki pembahasan dan diskusi ini, saya ingin mengeluarkan dua buah gambaran dari lapangan perbedaan pendapat ini, yang saya percaya bahwa hukum kedua gambaran itu tidak diperselisihkan oleh fuqaha-fuqaha terdahulu, menurut pengetahuan saya. Kedua gambaran itu ialah:
Pertama, diharamkan berjabat tangan dengan wanita apabila disertai dengan syahwat dan taladzdzudz (berlezat-lezat) dari salah satu pihak, laki-laki atau wanita (kalau keduanya dengan syahwat sudah barang tentu lebih terlarang lagi; penj.) atau di belakang itu dikhawatirkan terjadinya fitnah, menurut dugaan yang kuat. Ketetapan diambil berdasarkan pada hipotesis bahwa menutup jalan menuju kerusakan itu adalah wajib, lebih-lebih jika telah tampak tanda-tandanya dan tersedia sarananya.
Hal ini diperkuat lagi oleh apa yang dikemukakan para ulama bahwa bersentuhan kulit antara laki-laki dengannya – yang pada asalnya mubah itu – bisa berubah menjadi haram apabila disertai dengan syahwat atau dikhawatirkan terjadinya fitnah,1 khususnya dengan anak perempuan si istri (anak tiri), atau saudara sepersusuan, yang perasaan hatinya sudah barang tentu tidak sama dengan perasaan hati ibu kandung, anak kandung, saudara wanita sendiri, bibi dari ayah atau ibu, dan sebagainya.
Kedua, kemurahan (diperbolehkan) berjabat tangan dengan wanita tua yang sudah tidak punya gairah terhadap laki-laki, demikian pula dengan anak-anak kecil yang belum mempunyai syahwat terhadap laki-laki, karena berjabat tangan dengan mereka itu aman dari sebab-sebab fitnah. Begitu pula bila si laki-laki sudah tua dan tidak punya gairah terhadap wanita.
Hal ini didasarkan pada riwayat dari Abu Bakar RA bahwa beliau pernah berjabat tangan dengan beberapa orang wanita tua, dan Abdullah bin Zubair mengambil pembantu wanita tua untuk merawatnya, maka wanita itu mengusapnya dengan tangannya dan membersihkan kepalanya dari kutu.2
Hal ini sudah ditunjukkan Al-Qur’an dalam membicarakan perempuan-perempuan tua yang sudah berhenti (dari haid dan mengandung), dan tiada gairah terhadap laki-laki, dimana mereka diberi keringanan dalam beberapa masalah pakaian yang tidak diberikan kepada yang lain:
“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (an-Nur: 60)
Dikecualikan pula laki-laki yang tidak memiliki gairah terhadap wanita dan anak-anak kecil yang belum muncul hasrat seksualnya. Mereka dikecualikan dari sasaran larangan terhadap wanita-wanita mukminah dalam hal menampakkan perhiasannya.
“… Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita …”(an-Nur: 31)
Selain dua kelompok yang disebutkan itulah yang menjadi tema pembicaraan dan pembahasan serta memerlukan pengkajian dan tahkik.
Golongan yang mewajibkan wanita menutup seluruh tubuhnya hingga wajah dan telapak tangannya, dan tidak menjadikan wajah dan tangan ini sebagai yang dikecualikan oleh ayat:
“… Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa tampak daripadanya …” (an-Nur: 31)
Bahkan mereka menganggap bahwa perhiasan yang biasa tampak itu adalah pakaian luar seperti baju panjang, mantel, dan sebagainya, atau yang tampak karena darurat seperti tersingkap karena ditiup angin kencang dan sebagainya. Maka tidak mengherankan lagi bahwa berjabat tangan antara laki-laki dengan wanita menurut mereka adalah haram. Sebab, apabila kedua telapak tangan itu wajib ditutup maka melihatnya adalah haram; dan apabila melihatnya saja haram, apa lagi menyentuhnya. Sebab, menyentuh itu lebih berat daripada melihat, karena ia lebih merangsang, sedangkan tidak ada jabat tangan tanpa bersentuhan kulit.
Tetapi sudah dikenal bahwa mereka yang berpendapat demikian adalah golongan minoritas, sedangkan mayoritas fuqaha dari kalangan sahabat, tabi’in, dan orang-orang sesudah mereka berpendapat bahwa yang dikecualikan dalam ayat “kecuali yang biasa tampak daripadanya” adalah wajah dan kedua (telapak) tangan.
Maka apakah dalil mereka untuk mengharamkan berjabat tangan yang tidak disertai syahwat?
Sebenarnya saya telah berusaha mencari dalil yang memuaskan yang secara tegas menetapkan demikian, tetapi tidak saya temukan.
Dalil yang terkuat dalam hal ini ialah menutup pintu fitnah (saddudz-dzari’ah), dan alasan ini dapat diterima tanpa ragu-ragu lagi ketika syahwat tergerak, atau karena takut fitnah bila telah tampak tanda-tandanya. Tetapi dalam kondisi aman – dan ini sering terjadi – maka di manakah letak keharamannya?
Sebagian ulama ada yang berdalil dengan sikap Nabi SAW yang tidak berjabat tangan dengan perempuan ketika beliau membaiat mereka pada waktu penaklukan Mekah yang terkenal itu, sebagaimana disebutkan dalam surat al-Mumtahanah.
Tetapi ada satu muqarrar (ketetapan) bahwa apabila Nabi SAW meninggalkan suatu urusan, maka hal itu tidak menunjukkan – secara pasti – akan keharamannya. Adakalanya beliau meninggalkan sesuatu karena haram, adakalanya karena makruh, adakalanya hal itu kurang utama, dan adakalanya hanya semata-mata karena beliau tidak berhasrat kepadanya, seperti beliau tidak memakan daging biawak padahal daging itu mubah.
Kalau begitu, sikap Nabi SAW tidak berjabat tangan dengan wanita itu tidak dapat dijadikan dalil untuk menetapkan keharamannya, oleh karena itu harus ada dalil lain bagi orang yang berpendapat demikian.
Lebih dari itu, bahwa masalah Nabi SAW tidak berjabat tangan dengan kaum wanita pada waktu baiat itu belum disepakati, karena menurut riwayat Ummu Athiyah al-Anshariyah RA bahwa Nabi SAW pernah berjabat tangan dengan wanita pada waktu baiat, berbeda dengan riwayat dari Ummul Mukminin Aisyah RA dimana beliau mengingkari hal itu dan bersumpah menyatakan tidak terjadinya jabat tangan itu.
Imam Bukhari meriwayatkan dalam shahihnya dari Aisyah bahwa Rasulullah saw.SAW menguji wanita-wanita mukminah yang berhijrah dengan ayat ini, yaitu firman Allah:
“Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu pun dengan Allah; tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dengan kaki mereka3 dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (al-Mumtahanah: 12)
Aisyah berkata, “Maka barangsiapa di antara wanita-wanita beriman itu yang menerima syarat tersebut, Rasulullah SAW berkata kepadanya, “Aku telah membai’atmu – dengan perkataan saja – dan demi Allah tangan beliau sama sekali tidak menyentuh tangan wanita dalam baiat itu; beliau tidak membaiat mereka melainkan dengan mengucapkan, ‘Aku telah membai’atmu tentang hal itu.’” 4
Dalam mensyarah perkataan Aisyah “Tidak, demi Allah …,” al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari sebagai berikut: Perkataan itu berupa sumpah untuk menguatkan berita, dan dengan perkataannya itu seakan-akan Aisyah hendak menyangkal berita yang diriwayatkan dari Ummu Athiyah. Menurut riwayat Ibnu Hibban, al-Bazzar, ath-Thabari, dan Ibnu Mardawaih, dari (jalan) Ismail bin Abdurrahman dari neneknya, Ummu Athiyah, mengenai kisah baiat, Ummu Athiyah berkata:
“Lalu Rasulullah SAW mengulurkan tangannya dari luar rumah dan kami mengulurkan tangan kami dari dalam rumah, kemudian beliau berucap, ‘Ya Allah, saksikanlah.’”
Demikian pula hadits sesudahnya – yakni sesudah hadits yang tersebut dalam al-Bukhari – dimana Aisyah mengatakan:
“Seorang wanita menahan tangannya”
Memberi kesan seolah-olah mereka melakukan baiat dengan tangan mereka.
Al-Hafizh (Ibnu Hajar) berkata: “Untuk yang pertama itu dapat diberi jawaban bahwa mengulurkan tangan dari balik hijab mengisyaratkan telah terjadinya baiat meskipun tidak sampai berjabat tangan… Adapun untuk yang kedua, yang dimaksud dengan menggenggam tangan itu ialah menariknya sebelum bersentuhan… Atau baiat itu terjadi dengan menggunakan lapis tangan.
Abu Daud meriwayatkan dalam al-Marasil dari asy-Sya’bi bahwa Nabi SAW ketika membaiat kaum wanita beliau membawa kain selimut bergaris dari Qatar lalu beliau meletakkannya di atas tangan beliau, seraya berkata,
“Aku tidak berjabat dengan wanita.”
Dalam Maghazi Ibnu Ishaq disebutkan bahwa Nabi SAW memasukkan tangannya ke dalam bejana dan wanita itu juga memasukkan tangannya bersama beliau.
Ibnu Hajar berkata: “Dan boleh jadi berulang-ulang, yakni peristiwa baiat itu terjadi lebih dari satu kali, di antaranya ialah baiat yang terjadi di mana beliau tidak menyentuh tangan wanita sama sekali, baik dengan menggunakan lapis maupun tidak, beliau membaiat hanya dengan perkataan saja, dan inilah yang diriwayatkan oleh Aisyah. Dan pada kesempatan yang lain beliau tidak berjabat tangan dengan wanita dengan menggunakan lapis, dan inilah yang diriwayatkan oleh asy-Sya’bi.”
Di antaranya lagi ialah dalam bentuk seperti yang disebutkan Ibnu Ishaq, yaitu memasukkan tangan ke dalam bejana. Dan ada lagi dalam bentuk seperti yang ditunjukkan oleh perkataan Ummu Athiyah, yaitu berjabat tangan secara langsung.
Di antara alasan yang memperkuat kemungkinan berulang-ulangnya baiat itu ialah bahwa Aisyah membicarakan baiat wanita-wanita mukminah yang berhijrah setelah terjadinya peristiwa Perjanjian Hudaibiyah, sedangkan Ummu Athiyah – secara lahiriah – membicarakan yang lebih umum daripada itu dan meliputi baiat wanita mukminah secara umum, termasuk di dalamnya wanita-wanita Anshar seperti Ummu Athiyah si perawi hadits. Karena itu, Imam Bukhari memasukkan hadits Aisyah di bawah bab “Idzaa Jaa aka al-Mu’minaat Muhaajiraat,” sedangkan hadits Ummu Athiyah dimasukkan dalam bab “Idzaa Jaa aka al- Mu’minaat Yubaayi’naka.”
Maksud pengutipan semua ini ialah bahwa apa yang dijadikan acuan oleh kebanyakan orang yang mengharamkan berjabat tangan antara laki-laki dengan perempuan – yaitu bahwa Nabi SAW tidak berjabat tangan dengan wanita – belumlah disepakati. Tidak seperti sangkaan orang-orang yang tidak merujuk kepada sumber-sumber aslinya. Masalah ini bahkan masih diperselisihkan sebagaimana yang telah saya kemukakan.
Sebagian ulama sekarang ada yang mengharamkan berjabat tangan dengan wanita dengan mengambil dalil riwayat Thabrani dan Baihaqi dari Ma’qil bin Yasar dari Nabi SAW, beliau bersabda:
“Sesungguhnya ditusuknya kepala salah seorang di antara kamu dengan jarum besi itu lebih baik daripada ia menyentuh wanita yang tidak halal baginya.”5
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan berkenaan dengan pengambilan hadits di atas sebagai dalil:
1. Bahwa imam-imam ahli hadits tidak menyatakan secara jelas akan keshahihan hadits tersebut, hanya orang-orang seperti al-Mundziri dan al-Haitsami yang mengatakan, “Perawi-perawinya adalah perawi-perawi kepercayaan atau perawi-perawi shahih.”
Perkataan seperti ini saja tidak cukup untuk menetapkan keshahihan hadits tersebut, karena masih ada kemungkinan terputus jalan periwayatannya (inqitha’) atau terdapat ‘illat (cacat) yang samar. Karena itu, hadits ini tidak diriwayatkan oleh seorang pun dari penyusun kitab-kitab yang masyhur, sebagaimana tidak ada seorang pun fuqaha terdahulu yang menjadikannya sebagai dasar untuk mengharamkan berjabat tangan antara laki-laki dengan perempuan dan sebagainya.
2. Fuqaha Hanafiyah dan sebagian fuqaha Malikiyah mengatakan bahwa pengharaman itu tidak dapat ditetapkan kecuali dengan dalil qath’i yang tidak ada kesamaran padanya, seperti Al-Qur’anul Karim serta hadits-hadits mutawatir dan masyhur. Adapun jika ketetapan atau keshahihannya sendiri masih ada kesamaran, maka hal itu tidak lain hanyalah menunjukkan hukum makruh, seperti hadits-hadits ahad yang shahih. Maka bagaimana lagi dengan hadits yang diragukan keshahihannya?
3. Andaikata kita terima bahwa hadits itu shahih dan dapat digunakan untuk mengharamkan suatu masalah, maka saya dapati petunjuknya tidak jelas. Kalimat “menyentuh kulit wanita yang tidak halal baginya” itu tidak dimaksudkan semata-mata bersentuhan kulit dengan kulit tanpa syahwat, sebagaimana yang biasa terjadi dalam berjabat tangan. Bahkan kata-kata al-mass (massa – yamassu – mass: menyentuh) cukup digunakan dalam nash-nash syar’iyah seperti Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan salah satu dari dua pengertian, yaitu:
a. Bahwa ia merupakan kinayah (kiasan) dari hubungan biologis (jima’) sebagaimana diriwayatkan Ibnu Abbas dalam menafsirkan firman Allah: “Laamastum an-Nisat” (Kamu menyentuh wanita). Ibnu Abbas berkata, “Lafal al-lams, al-mulaamasah, dan al-mass dalam Al-Qur’an dipakai sebagai kiasan untuk jima’ (hubungan seksual). Secara umum, ayat-ayat Al-Qur’an yang menggunakan kata al-mass menunjukkan arti seperti itu dengan jelas, seperti firman Allah yang diucapkan Maryam:
“Betapa mungkin aku akan mempunyai anak padahal aku belum pernah disentuh oleh seorang laki-laki pun …” (Ali Imran: 47)
“Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu menyentuh mereka…” (al-Baqarah: 237)
Dalam hadits diceritakan bahwa Nabi SAW mendekati istri-istrinya tanpa menyentuhnya….
b. Bahwa yang dimaksud ialah tindakan-tindakan di bawah kategori jima’, seperti mencium, memeluk, merangkul, dan lain-lain yang merupakan pendahuluan bagi jima’ (hubungan seksual). Ini diriwayatkan oleh sebagian ulama salaf dalam menafsirkan makna kata mulaamasah.
Al-Hakim mengatakan dalam “Kitab ath-Thaharah” dalam al-Mustadrak ‘al a ash-Shahihaini sebagai berikut:
Imam Bukhari dan Muslim telah sepakat mengeluarkan hadits-hadits yang berserakan dalam dua musnad yang shahih yang menunjukkan bahwa al-mass itu berarti sesuatu (tindakan) di bawah jima’:
(1) Di antaranya hadits Abu Hurairah:
“Tangan, zinanya ialah menyentuh…”
(2) Hadits Ibnu Abbas:
“Barangkali engkau menyentuhnya…?”
(3) Hadits lbnu Mas’ud:
“Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang)…”6
Al-Hakim berkata, “Dan masih ada beberapa hadits shahih pada mereka (Bukhari dan Muslim) mengenai tafsir dan lainnya …” Kemudian al-Hakim menyebutkan di antaranya:
(4) Dari Aisyah, ia berkata:
“Sedikit sekali hari (berlalu) kecuali Rasulullah SAW mengelilingi kami semua – yakni istri-istrinya – lalu beliau mencium dan menyentuh yang derajatnya di bawah jima’. Maka apabila beliau tiba di rumah istri yang waktu giliran beliau di situ, beliau menetap di situ.”
(5) Dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata, “Au laamastum an-nisa” (atau kamu menyentuh wanita) ialah tindakan di bawah jima’, dan untuk ini wajib wudhu.”
(6) Dan dari Umar, ia berkata, “Sesungguhnya mencium itu termasuk al-lams, oleh sebab itu berwudhulah karenanya.”7
Berdasarkan nash-nash yang telah disebutkan itu, maka mazhab Maliki dan mazhab Ahmad berpendapat bahwa menyentuh wanita yang membatalkan wudhu itu ialah yang disertai dengan syahwat. Dan dengan pengertian seperti inilah mereka menafsirkan firman Allah, “au laamastum an-nisa’” (atau kamu menyentuh wanita).
Karena itu, Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Fatawa-nya melemahkan pendapat orang yang menafsirkan lafal “mulaamasah” atau “al-lams” dalam ayat tersebut dengan semata-mata bersentuhan kulit walaupun tanpa syahwat.
Di antara yang beliau katakan mengenai masalah ini seperti berikut:
Adapun menggantungkan batalnya wudhu dengan menyentuh semata-mata (persentuhan kulit, tanpa syahwat), maka hal ini bertentangan dengan ushul, bertentangan dengan ijma’ sahabat, bertentangan dengan atsar, serta tidak ada nash dan qiyas bagi yang berpendapat begitu.
Apabila lafal al-lams (menyentuh) dalam firman Allah (atau jika kamu menyentuh wanita …) itu dimaksudkan untuk menyentuh dengan tangan atau mencium dan sebagainya – seperti yang dikatakan Ibnu Umar dan lainnya – maka sudah dimengerti bahwa ketika hal itu disebutkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, yang dimaksud ialah yang dilakukan dengan bersyahwat, seperti firman Allah dalam ayat i’tikaf: “… Dan janganlah kamu me-mubasyarah mereka ketika kamu sedang i’tikaf dalam masjid…” (al-Baqarah: 187)
Mubasyarah (memeluk) bagi orang yang sedang i’tikaf dengan tidak bersyahwat itu tidak diharamkan, berbeda dengan memeluk yang disertai syahwat.
Demikian pula firman Allah: “Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu menyentuh mereka …” (al-Baqarah: 237). Atau dalam ayat sebelumnya disebutkan: “Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu menyentuh mereka …” (al-Baqarah: 236).
Karena seandainya si suami hanya menyentuhnya dengan sentuhan biasa tanpa syahwat, maka tidak wajib iddah dan tidak wajib membayar mahar secara utuh serta tidak menjadikan mahram karena persemendaan menurut kesepakatan ulama.
Barangsiapa menganggap bahwa lafal au laamastum an-nisa’ mencakup sentuhan biasa meskipun tidak dengan bersyahwat, maka ia telah menyimpang dari bahasa Al-Qur’an, bahkan menyimpang dari bahasa manusia sebagaimana yang sudah dikenal. Sebab, jika disebutkan lafal al-mass (menyentuh) yang diiringi dengan laki-laki dan perempuan, maka tahulah dia bahwa yang dimaksud ialah menyentuh dengan bersyahwat, sebagaimana bila disebutkan lafal al-wath’u (yang asal artinya “menginjak”) yang diikuti dengan kata-kata laki-laki dan perempuan, maka tahulah ia bahwa yang dimaksud ialah al-wath’u dengan kemaluan (yakni bersetubuh), bukan menginjak dengan kaki.”8
Di tempat lain lbnu Taimiyah menyebutkan bahwa para sahabat berbeda pendapat mengenai maksud firman Allah au laamastum annisa’. Ibnu Abbas dan segolongan sahabat berpendapat bahwa yang dimaksud ialah jima’. Dan mereka berkata, “Allah itu Pemalu dan Maha Mulia. Ia membuat kinayah untuk sesuatu sesuai dengan yang Ia kehendaki.”
Beliau berkata, “Ini yang lebih tepat di antara kedua pendapat tersebut.”
Bangsa Arab dan Mawali juga berbeda pendapat mengenai makna kata al-lams, apakah ia berarti jima’ atau tindakan di bawah jima’. Bangsa Arab mengatakan, yang dimaksud adalah jima’. Sedangkan Mawali (bekas-bekas budak yang telah dimerdekakan) berkata: yang dimaksud ialah tindakan di bawah jima’ (pra-hubungan biologis). Lalu mereka meminta keputusan kepada Ibnu Abbas, lantas Ibnu Abbas membenarkan bangsa Arab dan menyalahkan Mawali.9
Maksud dikutipnya semua ini ialah untuk kita ketahui bahwa kata-kata al-mass atau al-lams ketika digunakan dalam konteks laki-laki dan perempuan tidaklah dimaksudkan dengan semata-mata bersentuhan kulit biasa, tetapi yang dimaksud ialah mungkin jima’ (hubungan seks) atau pendahuluannya seperti mencium, memeluk, dan sebagainya yang merupakan sentuhan disertai syahwat dan kelezatan.
Kalau kita perhatikan riwayat yang shahih dari Rasulullah SAW, niscaya kita jumpai sesuatu yang menunjukkan bahwa semata-mata bersentuhan tangan antara laki-laki dengan perempuan tanpa disertai syahwat dan tidak dikhawatirkan terjadinya fitnah tidaklah terlarang, bahkan pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW, sedangkan pada dasarnya perbuatan Nabi SAW itu adalah tasyri’ dan untuk diteladani:
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah SAW itu suri teladan yang baik bagimu…” (al-Ahzab: 21)
Imam Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya pada “Kitab al-Adab” dari Anas bin Malik RA, ia berkata:
“Sesungguhnya seorang budak wanita di antara budak-budak penduduk Madinah memegang tangan Rasulullah SAW, lalu membawanya pergi ke mana ia suka.”
Dalam riwayat Imam Ahmad dari Anas juga, ia berkata:
“Sesungguhnya seorang budak perempuan dari budak-budak penduduk Madinah datang, lalu ia memegang tangan Rasulullah SAW, maka beliau tidak melepaskan tangan beliau dari tangannya sehingga dia membawanya pergi ke mana ia suka.”
Ibnu Majah juga meriwayatkan hal demikian.
Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan dalam Fathul Bari:
“Yang dimaksud dengan memegang tangan di sini ialah kelazimannya, yaitu kasih sayang dan ketundukan, dan ini meliputi bermacam-macam kesungguhan dalam tawadhu’, karena disebutkannya perempuan bukan laki-laki, dan disebutkannya budak bukan orang merdeka, digunakannya kata-kata umum dengan lafal al-imaa’ (budak-budak perempuan), yakni budak perempuan yang mana pun, dan dengan perkataan haitsu syaa’at (ke mana saja ia suka), yakni ke tempat mana saja. Dan ungkapan dengan “mengambil/memegang tangannya” itu menunjukkan apa saja yang dilakukannya, sehingga meskipun si budak perempuan itu ingin pergi ke luar kota Madinah dan dia meminta kepada beliau untuk membantu memenuhi keperluannya itu niscaya beliau akan membantunya.
Ini merupakan dalil yang menunjukkan betapa tawadhu’nya Rasulullah SAW dan betapa bersihnya beliau dari sikap sombong.”10
Apa yang dikemukakan oleh Ibnu Hajar itu secara garis besar dapat diterima, tetapi beliau memalingkan makna memegang tangan dari makna lahiriahnya kepada kelazimannya yang berupa kasih sayang dan ketundukan, tidak dapat diterima, karena makna lahir dan kelaziman itu adalah dua hal yang dimaksudkan secara bersama-sama, dan pada asalnya perkataan itu harus diartikan menurut lahirnya, kecuali jika ada dalil atau indikasi tertentu yang memalingkannya dari makna lahir. Sedangkan dalam hal ini saya tidak menjumpai faktor yang mencegah atau melarang dipakainya makna lahir itu, bahkan riwayat Imam Ahmad yang menyebutkan “maka beliau tidak melepaskan tangan beliau dari tangannya sehingga ia membawa beliau pergi ke mana saja ia suka” menunjukkan dengan jelas bahwa makna lahir itulah yang dimaksud. Sungguh termasuk memberat-beratkan diri dan perbuatan serampangan jika keluar dari makna lahir ini.
Lebih banyak dan lebih mengena lagi apa yang diriwayatkan dalam Shahihain dan kitab-kitab Sunan dari Anas “bahwa Nabi SAW tidur siang hari di rumah bibi Anas yang bernama Ummu Haram binti Milhan istri Ubadah bin Shamit, dan beliau tidur di sisi Ummu Haram dengan meletakkan kepala beliau di pangkuan Ummu Haram, dan Ummu Haram membersihkan kepala beliau dari kutu …”
Ibnu Hajar dalam menjelaskan hadits ini mengatakan, “Hadits ini memperbolehkan tamu tidur siang di rumah orang lain (yakni tuan rumah) dengan memenuhi persyaratannya, seperti dengan adanya izin dan aman dari fitnah, dan bolehnya wanita asing (bukan istri) melayani tamu dengan menghidangkan makanan, menyediakan keperluannya, dan sebagainya.
Hadits ini juga memperbolehkan wanita melayani tamunya dengan membersihkan kutu kepalanya. Tetapi hal ini menimbulkan kemusykilan bagi sejumlah orang. Maka Ibnu Abdil Barr berkata, “Saya kira Ummu Haram itu dahulunya menyusui Rasulullah SAW (waktu kecil), atau saudaranya yaitu Ummu Sulaim, sehingga masing-masing berkedudukan “sebagai ibu susuan” atau bibi susuan bagi Rasulullah SAW. Karena itu, beliau tidur di sisinya, dan dia lakukan terhadap Rasulullah apa yang layak dilakukan oleh mahram.”
Selanjutnya Ibnu Abdil Barr membawakan riwayat dengan sanadnya yang menunjukkan bahwa Ummu Haram mempunyai hubungan mahram dengan Rasul dari jurusan bibi (saudara ibunya), sebab ibu Abdul Muthalib, kakek Nabi, adalah dari Bani Najjar …
Yang lain lagi berkata, “Nabi SAW itu maksum (terpelihara dari dosa dan kesalahan). Beliau mampu mengendalikan hasratnya terhadap istrinya, maka betapa lagi terhadap wanita lain mengenai hal-hal yang beliau disucikan daripadanya? Beliau suci dari perbuatan-perbuatan buruk dan perkataan-perkataan kotor, dan ini termasuk kekhususan beliau.”
Tetapi pendapat ini disangkal oleh al-Qadhi ‘Iyadh dengan argumentasi bahwa kekhususan itu tidak dapat ditetapkan dengan sesuatu yang bersifat kemungkinan. Tetapnya kemaksuman beliau memang dapat diterima, tetapi pada dasarnya tidak ada kekhususan dan boleh meneladani beliau dalam semua tindakan beliau, sehingga ada dalil yang menunjukkan kekhususannya.
Al-Hafizh ad-Dimyati mengemukakan sanggahan yang lebih keras lagi terhadap orang yang mengatakan kemungkinan pertama, yaitu anggapan tentang adanya hubungan kemahraman antara Nabi SAW dengan Ummu Haram. Beliau berkata:
“Mengigau orang yang menganggap Ummu Haram sebagai salah seorang bibi Nabi SAW, baik bibi susuan maupun bibi nasab. Sudah dimaklumi, orang-orang yang menyusukan beliau tidak ada seorang pun di antara mereka yang berasal dari wanita Anshar selain Ummu Abdil Muthalib, yaitu Salma binti Amr bin Zaid bin Lubaid bin Hirasy bin Amir bin Ghanam bin Adi bin an-Najjar; dan Ummu Haram adalah binti Milhan bin Khalid bin Zaid bin Haram bin Jundub bin Amir tersebut. Maka nasab Ummu Haram tidak bertemu dengan nasab Salma kecuali pada Amir bin Ghanam, kakek mereka yang sudah jauh ke atas. Dan hubungan bibi (yang jauh) ini tidak menetapkan kemahraman, sebab ini adalah bibi majazi, seperti perkataan Nabi SAW terhadap Sa’ad bin Abi Waqash, “Ini pamanku” karena Sa’ad dari Bani Zahrah, kerabat ibu beliau Aminah, sedangkan Sa’ad bukan saudara Aminah, baik nasab maupun susuan.”
Selanjutnya beliau (Dimyati) berkata, “Apabila sudah tetap yang demikian, maka terdapat riwayat dalam ash-Shahih yang menceritakan bahwa Nabi SAW tidak pernah masuk ke tempat wanita selain istri-istri beliau, kecuali kepada Ummu Sulaim. Lalu beliau ditanya mengenai masalah itu, dan beliau menjawab, ‘Saya kasihan kepadanya, saudaranya terbunuh dalam peperangan bersama saya.’ Yakni Haram bin Milhan, yang terbunuh pada waktu peperangan Bi’r Ma’unah.”
Apabila hadits ini mengkhususkan pengecualian untuk Ummu Sulaim, maka demikian pula halnya dengan Ummu Haram tersebut. Karena keduanya adalah bersaudara dan hidup di dalam satu rumah, sedangkan Haram bin Milhan adalah saudara mereka berdua. Maka ‘illat (hukumnya) adalah sama di antara keduanya, sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu Hajar.
Dan ditambahkan pula kepada ‘illat tersebut bahwa Ummu Sulaim adalah ibu Anas, pelayan Nabi SAW, sedangkan telah berlaku kebiasaan pergaulan antara pelayan, yang dilayani, serta keluarganya, serta ditiadakan kekhawatiran yang terjadi di antara orang-orang luar.
Kemudian ad-Dimyati berkata, “Tetapi hadits itu tidak menunjukkan terjadinya khalwat antara Nabi SAW dengan Ummu Haram, kemungkinan pada waktu itu disertai oleh anak, pembantu, suami, atau pendamping.”
Ibnu Hajar berkata, “Ini merupakan kemungkinan yang kuat, tetapi masih belum dapat menghilangkan kemusykilan dari asalnya, karena masih adanya mulamasah (persentuhan) dalam membersihkan kutu kepala, demikian pula tidur di pangkuan.”
Al-Hafizh berkata, “Sebaik-baik jawaban mengenai masalah ini ialah dengan menganggapnya sebagai kekhususan, dan hal ini tidak dapat ditolak oleh keberadaannya yang tidak ditetapkan kecuali dengan dalil, karena dalil mengenai hal ini sudah jelas.”11
Tetapi saya tidak tahu mana dalilnya ini, samar-samar ataukah jelas?
Setelah memperhatikan riwayat-riwayat tersebut, maka yang mantap dalam hati saya adalah bahwa semata-mata bersentuhan kulit tidaklah haram. Apabila didapati sebab-sebab yang menjadikan percampuran (pergaulan) seperti yang terjadi antara Nabi SAW dengan Ummu Haram dan Ummu Sulaim serta aman dari fitnah bagi kedua belah pihak, maka tidak mengapalah berjabat tangan antara laki-laki dengan perempuan ketika diperlukan, seperti ketika datang dari perjalanan jauh, seorang kerabat laki-laki berkunjung kepada kerabat wanita yang bukan mahramnya atau sebaliknya, seperti anak perempuan paman atau anak perempuan bibi baik dari pihak ibu maupun dari pihak ayah, atau istri paman, dan sebagainya, lebih-lebih jika pertemuan itu setelah lama tidak berjumpa.
Dalam menutup pembahasan ini ada dua hal yang perlu saya tekankan:
Pertama, bahwa berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan itu hanya diperbolehkan apabila tidak disertai dengan syahwat serta aman dari fitnah. Apabila dikhawatirkan terjadi fitnah terhadap salah satunya, atau disertai syahwat dan taladzdzudz (berlezat-lezat) dari salah satunya (apa lagi keduanya; penj.) maka keharaman berjabat tangan tidak diragukan lagi.
Bahkan seandainya kedua syarat ini tidak terpenuhi – yaitu tiadanya syahwat dan aman dari fitnah – meskipun jabatan tangan itu antara seseorang dengan mahramnya seperti bibinya, saudara sesusuan, anak tirinya, ibu tirinya, mertuanya, atau lainnya, maka berjabat tangan pada kondisi seperti itu adalah haram.
Bahkan berjabat tangan dengan anak yang masih kecil pun haram hukumnya jika kedua syarat itu tidak terpenuhi.
Kedua, hendaklah berjabat tangan itu sebatas ada kebutuhan saja, seperti yang disebutkan dalam pertanyaan di atas, yaitu dengan kerabat atau semenda (besan) yang terjadi hubungan yang erat dan akrab di antara mereka; dan tidak baik hal ini diperluas kepada orang lain, demi membendung pintu kerusakan, menjauhi syubhat, mengambil sikap hati-hati, dan meneladani Nabi SAW – tidak ada riwayat kuat yang menyebutkan bahwa beliau pernah berjabat tangan dengan wanita lain (bukan kerabat atau tidak mempunyai hubungan yang erat).
Dan yang lebih utama bagi seorang muslim atau muslimah – yang komitmen pada agamanya – ialah tidak memulai berjabat tangan dengan lain jenis. Tetapi, apabila diajak berjabat tangan barulah ia menjabat tangannya.
Saya tetapkan keputusan ini untuk dilaksanakan oleh orang yang memerlukannya tanpa merasa telah mengabaikan agamanya, dan bagi orang yang telah mengetahui tidak usah mengingkarinya selama masih ada kemungkinan untuk berijtihad.
Wallahu a’lam.
(hdn)
Maraji’: Yusuf Qaradhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer.
—
Catatan kaki:
1 Lihat al-Ikhtiar li Mukhtar fi Fiqhil Hanafyah, 4: 155.
2 Ibid., 4: 156-157
3 Perbuatan yang mereka ada-adakan antara tangan dengan kaki mereka itu maksudnya ialah mengadakan pengakuan-pengakuan palsu mengenai hubungan antara laki-laki dengan wanita seperti tuduhan berzina, tuduhan bahwa anak si Fulan bukan anak suaminya, dan sebagainya. (Al-Qur’an dan Terjemahannya, catatan kaki nomor 1473; penj.)
4 HR Bukhari dalam shahihnya, dalam “Kitab Tafsir Surat al-Mumtahanah,” Bab “Idzaa Jaa’aka al-Mu’minaatu Muhaajiraat.”
5 Al-Mundziri berkata dalam at-Targhib: “Perawi-perawi Thabrani adalah orang-orang tepercaya, perawi-perawi yang shahih.”
6 Beliau (al-Hakim) mengisyaratkan kepada riwayat asy-Syaikhani dan lainnya dan hadits Ibnu Maswud, dan dalam sebagian riwayat-riwayatnya: Bahwa seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW Lalu dia mengatakan bahwa dia telah berbuat sesuatu terhadap wanita, mungkin menciumnya, menyentuh dengan tangannya, atau perbuatan lainnya, seakan-akan ia menanyakan kafaratnya. Lalu Allah menurunkan ayat (yang artinya), “Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan dari malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan dosa perbuatan-perbuatan yang buruk…” (Hud: 114) (HR Muslim dengan lafal ini dalam “Kitab at-Taubah,” nomor 40)
7 Lihat, al-Mustadrak, 1: 135.
8 Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah, terbitan ar-Riyadh, jilid 21, hlm. 223-224.
9 Ibid.
10 Fathul Bari, juz 13.
11 Fathul Bari 13: 230-231. Dengan beberapa perubahan susunan redaksional
Keyword: hukum, jabat, laki-laki, perempuan, tangan
Inspirasi Pembelajar Sejati Oleh: Sardini Ramadhan
Sesungguhnya samudera ilmu di dunia ini teramat luas untuk diselami. Hujan-hujan ilmu pengetahuan juga senantiasa mengucur deras dari langit hikmah. Embun-embun petunjuk dapat senantiasa dinikmati setiap harinya untuk menghilangkan kegersangan pikiran kita. Cahaya-cahaya ilmu tersedia tanpa batas buat menerangi kegelapangan pemahaman kita.
Setiap manusia punya kesempatan yang sama untuk menjadi pembelajar sejati. Pembelajar yang dapat mengobati kerinduannya akan ilmu pengetahuan. Pembelajar yang menyenangi proses dan upaya meningkatkan kualitas diri. Memperbanyak mencari tahu tentang apa saja yang belum diketahuinya. Memiliki semangat pantang menyerah sebelum ilmu yang diingini dikuasai. Bersabar jalani proses-prosesnya. Rendah hati dalam menjalaninya. Meskipun yang menyampaikan ilmu kepada nya seorang anak yang muda usia. Pembelajar sejati, belajar dari siapa saja.
Belajar Hingga Nafas Terhenti
Ada sebuah kisah menarik dari seorang yang bernama Abu Ar Raihan, seorang ahli falak, sejarawan sekaligus sastrawan. Abu Ar Raihan sakit keras di tengah usianya mencapai 78 tahun. Kala itu nafasnya terdengar mengorok di tenggorokan dan beliau terlihat susah bernafas. Dalam keadaan demikian, beliau mengatakan kepada Al Walwaji, seorang faqih di masanya sekaligus sahabatnya. ”Apa yang pernah engkau katakan kepadaku pada suatu hari, mengenai pembagian jaddat fasidah (nenek dari jalur ibu)?”
“Apakah dalam kondisi seperti ini pantas (membahas masalah itu)? Jawab Al Walwaji menaruh belas kasihan. ”Wahai Al Walwaji saya meninggalkan dunia dalam keadaan mengetahui masalah ini, lebih baik daripada saya meninggalkannya dalam keadaan jahil terhadapnya.”
Akhirnya Al Walwaji mengulang apa yang pernah beliau sampaikan sebelumnya kepada Abu Raihan. Dan beliau menghafalnya. Tidak lama kemudian Al Walwaji keluar, dan saat dijalan beliau mendengar teriakan yang mengabarkan kepergian sahabatnya itu. Abu Raihan telah wafat dalam keadaan menghafalkan ilmu. Sebuah episode akhir kehidupan yang mengagumkan.
Kisah di atas mengajarkan kita tentang aktivitas pembelajar sejati yang sangat mengagumkan, bahkan ketika detik-detik menjemput kematian pun masih dimanfaatkan untuk mencari ilmu dan menguasainya. Tarbiyah Madal Hayah. Belajar hingga menutup mata. Rasulullah SAW bersabda: “Tuntutlah ilmu sejak dari buaian sampai liang lahat” Hadits tersebut menjadi dasar dari ungkapan “Long life education” atau pendidikan seumur hidup. Kehidupan di dunia ini tidak akan pernah sepi dari kegiatan belajar, sejak mulai lahir sampai hidup ini berakhir. Seandainya besok kita tahu akan datang kiamat pun, kita mesti belajar dan menanami pohon-pohon kebaikan sebanyak-banyaknya. Artinya kita harus mengambil manfaat dan menyebarkan manfaat dari siapa pun dan kepada siapa pun. Seperti Abu Raihan, jauh lebih indah meninggalkan dunia ini dalam keadaan mengetahui jawaban dari sesuatu daripada membawa rasa penasaran yang tak terjawab ke liang lahat.
Pembelajar sejati amat sangat pelit dengan waktunya
Pembelajar sejati adalah mereka yang senantiasa melewati perputaran usianya untuk menambah ilmu dan mengamalkannya dalam kehidupan. Mereka tak pernah menyerah sebelum ilmu yang diinginkannya berhasil dikuasai. Pembelajar sejati amat sangat pelit dengan waktunya. Namanya Muhammad bin Sahnun (256 H). Dia adalah orang yang senantiasa menyibukkan waktunya untuk membaca, menelaah ilmu dan menulis. Aktivitas itu dia lakukan hingga larut malam. Mengetahui majikannya sibuk, pembantunya yang biasa dipanggil ummu Mudam menyediakan makanan, lalu mempersilakan Sahnun untuk makan. Akan tetapi Sahnun hanya menjawab, saya sedang sibuk”. Dia tetap asyik dengan tulisan dan sedikit pun tidak menyentuh makanan yang disediakan. Hal itu mendorong Ummu Mudam berinisiatif menyiapkan makanan itu ke mulut sang majikan. Suapan demi suapan ia berikan hingga makanan itu tandas. Saat Adzan subuh berkumandang, kepada pembantunya Sahnun mengatakan, saya telah menyibukkanmu tadi malam, Wahai Ummu Mudam. Sekarang mana makanan itu?”. Pembantu itu menjawab,” Demi Allah wahai Tuan, saya telah menyuapkannya kepada Anda.”Sahnun heran, “saya tidak merasa.”
Kisah di atas menggambarkan kepada kita, bahwa pembelajar sejati sangat pelit dengan waktunya, bahkan untuk makan sekalipun. Keasyikannya menelaah ilmu membuatnya seakan-akan melupakan aktivitas yang lain. Waktu baginya moment-moment yang sangat berharga dalam mengarungi samudera ilmu. Waktu adalah harta teramat mahal baginya untuk senantiasa dibelanjakan pada warung-warung ilmu di manapun dia menjumpainya. Waktu baginya adalah pedang yang setiap saat siap memenggal umurnya. Oleh karena itu ia akan senantiasa memanfaatnya untuk aktivitas mencari ilmu, menelaah, mengajarkan dan mewariskannya.
Hidup yang sesekali di dunia ini harus di sisi dengan aktivitas positif dan produktif. Ia harus di sisi dengan belajar. Jangan pernah sia-siakan waktu tanpa belajar. Belajarlah dari kisah Sulaim bin Ayyub ar Ra-zi. Ia adalah pembelajar sejati yang sangat menghargai waktu. Ia tidak mau membiarkan waktu yang dimiliki berlalu barang sebentar tanpa ada gunanya sama sekali. Ia biasa gunakan untuk menulis, belajar, membaca, dan seterusnya.
Suatu saat Sulaim bin Ayyub datang ke rumah muridnya, Syeikh Abu Faraj Al-Isfirayini. Ketika hendak pamit karena telah selesai keperluannya, Sulaim bin Ayyub berkata,” Dalam perjalananku ke sini tadi aku berhasil membaca satu juz.” Suatu hari yang lain Sulaim terlihat memperbaiki penanya yang patah ketika sedang dipakai untuk menulis, sementara sepasang bibirnya bergerak-gerak. Rupanya sambil memperbaiki penanya yang patah, Sulaim juga melakukan aktivitas membaca.
Ada juga kisah hebat pembelajar sejati bernama Ibnu Aqil Al Hanbali. Saya meringkas semaksimal mungkin waktu makan. Hingga saya memilih roti kering yang dicelup air dibanding khubz (roti lembab), karena perbedaan waktu yang dibutuhkan untuk mengunyahnya.”
Jika waktu mengunyah saja amat diperhitungkan oleh Ibnu Aqil, tentu untuk perbuatan lain yang memakan waktu lebih lama akan dia perhatikan. Sekarang mari tanyakan kepada diri kita. Sudahkah kita memaksimalkan perputaran roda hari dalam kehidupan ini untuk belajar? Sudahkah waktu luang yang kita miliki digunakan untuk meningkatkan pengetahuan kita. Atau waktu luang itu kita gunakan untuk hal-hal yang sia-sia. Ngerumpi tanpa juntrungan, menonton tanpa kenal waktu, atau bahkan diisi dengan melamunkan sesuatu yang tak jelas.
Pembelajar sejati tak rela hujan ilmu pengetahuan yang mengucur dari langit hikmah tak ditadahnya ke dalam relung-relung pikirannya. Setiap harinya dia akan menyelam di samudera ilmu dan berenang di kolam pengetahuan. Dia akan sibak kegelapan pikirannya dengan menggenggam cahaya ilmu yang disediakan mentari.
Menggandakan kesabaran
Seringkali selama proses belajar kita mendapatkan banyak tantangan dan godaan untuk menghentikan aktivitas belajar. Kita pun juga sering dihantui oleh perasaan putus asa akan kemampuan kita untuk menguasai ilmu yang sedang dipelajari. Ketahuilah pembelajar sejati senantiasa menggandakan kesabarannya. Melewati deraian-deraian air mata ujian dengan rasa optimis yang senantiasa membumbung tinggi. Tak akan menyerah sebelum apa yang diinginkan tergapai.
Imam Syafi’i pernah mengungkapkan ”Tidak mungkin menuntut ilmu bagi orang yang pembosan dan sering berubah pikiran, serta merasa puas dengan apa yang ada pada dirinya. Akan tetapi menuntut ilmu itu harus dengan menahan diri, kesempitan hidup, dan berkhidmat untuk ilmu tersebut. Pasti ia akan beruntung.”
Kenal dengan Prof. Dr. Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie? Pastinya kita kena semua mengenalnya. Maestro dunia penerbangan dan teknologi dari Indonesia ini lahir di Pare-Pare, Sulawesi Selatan pada 25 Juni 1939. Ia dikenal sabar dan tekun dalam menuntut ilmu. Setelah sempat kuliah di ITB Bandung (1954-1955). Beliau memperoleh beasiswa ke Jerman. Atas saran Prof M. Yamin dan ucapan Bung Karno tentang pentingnya penguasaan teknologi penerbangan, akhirnya ia memutuskan mengambil jurusan pesawat terbang.
Di Jerman, Habibie nyaris tak punya waktu santai. Ia terus belajar dan bekerja dengan tekun. Kuliah yang berat harus ditambah dengan kondisi ekonomi yang pas-pasan. Maklum ongkos sehari-hari dan uang kuliah dibayar orang tuanya sendiri. Kadang seharian ia hanya makan beberapa keeping roti. Di Jerman, mantan presiden RI ke-3 ini, hidup dengan kondisi yang sangat sederhana.
Kondisi itu memompa semangatnya untuk segera menyelesaikan kuliahnya. Pada masa liburan dia tetap belajar. Hasilnya dalam waktu empat tahun dia berhasil menggondol gelar insinyur Dipl. Ing (Diploma Ingineur) dengan nilai akademik rata-rata 9,5 (summa cumlaude) pada usia 24 tahun. Prestasi itu dia peroleh dengan tetap aktif di berbagai organisasi kemahasiswaan.
Belajar dari Habibi, Prestasi lahir dari kemampuan untuk bertahan. Menggandakan kesabaran di tengah kesulitan-kesulitan yang datang. Seorang pembelajar sejati akan merasakan bunga-bunga kesuksesan setelah dia mampu bertahan menyirami bunga-bunga itu dengan kegigihan-kegigihan tak berkesudahan.
Pembelajar Sejati Tinggalkan kampung halaman
Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman. Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang. Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan. Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang. Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan. Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, kan keruh menggenang. Singa jika tak tinggalkan sarang tak akan dapat mangsa. Anak panah jika tidak tinggalkan busur tak akan kena sasaran. Jika matahari di orbitnya tidak bergerak dan terus diam, tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang. Bijih besi bagaikan tanah biasa sebelum digali dari tambang. Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa jika di dalam hutan
(Imam Syafi’i)
Tak ada pembelajar sejati yang mengurung diri di kampung halamannya. Pembelajar sejati adalah pengembara yang selalu ingin mengobati dahaganya akan ilmu pengetahuan. Imam Bukhari, Shahih Bukharinya diselesaikan selama enam belas tahun setelah berkeliling dunia mencari hadits dari satu kota ke kota lainnya. Einstein juga meraih puncak kejayaannya setelah meninggalkan Jerman menuju Amerika Serikat. Habibi meraih prestasi mengagumkan karena meninggalkan tanah kelahirannya. Andrea Hirata menjelajahi dunia karena kesungguhannya dalam belajar dan kemauan yang keras mengubah nasib. Menyeberangi ganasnya terjangan ombak, meninggalkan kampung halaman menuju tempat yang tak ada sanak saudara. Mengatasi kesulitan-kesulitan hidup. Akhirnya namanya harum menjadi penulis buku mega best seller Indonesia. Ibnu Batutah penjelajah dunia, namanya harum karena meninggalkan kampong halaman. Belajar dari universitas kehidupan yang ditemuinya di manapun dia menjejakkan kakinya. Masih banyak contoh para pembelajar sejati lainnya yang tak kan cukup berlembar-lembar tulisan menjelaskannya. Satu yang pasti, mereka semuanya adalah para pengembara, para musafir, para penjelajah, para hunter yang meninggalkan kampong halaman, menggapi cita-cita dan menggenapi keinginannya menguasai ilmu pengetahuan.
Pembelajar sejati,
tak pernah mau mati sebelum rasa penasarannya terobati
tak pernah mau menyerah akan kesulitan-kesulitan yang menggerogoti
tak pernah mau bermimpi yang tidak akan direalisasi
Setiap manusia punya kesempatan yang sama untuk menjadi pembelajar sejati. Pembelajar yang dapat mengobati kerinduannya akan ilmu pengetahuan. Pembelajar yang menyenangi proses dan upaya meningkatkan kualitas diri. Memperbanyak mencari tahu tentang apa saja yang belum diketahuinya. Memiliki semangat pantang menyerah sebelum ilmu yang diingini dikuasai. Bersabar jalani proses-prosesnya. Rendah hati dalam menjalaninya. Meskipun yang menyampaikan ilmu kepada nya seorang anak yang muda usia. Pembelajar sejati, belajar dari siapa saja.
Belajar Hingga Nafas Terhenti
Ada sebuah kisah menarik dari seorang yang bernama Abu Ar Raihan, seorang ahli falak, sejarawan sekaligus sastrawan. Abu Ar Raihan sakit keras di tengah usianya mencapai 78 tahun. Kala itu nafasnya terdengar mengorok di tenggorokan dan beliau terlihat susah bernafas. Dalam keadaan demikian, beliau mengatakan kepada Al Walwaji, seorang faqih di masanya sekaligus sahabatnya. ”Apa yang pernah engkau katakan kepadaku pada suatu hari, mengenai pembagian jaddat fasidah (nenek dari jalur ibu)?”
“Apakah dalam kondisi seperti ini pantas (membahas masalah itu)? Jawab Al Walwaji menaruh belas kasihan. ”Wahai Al Walwaji saya meninggalkan dunia dalam keadaan mengetahui masalah ini, lebih baik daripada saya meninggalkannya dalam keadaan jahil terhadapnya.”
Akhirnya Al Walwaji mengulang apa yang pernah beliau sampaikan sebelumnya kepada Abu Raihan. Dan beliau menghafalnya. Tidak lama kemudian Al Walwaji keluar, dan saat dijalan beliau mendengar teriakan yang mengabarkan kepergian sahabatnya itu. Abu Raihan telah wafat dalam keadaan menghafalkan ilmu. Sebuah episode akhir kehidupan yang mengagumkan.
Kisah di atas mengajarkan kita tentang aktivitas pembelajar sejati yang sangat mengagumkan, bahkan ketika detik-detik menjemput kematian pun masih dimanfaatkan untuk mencari ilmu dan menguasainya. Tarbiyah Madal Hayah. Belajar hingga menutup mata. Rasulullah SAW bersabda: “Tuntutlah ilmu sejak dari buaian sampai liang lahat” Hadits tersebut menjadi dasar dari ungkapan “Long life education” atau pendidikan seumur hidup. Kehidupan di dunia ini tidak akan pernah sepi dari kegiatan belajar, sejak mulai lahir sampai hidup ini berakhir. Seandainya besok kita tahu akan datang kiamat pun, kita mesti belajar dan menanami pohon-pohon kebaikan sebanyak-banyaknya. Artinya kita harus mengambil manfaat dan menyebarkan manfaat dari siapa pun dan kepada siapa pun. Seperti Abu Raihan, jauh lebih indah meninggalkan dunia ini dalam keadaan mengetahui jawaban dari sesuatu daripada membawa rasa penasaran yang tak terjawab ke liang lahat.
Pembelajar sejati amat sangat pelit dengan waktunya
Pembelajar sejati adalah mereka yang senantiasa melewati perputaran usianya untuk menambah ilmu dan mengamalkannya dalam kehidupan. Mereka tak pernah menyerah sebelum ilmu yang diinginkannya berhasil dikuasai. Pembelajar sejati amat sangat pelit dengan waktunya. Namanya Muhammad bin Sahnun (256 H). Dia adalah orang yang senantiasa menyibukkan waktunya untuk membaca, menelaah ilmu dan menulis. Aktivitas itu dia lakukan hingga larut malam. Mengetahui majikannya sibuk, pembantunya yang biasa dipanggil ummu Mudam menyediakan makanan, lalu mempersilakan Sahnun untuk makan. Akan tetapi Sahnun hanya menjawab, saya sedang sibuk”. Dia tetap asyik dengan tulisan dan sedikit pun tidak menyentuh makanan yang disediakan. Hal itu mendorong Ummu Mudam berinisiatif menyiapkan makanan itu ke mulut sang majikan. Suapan demi suapan ia berikan hingga makanan itu tandas. Saat Adzan subuh berkumandang, kepada pembantunya Sahnun mengatakan, saya telah menyibukkanmu tadi malam, Wahai Ummu Mudam. Sekarang mana makanan itu?”. Pembantu itu menjawab,” Demi Allah wahai Tuan, saya telah menyuapkannya kepada Anda.”Sahnun heran, “saya tidak merasa.”
Kisah di atas menggambarkan kepada kita, bahwa pembelajar sejati sangat pelit dengan waktunya, bahkan untuk makan sekalipun. Keasyikannya menelaah ilmu membuatnya seakan-akan melupakan aktivitas yang lain. Waktu baginya moment-moment yang sangat berharga dalam mengarungi samudera ilmu. Waktu adalah harta teramat mahal baginya untuk senantiasa dibelanjakan pada warung-warung ilmu di manapun dia menjumpainya. Waktu baginya adalah pedang yang setiap saat siap memenggal umurnya. Oleh karena itu ia akan senantiasa memanfaatnya untuk aktivitas mencari ilmu, menelaah, mengajarkan dan mewariskannya.
Hidup yang sesekali di dunia ini harus di sisi dengan aktivitas positif dan produktif. Ia harus di sisi dengan belajar. Jangan pernah sia-siakan waktu tanpa belajar. Belajarlah dari kisah Sulaim bin Ayyub ar Ra-zi. Ia adalah pembelajar sejati yang sangat menghargai waktu. Ia tidak mau membiarkan waktu yang dimiliki berlalu barang sebentar tanpa ada gunanya sama sekali. Ia biasa gunakan untuk menulis, belajar, membaca, dan seterusnya.
Suatu saat Sulaim bin Ayyub datang ke rumah muridnya, Syeikh Abu Faraj Al-Isfirayini. Ketika hendak pamit karena telah selesai keperluannya, Sulaim bin Ayyub berkata,” Dalam perjalananku ke sini tadi aku berhasil membaca satu juz.” Suatu hari yang lain Sulaim terlihat memperbaiki penanya yang patah ketika sedang dipakai untuk menulis, sementara sepasang bibirnya bergerak-gerak. Rupanya sambil memperbaiki penanya yang patah, Sulaim juga melakukan aktivitas membaca.
Ada juga kisah hebat pembelajar sejati bernama Ibnu Aqil Al Hanbali. Saya meringkas semaksimal mungkin waktu makan. Hingga saya memilih roti kering yang dicelup air dibanding khubz (roti lembab), karena perbedaan waktu yang dibutuhkan untuk mengunyahnya.”
Jika waktu mengunyah saja amat diperhitungkan oleh Ibnu Aqil, tentu untuk perbuatan lain yang memakan waktu lebih lama akan dia perhatikan. Sekarang mari tanyakan kepada diri kita. Sudahkah kita memaksimalkan perputaran roda hari dalam kehidupan ini untuk belajar? Sudahkah waktu luang yang kita miliki digunakan untuk meningkatkan pengetahuan kita. Atau waktu luang itu kita gunakan untuk hal-hal yang sia-sia. Ngerumpi tanpa juntrungan, menonton tanpa kenal waktu, atau bahkan diisi dengan melamunkan sesuatu yang tak jelas.
Pembelajar sejati tak rela hujan ilmu pengetahuan yang mengucur dari langit hikmah tak ditadahnya ke dalam relung-relung pikirannya. Setiap harinya dia akan menyelam di samudera ilmu dan berenang di kolam pengetahuan. Dia akan sibak kegelapan pikirannya dengan menggenggam cahaya ilmu yang disediakan mentari.
Menggandakan kesabaran
Seringkali selama proses belajar kita mendapatkan banyak tantangan dan godaan untuk menghentikan aktivitas belajar. Kita pun juga sering dihantui oleh perasaan putus asa akan kemampuan kita untuk menguasai ilmu yang sedang dipelajari. Ketahuilah pembelajar sejati senantiasa menggandakan kesabarannya. Melewati deraian-deraian air mata ujian dengan rasa optimis yang senantiasa membumbung tinggi. Tak akan menyerah sebelum apa yang diinginkan tergapai.
Imam Syafi’i pernah mengungkapkan ”Tidak mungkin menuntut ilmu bagi orang yang pembosan dan sering berubah pikiran, serta merasa puas dengan apa yang ada pada dirinya. Akan tetapi menuntut ilmu itu harus dengan menahan diri, kesempitan hidup, dan berkhidmat untuk ilmu tersebut. Pasti ia akan beruntung.”
Kenal dengan Prof. Dr. Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie? Pastinya kita kena semua mengenalnya. Maestro dunia penerbangan dan teknologi dari Indonesia ini lahir di Pare-Pare, Sulawesi Selatan pada 25 Juni 1939. Ia dikenal sabar dan tekun dalam menuntut ilmu. Setelah sempat kuliah di ITB Bandung (1954-1955). Beliau memperoleh beasiswa ke Jerman. Atas saran Prof M. Yamin dan ucapan Bung Karno tentang pentingnya penguasaan teknologi penerbangan, akhirnya ia memutuskan mengambil jurusan pesawat terbang.
Di Jerman, Habibie nyaris tak punya waktu santai. Ia terus belajar dan bekerja dengan tekun. Kuliah yang berat harus ditambah dengan kondisi ekonomi yang pas-pasan. Maklum ongkos sehari-hari dan uang kuliah dibayar orang tuanya sendiri. Kadang seharian ia hanya makan beberapa keeping roti. Di Jerman, mantan presiden RI ke-3 ini, hidup dengan kondisi yang sangat sederhana.
Kondisi itu memompa semangatnya untuk segera menyelesaikan kuliahnya. Pada masa liburan dia tetap belajar. Hasilnya dalam waktu empat tahun dia berhasil menggondol gelar insinyur Dipl. Ing (Diploma Ingineur) dengan nilai akademik rata-rata 9,5 (summa cumlaude) pada usia 24 tahun. Prestasi itu dia peroleh dengan tetap aktif di berbagai organisasi kemahasiswaan.
Belajar dari Habibi, Prestasi lahir dari kemampuan untuk bertahan. Menggandakan kesabaran di tengah kesulitan-kesulitan yang datang. Seorang pembelajar sejati akan merasakan bunga-bunga kesuksesan setelah dia mampu bertahan menyirami bunga-bunga itu dengan kegigihan-kegigihan tak berkesudahan.
Pembelajar Sejati Tinggalkan kampung halaman
Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman. Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang. Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan. Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang. Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan. Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, kan keruh menggenang. Singa jika tak tinggalkan sarang tak akan dapat mangsa. Anak panah jika tidak tinggalkan busur tak akan kena sasaran. Jika matahari di orbitnya tidak bergerak dan terus diam, tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang. Bijih besi bagaikan tanah biasa sebelum digali dari tambang. Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa jika di dalam hutan
(Imam Syafi’i)
Tak ada pembelajar sejati yang mengurung diri di kampung halamannya. Pembelajar sejati adalah pengembara yang selalu ingin mengobati dahaganya akan ilmu pengetahuan. Imam Bukhari, Shahih Bukharinya diselesaikan selama enam belas tahun setelah berkeliling dunia mencari hadits dari satu kota ke kota lainnya. Einstein juga meraih puncak kejayaannya setelah meninggalkan Jerman menuju Amerika Serikat. Habibi meraih prestasi mengagumkan karena meninggalkan tanah kelahirannya. Andrea Hirata menjelajahi dunia karena kesungguhannya dalam belajar dan kemauan yang keras mengubah nasib. Menyeberangi ganasnya terjangan ombak, meninggalkan kampung halaman menuju tempat yang tak ada sanak saudara. Mengatasi kesulitan-kesulitan hidup. Akhirnya namanya harum menjadi penulis buku mega best seller Indonesia. Ibnu Batutah penjelajah dunia, namanya harum karena meninggalkan kampong halaman. Belajar dari universitas kehidupan yang ditemuinya di manapun dia menjejakkan kakinya. Masih banyak contoh para pembelajar sejati lainnya yang tak kan cukup berlembar-lembar tulisan menjelaskannya. Satu yang pasti, mereka semuanya adalah para pengembara, para musafir, para penjelajah, para hunter yang meninggalkan kampong halaman, menggapi cita-cita dan menggenapi keinginannya menguasai ilmu pengetahuan.
Pembelajar sejati,
tak pernah mau mati sebelum rasa penasarannya terobati
tak pernah mau menyerah akan kesulitan-kesulitan yang menggerogoti
tak pernah mau bermimpi yang tidak akan direalisasi
Dalam Gerbang Tarbiyah Aku Mengenal-Mu Cerpen Oleh: Ilham
“Assalamu’alaikum akh, akh Rahmat mau bikin liqoan, ditunggu ya nanti malam pukul 19.30 WIB di mushalla MIPA, ditunggu kedatangannya ya akh, syukron jzk”.
… Sepenggal kalimat sms sore itu membuatku bertanya-tanya dalam hati, antara ingin atau tidaknya kubalas undangan yang menurutku saat itu tidak jelas, namun hati ini penasaran mengiyakan untuk menghadiri undangan tersebut. Gundah gulana memunculkan tanda tanya besar dalam otakku, karena aku tidak mengerti maksud dari sms ini, aku yang berasal dari gemerlapnya kota metropolitan masih sangat asing dengan istilah kata-kata baru seperti ini. Kulihat kontak dalam handphoneku… ya tanpa banyak pikir ku tanyakan langsung padanya, sahabat pertamaku di kota perantauan ini, Najid namanya, dan kebetulan hanya dia satu-satunya teman yang baru ku punya nomor hapenya,
“Assalamu’alaikum, jid kamu dapat sms dari kak Rahmat gak? Yang ngajak bikin liqoan nanti malam, aku gak ngerti liqoan itu apa, bisa tolong kasih tau? “Jemari ku mengetik seperti itu… tak lama kemudian ia membalas sms ku tersebut, sigapku melihat layar hape,
“Tidak ham, oh liqoan itu semacam grup mengaji gitu, aku juga lusa lalu dapat undangan seperti itu, tapi akunya gak datang, kamu mau datang nanti malam?” Balasnya seperti itu, membuatku tau apa itu liqoan, namun menimbulkan keraguan dalam hati ku, perkumpulan semacam apa ini?? Menimbulkan banyak prasangka bertentangan dalam hatiku, seakan mereka bertengkar untuk menyuruh dan melarang ku untuk datang dan tidak datang pada malam nanti, kutanyakan kembali pada Najid,
“Datang yuk temenin aku, kamu gak ada acara kan nanti malam? Lumayan ngaji nambah pahala, hhe” Balasku meyakinkannya yang sebenarnya aku masih dalam keraguan besar, namun lubuk hati ini penasaran akan hal baru ini. “Dutt…dutt…” getar handphone, tanda balasan dari Najid,
“Boleh, tapi aku gak enak sama kak Rahmat, soalnya kemaren juga diundang tapi akunya gak datang,”. Balasnya seperti itu, seakan timbul sesuatu semangat dalam diriku, untuk meyakinkannya untuk tetap datang pada malam nanti, “yaudah gapapa, bilang aja kemaren ada halangan sesuatu, oke aku tunggu di depan D3 sasing yaa sehabis Maghrib”, kukatakan itu padanya, dan dia pun membalas “ok”.
***
Dan rencana Allah itu memang jauh lebih indah daripada rencana hambaNya, teringat siang itu sedikit agak mendung, setelah mata kuliah kimia dasar aku keluar kelas dan melihat dari balkon atas, berdiri stand-stand yang membawa lambang kubah biru di salah satu sudutnya, membuat kaki-kaki ini geregetan untuk melangkah mendekat menghampiri penjaga-penjaganya yang terlihat alim dan alimah, celana ngatung untuk mas-masnya dan jilbab lebar untuk mba-mbanya, entah mengapa melihat mereka membuatku ingin kenal dekat dan menjadi bagian dari mereka, ku hampiri salah satu stand pendaftaran yang dijaga seorang perempuan shalihah insya Allah, namun apa katanya belum sempatku berkalimat sedikitpun “mas pendaftaran untuk yang ikhwan standnya sebelah situ” sambil tersenyum tipis berkata padaku, “oiya mba makasih…” jawabku, ku hampiri lah stand ikhwan yang kata mba-mba tadi namun tidak ada yang menjaga, lemas benakku sebaiknya pulang namun belum sempatku melangkah jauh seorang mas-mas mengajak berjabat tangan denganku, “ nama Antum siapa?” dengan nada lembut bertanya padaku, sopanku menjawab “Hamas..mas”…”oh perkenalkan saya Rahmat..” percakapan pun berlangsung, menanyakan asal, alasan ku kenapa masuk fakultas ini dan sebagainya, di mana dalam obrolan sederhana tadi membuat aku yakin aku ingin mempunyai saudara-saudara seperti dalam kelompok kubah biru ini, sampai akhirnya ku memberanikan diri menawarkan diri untuk ikut dalam kelompok kubah biru ini, ku isi formulir yang ia sodorkan padaku dan ku isi sambil bertanya kegiatan-kegiatan apa saja di dalamnya. Entah mengapa lagi kesan pertamaku kenal dengan kak Rahmat membuat perasaan ku tenang dan sejuk, membuatku ingin mengenalnya lebih jauh.
Kejadian siang itu terus membayangi di sepanjang perjalanan ku ke tempat janjian ku dengan si Najid, menimbulkan banyak pertanyaan dalam benakku cerita apa lagi selanjutnya yang akan terjadi malam ini setelah kisah siang itu, asa ku mengambang “triiiiiiinnn….” klakson memecah buyarku, meneriakiku untuk segera sadar, hampir saja mobil merah itu melukai tubuhku. Tibalah aku di tempat kami janjian, kulihat sekitar belum tampak paras Najid, “Hamaaas…” dari kejauhan meneriakiku, terekam jelas itu suara Najid dari seberang jalan, kuhampiri ia dengan tergesa karena hati sudah tak sabar mendatangi undangan dari kak Rahmat untukku. “Maaf ya telat…” sahut Najid ketika ku di depannya, “ya gapapa jid, aku juga baru datang, apa kata kak Rahmat? Kamu boleh datang kan?” tanya ku meyakinkannya agar ku ada teman untuk pergi ke sana, “ya boleh, gitu katanya” Najid menjawab pertanyaanku. “Yuk berangkat…” ajakku kepadanya.
“Kamu tau di mana mushalla MIPA?” tanyaku yang tidak tahu,
“Aku juga gak tahu, yaudah nanti kita tanya orang sekitar saja” jawab Najid,
Di sepanjang perjalanan kembali hatiku bertanya-tanya sambil membayangkan undangan seperti apa yang kak Rahmat adakan ini, sedikit rasa khawatir dan ragu sempat terbesit dalam benakku, takut ku ini ada kaitannya dengan jaringan teroris atau hal negatif lainnya, namun paras kak Rahmat siang itu menepis semua anggapan bodohku, seperti ada sesuatu yang meyakinkan ku bahwa semua yang kupikirkan sebelumnya itu sama sekali tidak benar, apakah ini yang engkau namakan hidayah ya Allah?, tanyaku dalam hati, ya Allah beginikah namanya hidayah itu?, subhanallah hati ku merasa begitu tenteram seakan semua beban terlepas karena kehadiranMu begitu dekat sedekat nadi ini, ya Allah terima kasih engkau telah mengizinkan aku merasakan hidayah ini, ucap syukur ku di sepanjang perjalanan tanpa henti.
Tibalah kami di fakultas MIPA, “jid mushalla nya sebelah mana? Sms kak Rahmat gih kita sudah sampai tolong di jemput” suruhku kepada Najid, “iya…” Najid mengiyakan permintaanku.
“Antum posisinya di mana akh?” balasan sms kak Rahmat
“Di depan pintu masuk MIPA akh” Najid membalas,
“Yaudah Antum jalan kearah parkiran ntar ane jemput di sana” balas kak Rahmat lagi,
Kami pun jalan kearah parkiran yang berada di sebelah timur pintu masuk, perlahan langkah membuat hatiku berdebar, dari kejauhan gelap yang terlihat karena pencahayaan yang kurang, terlihat sekelibat pantulan cahaya dari kacamata yang digunakan kak Rahmat, sambil menerangi sekitar dengan cahaya dari sinar layar hape, secara perlahan terlihatlah paras shalih dari kak Rahmat, “subhanallah” ucapku dalam hati karena telah dipertemukan dengan orang shalih seperti dia,
“Assalamu’alaikum khi, gimana kabarnya? Susah ya lokasinya” sambil berjabat tangan menanyakannya kepadaku dan Najid.
“Alhamdulillah sehat kak,” dengan sopan ku menjawab yang disamakan dengan jawaban dari Najid.
“Yuk langsung kalo gitu”, ajaknya ke lokasi Liqoan.
Ruangan mushalla sederhana disinari lampu dengan cahaya yang agak sedikit redup, bunyi jangkrik memecah kesunyian malam, hembus angin pun semilir menyejukkan di kala aku duduk melingkar bersama orang-orang yang belum pernah kulihat sebelumnya kecuali Najid. Ku lihat satu persatu wajah saudara baruku ini, basah karena siraman air wudhu, sontak seperti menegurku betapa jarangnya aku membasuh wajahku dengan wudhu, dan satu persatu memegang kitab suci Al-Qur’an, perasaan ku semakin gundah, seperti dalam pikiran ku “pasti ini bakalan disuruh tilawah satu-satu, mati aku karena tidak lancar membaca al-Qur’an” apa yang kupikirkan ternyata sesuai,
“Ya akh dibuka al-Qur’an nya, kita mulai dari surat pertama ya akh,” seru kak Rahmat menyuruh kami.
Gundah ku semakin menjadi karena tak sanggup menanggung malu karena aku tak lancar bertilawah. Satu persatu ayat-ayat suciNya dilantunkan betapa indah lantunan yang keluar dari mulut-mulut mereka, sahut bersahut tilawah yang kudengar semakin indah sampai tiba di orang ke 3 dari kami yang kala itu berjumlah 11 orang, maka tibalah di orang ke 4 sahut-sahut indah ayat itu pun buyar sejenak karena ternyata ia juga terbata-bata dalam bertilawah, maka perasaanku lega sejenak, namun apa yang ku pikirkan ini salah ya Allah betapa jauhnya hamba Mu ini dari cahaya Islam Mu, betapa sudah banyak waktu yang ku buang sia-sia hanya untuk memuaskan dunia dan menganaktirikan akhiratku, teringat tentang suratNya, “Demi masa sesungguhnya manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran”. Sungguh tak pantas diriku bangga akan kekurangan yang kumiliki ini, dan dilanjut dengan orang kelima yaitu Najid, betapa lantunan ayat itu dibacakannya dengan fasih dan cepat tanpa ada sedikit cacat dari ucapnya, tercengang aku mendengarnya sambil khawatir karena setelahnya adalah aku, maka giliranku tiba, sambil berdoa dalam hati aku memohon “ya Allah mudahkan aku dalam membaca firmanMu” dan ku ucapkan tasmiyah, satu persatu kata dan kalimat kubaca, terbata di awal namun seterusnya alhamdulillah Allah membantu ku dalam melafadzkan firmanNya.
“Maha benar Allah dengan segala firmanNya” maka berakhirlah sesi tilawah Qur’an ini. Mulai kurasakan kehangatan dalam lingkaran ini, betapa begitu nikmatnya duduk bersama orang-orang shalih, yang sebelumnya tak pernah kurasakan. Tiba di sesi kedua di mana kak Rahmat menanyakan kepada kami satu persatu tentang keadaan kami, sampai beliau menanyakan apa yang kami rindukan jika di rumah, karena kondisi kami yang saat itu sama-sama baru merasakan hidup jauh dari orang tua hidup di kota perantauan hanya demi satu gelar sarjana. “Akh Hamas gimana kabar Antum? Sehat akh? Tanya nya di giliranku, “iya kak alhamdulillah sehat” raguku untuk menyebut ‘akh’ karena panggilan tersebut masih asing ku dengar dan ku ucap, “pasti Antum sama kayak yang lain sedang homesick berat, apa sih yang Antum kangenin kalo di rumah?” lanjut pertanyaan yang sama seperti yang lain, “saya kangen masakan ibu akh” sahutku dan kali ini aku tak ragu memanggil akh kepadanya. Hati ku bergetar walau hanya dialog singkat yang sebenarnya sepele namun karena ku berada di lingkaran penuh hangat ini semua itu terasa beda bagiku. Tibalah di sesi ke tiga di mana kak Rahmat membuka buku tebalnya dan menyampaikan materi liqoan malam hari ini, muqodimah pun terucap dan kini beliau menerangkan isi materi yang kala itu bertema tentang ‘akhlaq’ jelasnya menerangkan di ikuti berbagai contoh yang dilakukan Rasulullah soal akhlaq, dan disertai firman-firman Allah dalam Al-Qur’an, di penutup beliau menerangkan betapa begitu pentingnya tarbiyah, tarbiyah tumbuh dan berkembang, tarbiyah bukan segalanya namun segalanya berawal dari tarbiyah.
Undangan spesial dari kak Rahmat malam ini membuatku mengerti betapa pentingnya pendidikan akhirat ini, karena kehidupan yang kekal dan sebenarnya adalah kehidupan akhirat, undangan malam ini mendekatkan ku kembali pada Mu, dan aku percaya Kau sedang menunjukkan jalan yang lurus bagiku sekali lagi ku ucap rasa syukur kepadaMu ya Rabb. Malam ini ku goreskan lagi pengalaman luar biasa dalam hidupku, kupandangi satu persatu wajah saudara-saudara baruku, kulihat semangat di setiap muka mereka, semangat yang kuyakin untuk selalu amar ma’ruf nahi munkar, semangat untuk selalu berfastabiqul khoirot, semangat untuk selalu menjaga lingkaran ini yang ku kenal dengan sebutan ‘ukhuwah islamiyah’ dalam hati sekali ku ucap rasa syukur tiada tara ya Allah sungguh beruntung aku berada dalam barisan penuh cahaya Mu ini. Lingkaran ini penuh kehangatan di dalamnya, lingkaran ini penuh berkah di dalamnya, lingkaran ini penuh canda dan tawa, lingkaran ini penuh ilmu baru, lingkaran ini kurasa menjawab semua pertanyaan dan pencarian ku selama ini yang belum kudapatkan, lingkaran ini membawa ku untuk lebih mengenal Mu.
“Jagalah Allah niscaya kau akan senantiasa mendapatiNya di hadapanmu. Kenalilah Allah di waktu lapang niscaya Dia akan mengenalimu saat kesulitan, ketahuilah bahwa apa yang luput darimu tidak akan menimpamu dan apa yang menimpamu tidak akan luput darimu, ketahuilah bahwa kemenangan itu selalu mengiringi kesabaran, jalan keluar selalu mengiringi cobaan dan kemudahan itu selalu mengiringi kesusahan” (HR. Tirmidzi)
… Sepenggal kalimat sms sore itu membuatku bertanya-tanya dalam hati, antara ingin atau tidaknya kubalas undangan yang menurutku saat itu tidak jelas, namun hati ini penasaran mengiyakan untuk menghadiri undangan tersebut. Gundah gulana memunculkan tanda tanya besar dalam otakku, karena aku tidak mengerti maksud dari sms ini, aku yang berasal dari gemerlapnya kota metropolitan masih sangat asing dengan istilah kata-kata baru seperti ini. Kulihat kontak dalam handphoneku… ya tanpa banyak pikir ku tanyakan langsung padanya, sahabat pertamaku di kota perantauan ini, Najid namanya, dan kebetulan hanya dia satu-satunya teman yang baru ku punya nomor hapenya,
“Assalamu’alaikum, jid kamu dapat sms dari kak Rahmat gak? Yang ngajak bikin liqoan nanti malam, aku gak ngerti liqoan itu apa, bisa tolong kasih tau? “Jemari ku mengetik seperti itu… tak lama kemudian ia membalas sms ku tersebut, sigapku melihat layar hape,
“Tidak ham, oh liqoan itu semacam grup mengaji gitu, aku juga lusa lalu dapat undangan seperti itu, tapi akunya gak datang, kamu mau datang nanti malam?” Balasnya seperti itu, membuatku tau apa itu liqoan, namun menimbulkan keraguan dalam hati ku, perkumpulan semacam apa ini?? Menimbulkan banyak prasangka bertentangan dalam hatiku, seakan mereka bertengkar untuk menyuruh dan melarang ku untuk datang dan tidak datang pada malam nanti, kutanyakan kembali pada Najid,
“Datang yuk temenin aku, kamu gak ada acara kan nanti malam? Lumayan ngaji nambah pahala, hhe” Balasku meyakinkannya yang sebenarnya aku masih dalam keraguan besar, namun lubuk hati ini penasaran akan hal baru ini. “Dutt…dutt…” getar handphone, tanda balasan dari Najid,
“Boleh, tapi aku gak enak sama kak Rahmat, soalnya kemaren juga diundang tapi akunya gak datang,”. Balasnya seperti itu, seakan timbul sesuatu semangat dalam diriku, untuk meyakinkannya untuk tetap datang pada malam nanti, “yaudah gapapa, bilang aja kemaren ada halangan sesuatu, oke aku tunggu di depan D3 sasing yaa sehabis Maghrib”, kukatakan itu padanya, dan dia pun membalas “ok”.
***
Dan rencana Allah itu memang jauh lebih indah daripada rencana hambaNya, teringat siang itu sedikit agak mendung, setelah mata kuliah kimia dasar aku keluar kelas dan melihat dari balkon atas, berdiri stand-stand yang membawa lambang kubah biru di salah satu sudutnya, membuat kaki-kaki ini geregetan untuk melangkah mendekat menghampiri penjaga-penjaganya yang terlihat alim dan alimah, celana ngatung untuk mas-masnya dan jilbab lebar untuk mba-mbanya, entah mengapa melihat mereka membuatku ingin kenal dekat dan menjadi bagian dari mereka, ku hampiri salah satu stand pendaftaran yang dijaga seorang perempuan shalihah insya Allah, namun apa katanya belum sempatku berkalimat sedikitpun “mas pendaftaran untuk yang ikhwan standnya sebelah situ” sambil tersenyum tipis berkata padaku, “oiya mba makasih…” jawabku, ku hampiri lah stand ikhwan yang kata mba-mba tadi namun tidak ada yang menjaga, lemas benakku sebaiknya pulang namun belum sempatku melangkah jauh seorang mas-mas mengajak berjabat tangan denganku, “ nama Antum siapa?” dengan nada lembut bertanya padaku, sopanku menjawab “Hamas..mas”…”oh perkenalkan saya Rahmat..” percakapan pun berlangsung, menanyakan asal, alasan ku kenapa masuk fakultas ini dan sebagainya, di mana dalam obrolan sederhana tadi membuat aku yakin aku ingin mempunyai saudara-saudara seperti dalam kelompok kubah biru ini, sampai akhirnya ku memberanikan diri menawarkan diri untuk ikut dalam kelompok kubah biru ini, ku isi formulir yang ia sodorkan padaku dan ku isi sambil bertanya kegiatan-kegiatan apa saja di dalamnya. Entah mengapa lagi kesan pertamaku kenal dengan kak Rahmat membuat perasaan ku tenang dan sejuk, membuatku ingin mengenalnya lebih jauh.
Kejadian siang itu terus membayangi di sepanjang perjalanan ku ke tempat janjian ku dengan si Najid, menimbulkan banyak pertanyaan dalam benakku cerita apa lagi selanjutnya yang akan terjadi malam ini setelah kisah siang itu, asa ku mengambang “triiiiiiinnn….” klakson memecah buyarku, meneriakiku untuk segera sadar, hampir saja mobil merah itu melukai tubuhku. Tibalah aku di tempat kami janjian, kulihat sekitar belum tampak paras Najid, “Hamaaas…” dari kejauhan meneriakiku, terekam jelas itu suara Najid dari seberang jalan, kuhampiri ia dengan tergesa karena hati sudah tak sabar mendatangi undangan dari kak Rahmat untukku. “Maaf ya telat…” sahut Najid ketika ku di depannya, “ya gapapa jid, aku juga baru datang, apa kata kak Rahmat? Kamu boleh datang kan?” tanya ku meyakinkannya agar ku ada teman untuk pergi ke sana, “ya boleh, gitu katanya” Najid menjawab pertanyaanku. “Yuk berangkat…” ajakku kepadanya.
“Kamu tau di mana mushalla MIPA?” tanyaku yang tidak tahu,
“Aku juga gak tahu, yaudah nanti kita tanya orang sekitar saja” jawab Najid,
Di sepanjang perjalanan kembali hatiku bertanya-tanya sambil membayangkan undangan seperti apa yang kak Rahmat adakan ini, sedikit rasa khawatir dan ragu sempat terbesit dalam benakku, takut ku ini ada kaitannya dengan jaringan teroris atau hal negatif lainnya, namun paras kak Rahmat siang itu menepis semua anggapan bodohku, seperti ada sesuatu yang meyakinkan ku bahwa semua yang kupikirkan sebelumnya itu sama sekali tidak benar, apakah ini yang engkau namakan hidayah ya Allah?, tanyaku dalam hati, ya Allah beginikah namanya hidayah itu?, subhanallah hati ku merasa begitu tenteram seakan semua beban terlepas karena kehadiranMu begitu dekat sedekat nadi ini, ya Allah terima kasih engkau telah mengizinkan aku merasakan hidayah ini, ucap syukur ku di sepanjang perjalanan tanpa henti.
Tibalah kami di fakultas MIPA, “jid mushalla nya sebelah mana? Sms kak Rahmat gih kita sudah sampai tolong di jemput” suruhku kepada Najid, “iya…” Najid mengiyakan permintaanku.
“Antum posisinya di mana akh?” balasan sms kak Rahmat
“Di depan pintu masuk MIPA akh” Najid membalas,
“Yaudah Antum jalan kearah parkiran ntar ane jemput di sana” balas kak Rahmat lagi,
Kami pun jalan kearah parkiran yang berada di sebelah timur pintu masuk, perlahan langkah membuat hatiku berdebar, dari kejauhan gelap yang terlihat karena pencahayaan yang kurang, terlihat sekelibat pantulan cahaya dari kacamata yang digunakan kak Rahmat, sambil menerangi sekitar dengan cahaya dari sinar layar hape, secara perlahan terlihatlah paras shalih dari kak Rahmat, “subhanallah” ucapku dalam hati karena telah dipertemukan dengan orang shalih seperti dia,
“Assalamu’alaikum khi, gimana kabarnya? Susah ya lokasinya” sambil berjabat tangan menanyakannya kepadaku dan Najid.
“Alhamdulillah sehat kak,” dengan sopan ku menjawab yang disamakan dengan jawaban dari Najid.
“Yuk langsung kalo gitu”, ajaknya ke lokasi Liqoan.
Ruangan mushalla sederhana disinari lampu dengan cahaya yang agak sedikit redup, bunyi jangkrik memecah kesunyian malam, hembus angin pun semilir menyejukkan di kala aku duduk melingkar bersama orang-orang yang belum pernah kulihat sebelumnya kecuali Najid. Ku lihat satu persatu wajah saudara baruku ini, basah karena siraman air wudhu, sontak seperti menegurku betapa jarangnya aku membasuh wajahku dengan wudhu, dan satu persatu memegang kitab suci Al-Qur’an, perasaan ku semakin gundah, seperti dalam pikiran ku “pasti ini bakalan disuruh tilawah satu-satu, mati aku karena tidak lancar membaca al-Qur’an” apa yang kupikirkan ternyata sesuai,
“Ya akh dibuka al-Qur’an nya, kita mulai dari surat pertama ya akh,” seru kak Rahmat menyuruh kami.
Gundah ku semakin menjadi karena tak sanggup menanggung malu karena aku tak lancar bertilawah. Satu persatu ayat-ayat suciNya dilantunkan betapa indah lantunan yang keluar dari mulut-mulut mereka, sahut bersahut tilawah yang kudengar semakin indah sampai tiba di orang ke 3 dari kami yang kala itu berjumlah 11 orang, maka tibalah di orang ke 4 sahut-sahut indah ayat itu pun buyar sejenak karena ternyata ia juga terbata-bata dalam bertilawah, maka perasaanku lega sejenak, namun apa yang ku pikirkan ini salah ya Allah betapa jauhnya hamba Mu ini dari cahaya Islam Mu, betapa sudah banyak waktu yang ku buang sia-sia hanya untuk memuaskan dunia dan menganaktirikan akhiratku, teringat tentang suratNya, “Demi masa sesungguhnya manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran”. Sungguh tak pantas diriku bangga akan kekurangan yang kumiliki ini, dan dilanjut dengan orang kelima yaitu Najid, betapa lantunan ayat itu dibacakannya dengan fasih dan cepat tanpa ada sedikit cacat dari ucapnya, tercengang aku mendengarnya sambil khawatir karena setelahnya adalah aku, maka giliranku tiba, sambil berdoa dalam hati aku memohon “ya Allah mudahkan aku dalam membaca firmanMu” dan ku ucapkan tasmiyah, satu persatu kata dan kalimat kubaca, terbata di awal namun seterusnya alhamdulillah Allah membantu ku dalam melafadzkan firmanNya.
“Maha benar Allah dengan segala firmanNya” maka berakhirlah sesi tilawah Qur’an ini. Mulai kurasakan kehangatan dalam lingkaran ini, betapa begitu nikmatnya duduk bersama orang-orang shalih, yang sebelumnya tak pernah kurasakan. Tiba di sesi kedua di mana kak Rahmat menanyakan kepada kami satu persatu tentang keadaan kami, sampai beliau menanyakan apa yang kami rindukan jika di rumah, karena kondisi kami yang saat itu sama-sama baru merasakan hidup jauh dari orang tua hidup di kota perantauan hanya demi satu gelar sarjana. “Akh Hamas gimana kabar Antum? Sehat akh? Tanya nya di giliranku, “iya kak alhamdulillah sehat” raguku untuk menyebut ‘akh’ karena panggilan tersebut masih asing ku dengar dan ku ucap, “pasti Antum sama kayak yang lain sedang homesick berat, apa sih yang Antum kangenin kalo di rumah?” lanjut pertanyaan yang sama seperti yang lain, “saya kangen masakan ibu akh” sahutku dan kali ini aku tak ragu memanggil akh kepadanya. Hati ku bergetar walau hanya dialog singkat yang sebenarnya sepele namun karena ku berada di lingkaran penuh hangat ini semua itu terasa beda bagiku. Tibalah di sesi ke tiga di mana kak Rahmat membuka buku tebalnya dan menyampaikan materi liqoan malam hari ini, muqodimah pun terucap dan kini beliau menerangkan isi materi yang kala itu bertema tentang ‘akhlaq’ jelasnya menerangkan di ikuti berbagai contoh yang dilakukan Rasulullah soal akhlaq, dan disertai firman-firman Allah dalam Al-Qur’an, di penutup beliau menerangkan betapa begitu pentingnya tarbiyah, tarbiyah tumbuh dan berkembang, tarbiyah bukan segalanya namun segalanya berawal dari tarbiyah.
Undangan spesial dari kak Rahmat malam ini membuatku mengerti betapa pentingnya pendidikan akhirat ini, karena kehidupan yang kekal dan sebenarnya adalah kehidupan akhirat, undangan malam ini mendekatkan ku kembali pada Mu, dan aku percaya Kau sedang menunjukkan jalan yang lurus bagiku sekali lagi ku ucap rasa syukur kepadaMu ya Rabb. Malam ini ku goreskan lagi pengalaman luar biasa dalam hidupku, kupandangi satu persatu wajah saudara-saudara baruku, kulihat semangat di setiap muka mereka, semangat yang kuyakin untuk selalu amar ma’ruf nahi munkar, semangat untuk selalu berfastabiqul khoirot, semangat untuk selalu menjaga lingkaran ini yang ku kenal dengan sebutan ‘ukhuwah islamiyah’ dalam hati sekali ku ucap rasa syukur tiada tara ya Allah sungguh beruntung aku berada dalam barisan penuh cahaya Mu ini. Lingkaran ini penuh kehangatan di dalamnya, lingkaran ini penuh berkah di dalamnya, lingkaran ini penuh canda dan tawa, lingkaran ini penuh ilmu baru, lingkaran ini kurasa menjawab semua pertanyaan dan pencarian ku selama ini yang belum kudapatkan, lingkaran ini membawa ku untuk lebih mengenal Mu.
“Jagalah Allah niscaya kau akan senantiasa mendapatiNya di hadapanmu. Kenalilah Allah di waktu lapang niscaya Dia akan mengenalimu saat kesulitan, ketahuilah bahwa apa yang luput darimu tidak akan menimpamu dan apa yang menimpamu tidak akan luput darimu, ketahuilah bahwa kemenangan itu selalu mengiringi kesabaran, jalan keluar selalu mengiringi cobaan dan kemudahan itu selalu mengiringi kesusahan” (HR. Tirmidzi)
Langganan:
Postingan (Atom)