I’TIKAF
1. Hikmah I’tikaf
Al Allamah Ibnul Qayyim berkata : “Manakala
hadir dalam keadaan sehat dan istiqamah (konsisten) di atas rute
perjalanan menuju Allah Ta’ala tergantung pada berkumpulnya (unsur
pendukung) hati tersebut kepada Allah, dan menyalurkannya dengan
menghadapkan hati tersebut kepada Allah Ta’ala secara menyeluruh, karena
kusutnya hati tidak akan dapat sembuh kecuali dengan menghadapkan(nya)
kepada Allah Ta’ala, sedangkan makan dan minum yang berlebih-lebihan dan
ber- lebih- lebihan dalam bergaul, terlalu banyak bicara dan tidur,
termasuk dari unsur-unsur yang menjadikan hati bertambah berantakan
(kusut) dan menceraiberikan hati di setiap tempat, dan (hal-hal
tersebut) akan memutuskan perjalanan hati menuju Allah atau akan
melemah- kan, menghalagi dan menghentikannya.”
“Rahmat Allah Yang Maha Perkasa lagi
Penyayang menghendaki untuk mensyari- ‘atkan bagi mereka puasa yg bisa
menyebabkan hilangnya kelebihan makanan dan minuman pada hamba-Nya, dan
akan membersihkan kecenderungan syahwat pada hati yang (mana syahwat
tersebut) dapat merintangi perjalanan hati menuju Allah Ta’ala, dan
disyari’atkannya (i’tikaf) berdasarkan maslahah (kebaikan yang akan
diperoleh) hingga seorang hamba dapat mengambil manfaat dari amalan
tersebut baik di dunia maupun di akhirat. Tidak akan merusak dan
memutuskannya (jalan) hamba tersebut dari (memperoleh) kebaikannya di
dunia maupun di akhirat kelak.”
“Dan disyari’atkannya i’tikaf bagi
mereka yang mana maksudnya serta ruhnya adalah berdiamnya hati kepada
Allah Ta’ala dan kumpulnya hati kepada Allah, berkhalwat dengan-Nya dan
memutuskan (segala) kesibukan dengan makhluk, hanya menyibukkan diri
kepada Allah semata. Hingga jadilah mengingat-Nya, kecintaan dan
penghadapan kepada-Nya sebagai ganti kesedihan (duka) hati dan
betikan-betikannya, sehingga ia mampu mencurahkan kepada-Nya, dan
jadilah keinginan semuannya kepadanya dan semua betikan-betikan hati
dengan mengingat-Nya, bertafakur dalam mendapatkan keridhaan dan sesuatu
yang mendekatkan dirinya kepada Allah. Sehingga bermesraan ketika
berkhalwat dengan Allah sebagai ganti kelembutannya terhadap makhluk,
yang menyebabkan dia berbuat demikian adalah karena kelembutannya
tersebut kepada Allah pada hari kesedihan di dalam kubur manakala sudah
tidak ada lagi yang berbuat lembut kepadanya, dan (manakala) tidak ada
lagi yang dapat membahagiakan (dirinya) selain daripada-Nya, maka inilah
maksud dari i’tikaf yang agung itu.”
2. Makna I’tikaf
Yaitu berdiam (tinggal) di atas sesuatu.
Dan dapat dikatakan bagi orang-orang yg tinggal di masjid dan menegakkan
ibadah di dalamnya sebagai mu’takif dan ‘akif.
3. Disyariatkannya I’tikaf
Disunnahkan pada bulan Ramadhan dan bulan
yang lainnya sepanjang tahun. Telah shahih bahwa Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam beri’tikaf pada sepuluh (hari) terakhir di bulan
Syawwal. Dan Umar pernah bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku ini pernah bernazar
pada jaman jahiliyyah (dahulu), (yaitu) aku akan beri’tikaf pada malam
hari di Masjidil Haram.” Beliau bersabda, “Tunaikanlah nazarmu.” Maka ia (Umar Radhiyallahu ‘anhu) pun beri’tikaf pada malam harinya.” (Riwayat Bukhari (4/237) dan Muslim (1656))
Yang paling utama (yaitu) pada bulan
Ramadhan berdasarkan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu (bahwasanya)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sering beri’tikaf pada setiap
Ramadhan selama sepuluh hari dan manakala tibanya tahun yang dimana
baliau diwafatkan, beliau beri’tikaf selama dua puluh hari. (Riwayat Bukhari (4/245))
Dan yang lebih utama yaitu pada akhir
bulan Ramadhan karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam seringkali
beri’tikaf pada sepuluh (hari) terakhir di bulan Ramadhan hingga Allan
Yang Maha Perkasa dan Mulia mewafatkan beliau. (Riwayat Bukhari (4/266) dan Muslim (1173) dari ‘Aisyah)
4. Syarat-syarat I’tikaf
Tidak disyari’atkan kecuali Masjid, berdasarkan firman Allah Ta’ala:
“Dan janganlah kamu mencampuri mereka itu, sedangkan kamu beri’tikaf di Masjid.” (Al Baqarah : 187)
Dan sunnahnya bagi orang-orang yang
beritikaf (yaitu) hendaknya berpuasa sebagaimana dalam (riwayat) ‘Aisyah
Radhiyallahu ‘anha yang telah disebutkan.
5. Perkara-perkara yang boleh dilakukan selama I’tikaf
- Diperbolehkan keluar dari masjid jika ada hajat, boleh mengeluarkan
kepalanya dari masjid untuk dicuci dan disisir (rambutnya). ‘Aisyah
Radhiyallahu ‘anha berkata: “Dan sesungguhnya Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam pernah memasukkan kepalanya kepadaku, padahal beliau
sedang i’tikaf di masjid (dan aku berada di kamarku) kemudian aku sisir
rambutnya (dalam riwayat lain: aku cuci rambutnya) [dan antara aku dan
beliau ada pintu][dan waktu itu aku sedang haidh] dan Rasulullah tidak
masuk ke rumah kecuali untuk (menunaikan) hajat (manusia) ketika sedang
i’tikaf.” (HR. Bukhari (1/342) dan Muslim (297))
- Orang yang sedang i’tikaf dan yang lainnya diperbolehkan untuk
berwudhu di masjid berdasarkan ucapan salah seorang pembantu Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berwudhu di dalam masjid dengan wudhu yang ringan.” (Dikeluarkan oleh Ahmad (5/364) dengan sanad yang shahih
- Dan diperbolehkan bagi orang yang sedang i’tikaf untuk mendirikan
tenda (kemah) kecil pada bagian dibelakan masjid sebagai tempat dia
beri’tikaf, karena ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anhu (pernah) membuat kemah
(yang terbuat dari bulu atau wool yang tersusun dengan dua atau tiga
tiang) apabila beliau beri’tikaf (Sebagaimana dalam Shahih Bukhari
(4/226).dan hal ini atas perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
(Sebagaimana dalam Shahih Muslim (1173)).
- Dan diperbolehkan bagi orang yang sedang beri’tikaf untuk meletakkan
kasur atau ranjangnya di dalam tenda tersebut, sebagaimana yang
diriwayatkan Ibnu Umar Radhiyallahu’anhuma bahwa Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam jika i’tikaf dihamparkan kasur dan diletakkan ranjang
untuknya dibelakang tiang At Taubah. (Dikeluarkan oleh Ibnu Majah
(642-zawaidnya) dan Al Baihaqi, sebagaimana yang dikatakan oleh Al
Bushairi dari dua jalan. Dan sanadnya hasan)
6. I’tikafnya wanita dan kunjungannya ke masjid
- Diperbolehkan bagi seorang istri untuk mengunjungi suaminya yang
berada di tempat i’tikaf, dan suami diperbolehkan mengantar istri sampai
ke pintu masjid. Shafiyyah Radhiyallahu ‘anha berkata: “Dahulu Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam (tatkala beliau sedang) i’tikaf (pada
sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan) aku datang mengunjunginya pada
malam hari [ketika itu disisinya ada beberapa istri beliau sedang
bergembira ria] maka akupun berbincang sejenak, kemudian aku bangun
untuk kembali, [maka beliaupun berkata: jangan engkau tergesa-gesa
sampai aku bisa mengantarmu] kemudian beliaupun berdiri bersamaku untuk
mengantarkan aku pulang, -tempat tinggal Shafiyyah yaitu rumah Usama bin
Zaid- [sesampainya di samping pintu masjid yang terletak di samping
pintu Ummu Salamah] lewatlah dua orang laki-laki dari kalangan Anshar
dan ketika keduanya melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam maka
keduanyapun bergegas. Kemudi an Nabi pun bersabda, “Tenanglah, ini
adalah Shafiyyah bintu Huyai.” Kemudian keduanya berkata, “Subhanallah
ya Rasulullah.” Beliaupun bersabda, “Sesungguhnya syaitan itu menjalar
anak Adam pada aliran darahnya dan sesungguhnya aku khawatir akan
bersarang kejelekan di hati kalian – atau beliau berkata sesuatu-.”(Dikeluarkan
oleh Bukhari (4/240) dan Muslim (2157) dan tambahan yang terakhir ada
pada Abu Dawud (7/142-143 di dalam Aunul Ma’bud). (
- Seorang wanita boleh i’tikaf dengan didampingi suaminya ataupun
sendirian. Berdasarkan ucapan ‘Aisyah Radhiyyallahu ‘anha, Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam i’tikaf pada sepuluh hari terakhir pada
bulan Ramadhan sampai Allah mewafatkan beliau kemudian istri-istri
beliau i’tikaf setelah itu”
Berkata Syaikh Al Albani Rahimahullah,
“Pada atsar tersebut ada suatu dalil yang menunjukkan atas bolehnya
wanita beri’tikaf dan tidak diragukan lagi bahwa hal itu dibatasi
(dengan catatan) ada izin dari wali-wali mereka dan aman dari fitnah,
berdasarkan dalil-dalil yang banyak mengenai larangan berkhalwat dan
kaidah fiqhiyah: Menolak kerusakan lebih didahulukan daripada mengambil
manfaat.”
MALAM LAILATUL QADAR
Keutamaannya sangat besar, karena malam
ini menyaksikan turunnya Al Qur-an Al Karim, yang membimbing orang-orang
yang berpegang dengannya ke jalan kemuliaan dan mengangkat ke derajat
yang mulia dan abadi. Umat Islam yang mengikuti sunnah Rasulnya tidak
memasang tanda-tanda tertentu dan tidak pula menacapkan anak-anak panah
untuk memperingati malam ini, akan tetapi mereka berlomba-lomba untuk
bangun di malam harinya dengan penuh iman dan mengharap pahala dari
Allah.
Inilah wahai saudaraku muslim, ayat-ayat Qur-aniyah dan hadits-hadits Nabawiyah yang shahih menjelaskan tentang malam tersebut.
1. Keutamaan malam Lailatul Qadar
Cukuplah untuk mengetahui tingginya
kedudukan Lailatul Qadar dengan mengetahui bahwasanya malam itu lebih
baik dari seribu bulan, Allah berfirman:
“Sesungguhnya Kami menurunkan Al
Qur’an pada malam Lailatul Qadar, tahukah engkau apakah malam Lailatul
Qadar itu? Malam Lailatul Qadar itu lebih baik dari seribu bulan, Pada
malam itu turunlah malaikat-malaikat dan Jibril dengan izin Rabb mereka
(untuk membawa) segala urusan, Selamatlah malam itu hingga terbit
fajar.” (Al Qadar : 1-5)
Dan pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah:
“Sesungguhnya Kami menurunkan pada
suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi
peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah,
(yaitu) urusan yang besar dari sisi Kami. Sesungguhnya Kami adalah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Ad Dukhan : 3 – 6)
2. Waktu turunnya Lailatul Qadar
Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam bahwa malam tersebut terjadi pada tanggal malam 21, 23,
25, 27, 29 dan akhir malam bulan Ramadhan. (Pendapat-pendapat yang ada
dalam masalah ini berbeda-beda, Imam Iraqi telah mengaran suatu risalah
khusus diberi judul Syarh Shadr bi Dzikri Lailatul Qadar, membawakan
perkataan para ulama dalam masalah ini)
Imam Syafi’i berkata, “Menurut
pemahamanku, wallahu a’lam, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab
sesuai yang ditanyakan, ketika ditanyakan kepada beliau, ‘Apakah kami
mencarinya di malam ini?’ Beliau menjawab, ‘Carilah di malam tersebut.’”
Pendapat yang paling kuat, terjadinya
malam Lailatul Qadar itu pada malam terakhir bulan Ramadhan berdasarkan
hadits ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha, beliau berkata bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam beri’tikaf di sepuluh hari terakhir bulan
Ramadhan dan beliau bersabda: “Carilah malam Lailatul Qadar di (malam ganjil) pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan.” (Bukhari (4/225) dan Muslim (1169))
Jika seseorang merasa lemah atau tidak
mampu, janganlah sampai terluput dari tujuh hari terakhir, karena
riwayat dari Ibnu Umar, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Carilah di sepuluh hari terakhir, jika tidak mampu maka
janganlah sampai terluput tujuh hari sisanya.” (HR. Bukhari (4/221) dan
Muslim (1165)) “Aku melihat mimpi kalian telah terjadi, barangsiapa yang mencarinya carilah pada tujuh nari terakhir.”
Telah diketahui dalam sunnah,
pemberitahuan ini ada karena perdebatan para shahabat. Dari Ubadah bin
Shamit Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasalam keluar pada malam Lailatul Qadar, ada dua orang sahabat
berdabat, beliau bersabda: “Aku keluar untuk mengkhabarkan kepada
kalian tentang malam Lailatul Qadar, tapi ada dua orang berdebat hingga
tidak bisa lagi diketahui kapannya, mungkin ini lebih baik bagi kalian,
carilah di malam 29, 27, 25 (dan dalam riwayat lain, tujuh, sembilan dan
lima).” (HR. Bukhari (4/232))
Telah banyak hadits yang mengisyaratkan
bahwa amalan Lailatul Qadar itu pada sepuluh hari terakhir, yang lainnya
menegaskan dimalam ganjil sepuluh hari terakhir. Hadits yang pertama
sifatnya umum, sedang hadits keuda adalah khusus, maka riwayat yang
khusus lebih diutamakan daripada yang umum. Dan telah banyak hadits yang
lebih menerangkan bahwa malam Lailatul Qadar itu ada pada tujuh hari
terakhir bulan Ramadhan, tetapi ini dibatasi kalau tidak mampu dan
lemah, tidak ada masalah, dengan ini cocoklah hadits-hadits tersebut
tidak saling bertentangan, bahkan bersatu tidak terpisah.
Kesimpulannya, jika seorang muslim
mencari malam Lailatul Qadar carilah pada malam ganjil sepuluh hari
terakhir, 21, 23, 25, 27 dan 29. Kalau lemah dan tidak mampu mencari
pada sepuluh hari terakhir, maka carilah pada malam ganjil tujuh hari
terakhir yaitu 25, 27 dan 29. Wallahu a’lam.
3. Bagaimana mencari malam Lailatul Qadar
Sesungguhnya malam yang diberkahi ini
barangsiapa yang diharamkan untuk mendapatkannya, maka sungguh telah
diharamkan seluruh kebaikan (baginya). Dan tidaklah diharamkan kebaikan
itu melainkan (bagi) orang yang diharamkan (untuk mendapatkannya). Oleh
karena itu dianjurkan bagi muslimin (agar) bersemangat dalam berbuat
ketaatan kepada Allah untuk menghidupkan malam Lailatul Qadar dengan
penuh keimanan dan pengharapan pahala-Nya yang besar, jika (telah)
berbuat demikian (maka) akan diampuni Allah dosa-dosanya yang telah
lalu.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa
berdiri (shalat) pada malam Lailatul Qadar dengan penuh keimanan dan
mengharap pahala dari Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah
lalu.” (HR. Bukhari (4/217) dan Muslim (759))
Disunnahkan untuk memperbanyak do’a pada
malam tersebut. Telah diriwayatkan dari Sayyidah ‘Aisyah Radhiyallahu
‘anha bahwa dia bertanya, “Ya Rasulullah, apa pendapatmu jika aku tahu
kapan malam Lailatul Qadar (terjadi), apa yang harus aku ucapkan?”
Beliau menjawab”
“Ucapkanlah, Ya Allah Engkau Maha
Pengampun dan Mencintai orang yang meminta ampunan, maka ampunilah
aku.(Allahumma Innaka ‘Affuwun Tuhibul ‘Afwa Fa’fu anna)” (HR. Tirmidzi (3760), Ibnu Majah (3850) dari ‘Aisyah, sanadnya shahih)
Saudaraku -semoga Allah memberkahimu dan
memberi taufiq kepadamu untuk mentaati-Nya- engkau telah mengetahui
bagaimana keadaan Lailatul Qadar (dan keutamaannya) maka bangunlah
(untuk menegakkan shalat) pada sepuluh malam terakhir, menghidupkannya
dengan ibadah dan menjauhi wanita, perintahkan kepada istrimu dan
keluargamu utu ktu, perbanyaklah perbuatan ketaatan. Dari ‘Aisyah
Radhiyallahu ‘anha:
“Adalah Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam apabila masuk pada sepuluh hari (terakhir bulan
Ramadhan), beliau mengencangkan kainnya menghidupkan malamnya dan
membangunkan keluarganya.” (HR. Bukhari (4/233) dan Muslim (1174))
Juga dari ‘Aisyah, dia berkata:
“Adalah Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam bersungguh-sungguh (beribadah apabila telah masuk)
malam kesepuluh (terakhir) yang tidak pernah beliau lakukan pada
malam-malam lainnya.” (Muslim (1174))
4. Tanda-tanda malam Lailatul Qadar
Ketahuilah hamba yang taat -mudah-mudahan
Allah menguatkanmu dengan ruh dari-Nya dan membantu dengan
pertolongan-Nya- sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
menggambarkan paginya malam Lailatul Qadar agar seorang muslim
mengetahuinya.
Dari ‘Ubai Radhiyallahu ‘anhu ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Pagi hari malam Lailatul Qadar, matahari terbit tidak menyilaukan, seperti bejana hingga meninggi.” (Muslim (762))
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu ia
berkata, kami menyebutkan malam Lailatul Qadar di sisi Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam, dan beliau bersabda:
“Siapa di antara kalian yang ingat ketika terbit bulan seperti syiqi jafnah.”
(Muslim (1170 /Perkataan, syiqi jafnah, syiq artinya setengah, jafnah
artinya bejana. Al Qadhi ‘Iyadh berkata, “Dalam hadits ini ada isyarat
bahwa malam Lailatul Qadar hanya terjadi di akhir bulan, karena bulan
tidak akan seperti demikian ketika terbit kecuali di akhir-akhir
bulan.”)
Dan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“(Malam) Lailatul Qadar adalah malam
yang indah, cerah, tidak panas dan tidak juga dingin, (dan) keesokan
harinya cahaya sinar mataharinya melemah kemerah- merahan.” (Thayalisi (394), Ibnu Khuzaimah (3/231), Bazzar (1/486), sanadnya hasan)
Oleh : Agus S – Humas Div Eksternal UKKI UNSOED.