Marhaban Yaa Ramadhan.
Mari kita jemput keberkahan dan rahmat Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, insyaallah pada bulan Ramadhan tahun ini .
“Suatu hari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, mendengar seorang
wanita tengah mencaci-maki hamba sahayanya, padahal ia sedang berpuasa.
Nabi saw, segera memanggilnya. Lalu Beliau menyuguhkan makanan seraya
berkata, “Makanlah hidangan ini “. Keruan saja wanita itu menjawab, “Ya
Rasulullah, aku sedang berpuasa”. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
berkata dengan nada heran, “Bagaimana mungkin engkau berpuasa sambil
mencaci-maki hamba sahayamu ?”. Sesungguhnya Allah menjadikan puasa
sebagai penghalang (hijab) bagi seseorang dari segala kekejian ucapan
maupun perbuatan. Betapa sedikitnya orang yang berpuasa dan betapa
banyaknya orang yang lapar”. (HR Bukhari)
Dengan hadits tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ingin mengingatkan kaum Muslim hakikat puasa yang sebenarnya.
Istilah shaum bersumber dari bahasa Arab yang artinya, menahan, mengekang atau mengendalikan (al-imsak).
Secara syariat (fikih), makna puasa adalah menahan diri dari segala
sesuatu yang dapat membatalkan mulai terbitnya fajar shubuh hingga
terbenamnya matahari yang disertai dengan niat.
Puasa terdiri dari tiga tingkatan.
Puasa perut, tingkatan paling awal adalah puasa yang memenuhi syariat, yakni puasa muslim pada umumnya.
Puasa hawa nafsu, tingkatan selanjutnya setelah puasa perut, puasa sesauai syariat yang diikuti dengan menahan hawa nafsu.
“Apabila engkau berpuasa hendaknya telingamu berpuasa dan juga
matamu, lidahmu dan mulutmu, tanganmu dan setiap anggota tubuhmu atau
setiap panca inderamu” (al Hadits).
Puasa qalbu, tingkatan tertinggi setelah puasa hawa
nafsu, puasa yang diikuti dengan menahan dari segala kecenderungan yang
rendah dan pikiran yang bersifat duniawi, serta memalingkann diri dari
segala sesuatu selain Allah.
Keadaan sadar(kesadaran) atau perilaku/perbuatan secara sadar dan mengingat Allah (dzikrulllah) inilah kunci dari Taqwa
Sayidina Ali bin Abi Thalib ra mengatakan “Puasa Qalbu adalah menahan diri dari segala pikiran dan perasaan yang menyebabkan terjatuh pada dosa”.
Bertemu Allah
“Bagi orang yang berpuasa ada dua kegembiraan, yaitu kegembiraan ketika berbuka dan kegembiraan ketika bertemu dengan Tuhannya” (HR Bukhari).
Sebagian muslim memahami bahwa yang dimaksud dengan hadits ini
adalah dengan amal puasa kita dapat bertemu dengan Allah di akhirat
kelak.
Benar, bahwa dengan amal puasa dan amal-amal lainnya yang menunjukkan
tingkat ketaqwaan seorang muslim yang dapat menghantarkan pada
kenikmatan tertinggi dari semua kenikmatan yang ada di surga adalah
melihat (bertemu) Allah..
Bahkan bagi mereka yang berpuasa, telah tersedia pintu khusus untuk mereka
Dari Sahl dari Nabi bersabda : Sesungguhnya dalam surga terdapat
sebuah pintu yang bernama Ar Rayyan, orang-orang yang berpuasa akan
masuk melaluinya pada hari kiamat, dan selain mereka tidak akan masuk
melaluinya. ….(Hadist riwayat Bukhari dan Muslim)
Namun sesungguhnya kegembiraan berpuasa, bertemu dengan Allah dapat juga kita rasakan atau kita alami saat kita di dunia.
Mereka yang merasakan bertemu Allah di dunia adalah mereka yang
gemar mengadukan segala macam persoalan kehidupannya di dunia ke hadapan
Allah. Mereka yang dengan sesungguhnya mengatakan bahwa,
“….. hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan” (QS Al Fatihah [1] : 5 )
Mereka-mereka yang gembira dilihat Allah Azza wa Jalla.
Mereka-mereka yang gembira bertemu dengan Allah Azza wa Jalla di dunia.
Sebagian muslim belum mengimani bahwa kita dapat bertemu dengan Allah
Azza wa Jalla di dunia walaupun kita tidak dapat melihatNya.
Sebagian muslim belum mengimani bertemu dengan Allah Azza wa Jalla di
dunia karena kesalahpahaman memahami firman Allah ta’ala yang artinya,
“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat
melihat segala penglihatan itu, dan Dia-lah Yang Mahahalus lagi Maha
Mengetahui.” [QS Al-An’aam: 103]
Allah Subhanahu wa Ta’ala pernah berfirman kepada Nabi Musa Alaihissalam
“Kamu sekali-kali tidak dapat melihat-Ku.” [QS Al-A’raaf: 143]
“Kamu sekali-kali tidak dapat melihat-Ku.” [QS Al-A’raaf: 143]
Demikian juga sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
“Ketahuilah bahwa tidak ada seorang pun yang akan bisa melihat Rabb-nya hingga ia meninggal dunia” (HR Muslim)
“Ketahuilah bahwa tidak ada seorang pun yang akan bisa melihat Rabb-nya hingga ia meninggal dunia” (HR Muslim)
Juga pernyataan ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha, ia berkata.
“Barangsiapa menyangka bahwasanya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Rabb-nya, maka orang itu telah melakukan kebohongan yang besar atas Nama Allah.” (Muslim)
“Barangsiapa menyangka bahwasanya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Rabb-nya, maka orang itu telah melakukan kebohongan yang besar atas Nama Allah.” (Muslim)
Firman-firman Allah dan hadits diatas adalah petunjuk bahwa Allah
tidak dapat kita lihat di dunia dengan mata kepala (secara dzahir /
lahiriah).
Namun kita dapat menghadap kepada Allah, bersama Allah, bertemu
Allah, berlari kepada Allah (Fafirruu Ilallah) ketika di dunia walaupun
kita di dunia tidak dapat melihatNya.
Sebagai contoh bahwa kita menghadap Allah, bertemu Allah ketika di dunia adalah mendirikan sholat
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, bahwa Ash-shalatul Mi’rajul Mu’minin , “sholat itu adalah mi’rajnya orang-orang mukmin“.
Yaitu naiknya jiwa meninggalkan ikatan nafsu yang terdapat dalam fisik manusia menuju ke hadirat Allah Azza wa Jalla.
Sebagian muslim tidak menyadari bahwa mereka menghadap Allah Azza wa
Jalla, bertemu Allah Azza wa Jalla di dunia. Mereka beribadah
(menyembah Allah) tanpa merasakan menghadap ke hadhirat Allah.
Sebagian muslim di dunia bahkan “menghindari” menghadap Allah Azza wa
Jalla atau “menghindari” bertemu dengan Allah Azza wa Jalla,
seolah-olah mereka dapat tidak terlihat oleh Allah Azza wa Jalla di
dunia padahal Allah Maha Melihat dan Maha Mengetahui.
Maka kerugian besar bagi muslim yang belum dapat merasakan
seolah-olah melihat Allah Azza wa Jalla di dunia, bertemu Allah Azza wa
Jalla, bersama dengan Allah ketika di dunia.
“Iman paling afdol ialah apabila kamu mengetahui bahwa Allah selalu menyertaimu dimanapun kamu berada“. (HR. Ath Thobari)
Mereka secara tidak disadari mengingkari apa yang mereka ucapkan bahwa
“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang” (QS Al Fatihah : 1)
Sesungguhnya, “dengan menyebut nama Allah” itu adalah “dengan
dzatNya”, bersama Allah, bertemu Allah, berlari kepada Allah (Fafirruu
Ilallah).
Jadi, muslim yang berpuasa dan dapat mengalami, merasakan kegembiraan
bertemu dengan Allah di dunia dan mengharapkan tetap bertemu dengan
Allah di akhirat kelak adalah mereka yang telah menjalankan puasa
qalbu. Selama mereka berpuasa mereka melakukan secara sadar dan
mengingat Allah. Mereka bersama Allah.
“Buatlah perut-perutmu lapar dan qalbu-qalbumu haus dan
badan-badanmu telanjang, mudah-mudah an qalbu kalian bisa melihat Allah
di dunia ini (HR Bukhari).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar