Rabu, 03 April 2013

Hukum KB dalam IsLam

HUKUM ALAT KONTRASEPSI UNTUK MENCEGAH KEHAMILAN
(Oleh: Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i & Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahumallah)

Tanya:

Apa hukumnya bila seorang suami menyetujui istrinya dipakaikan alat kontrasepsi oleh pihak rumah sakit guna mencegah kehamilan?

Jawab:

Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullahu berfatwa: “Sang suami tidak boleh menyetujuinya, sementara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyatakan: Menikahlah kalian sehingga jumlah kalian menjadi banyak karena sesungguhnya aku membanggakan (banyaknya) kalian di hadapan umat-umat lain pada hari kiamat. [1]

Dan juga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendoakan Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu agar dilipatkan jumlah harta dan anaknya [2]. Selain itu, bisa jadi kita akan dihadapkan dengan takdir Allah (berupa musibah kematian anaknya sehingga ia kehilangan si buah hati).

(Bila ada alasan untuk menunda kehamilan) maka ketika mendatangi istrinya (jima‘), sang suami diperbolehkan melakukan ‘azal [3]. Adapun (menunda kehamilan) dengan menggunakan obat-obatan/pil, memotong rahim (pengangkatan rahim) atau yang lain, tidak diperbolehkan.

Perlu diketahui, musuh-musuh Islam menghias-hiasi perbuatan yang menyelisihi agama di hadapan kita. (Mereka menyerukan agar kaum muslimin membatasi kelahiran) sementara mereka sendiri, justru terus berupaya memperbanyak jumlah mereka. Dan benar-benar mereka telah melakukannya.

Aku bertanya kepada kalian, wahai saudara-saudaraku. Bila sekarang ini, di zaman ini, ada orang yang memiliki sepuluh anak, apakah kalian saksikan Allah Subhanahu wa Ta’ala menyia-nyiakannya? Atau justru kalian melihat, Allah Subhanahu wa Ta’ala membukakan rizki baginya dari arah yang tidak disangka-sangka?

Bila seseorang membatasi kelahiran karena alasan duniawi (takut rizki misalnya, -pent.), ia benar-benar telah keliru. Karena Rabbul ‘Izzah berfirman dalam kitab-Nya yang mulia:

وَ مَا مِنْ دَابَّةٍ فِي اْلأَرْضِ إِلاَّ عَلَى اللهِ رِزْقُهَا
“Dan tidak ada satu makhluk melata pun di bumi ini kecuali Allah-lah yang menanggung rizkinya.” (Hud: 6)

Dan juga firman-Nya:

وَكَأَيِّنْ مِنْ دَابَّةٍ لاَ تَحْمِلُ رِزْقَهَا، اللهُ يَرْزُقُهَا وَإِيَّاكُمْ
“Berapa banyak hewan yang tidak dapat membawa (mengurus) sendiri rizkinya tapi Allah lah yang memberikan rizkinya dan juga memberikan rizki kepada kalian.” (Al-Ankabut: 60)

Namun bila ia melakukannya karena khawatir adanya mudharat/ bahaya yang bakal menimpa sang istri, maka diperbolehkan menunda kehamilan dengan melakukan ‘azal. Adapun kalau harus menggunakan alat/obat yang berasal dari musuh-musuh Islam, baik berupa obat/pil pencegah kehamilan atau lainnya, maka ini tidaklah kami anjurkan. ‘Azal sendiri sebenarnya makruh, namun diizinkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau bersabda ketika mengizinkan para shahabatnya untuk melakukan ‘azal:

مَا مِنْ نَسَمَةٍ كَائِنَةٍ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ إِلاَّ وَ هِيَ كَائِنَةٌ ([4]
“Tidak ada satu jiwa pun yang telah ditakdirkan untuk diciptakan sampai hari kiamat kecuali mesti akan ada/tercipta.”

Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhuma berkata:

كُنَّا نَعْزِلُ وَالْقُرْآنُ يَنْزِلُ
“Kami melakukan ‘azal sementara Al-Qur`an (wahyu) masih turun (belum berhenti terus tersampaikan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ).” [5]

Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan rukhshah (keringanan) untuk melakukan ‘azal. Walhamdulillah Rabbil ‘alamin. (Ijabatus Sa`il, hal. 467-468)

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu mengatakan: “Adapun menggunakan sesuatu yang bisa mencegah kehamilan, ada dua:

Pertama:
Mencegah kehamilan secara permanen. Hal ini tidak diperbolehkan karena akan memutus kehamilan sehingga mempersedikit keturunan. Ini bertentangan dengan tujuan syariat memperbanyak jumlah umat Islam. Juga, ada kemungkinan bahwa anak-anaknya yang ada akan meninggal, sehingga si wanita menjadi tidak punya anak sama sekali.

Kedua:
Mencegah kehamilan dalam jangka waktu tertentu. Seperti bila si wanita banyak hamil sedangkan hamil akan melemahkannya, dan dia ingin mengatur kehamilan setiap dua tahun sekali atau semacamnya. Hal yang seperti ini diperbolehkan, dengan syarat seijin suaminya dan tidak memadharatkan si wanita. Dalilnya, para shahabat dahulu melakukan ‘azal terhadap istri-istri mereka pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tujuan agar istri-istri mereka tidak hamil. Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melarang hal itu.” (Risalah fid Dima’ Ath-Thibi’iyyah lin Nisa`, hal. 44) (ed)

Footnote:

1. Ma’qil bin Yasar radhiallahu ‘anhu berkata: Seseorang datang menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu ia berkata: “Sesungguhnya aku mendapatkan seorang wanita cantik dan memiliki kedudukan, namun ia tidak dapat melahirkan anak, apakah boleh aku menikahinya?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Tidak boleh.” Orang itu datang lagi kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutarakan keinginan yang sama, namun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap melarangnya. Kemudian ketika ia datang untuk ketiga kalinya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

تَزَوَّجُوْا الوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ فَإِنَِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ اْلأُمَم
“Nikahilah oleh kalian wanita yang penyayang lagi subur (dapat melahirkan anak yang banyak) karena sesungguhnya aku berbangga-bangga dengan banyaknya kalian di hadapan umat-umat yang lain.” (HR. Abu Dawud no. 2050, dishahihkan Asy-Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad 2/211) -pent.

2. Ummu Sulaim, ibu Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai Rasulullah, ini Anas pelayanmu, mohonkanlah kepada Allah kebaikan untuknya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa:

اللّهُمَّ أَكْثِرْ مَالَهُ وَوَلَدَهُ, وَبَارِكْ لَهُ فِيْمَا أَعْطَيْتَهُ
“Ya Allah, banyakkanlah harta dan anaknya. Dan berkahilah dia atas apa yang Engkau berikan kepadanya.” (HR. Al-Bukhari no. 6378 dan Muslim no. 1499) -pent.

3. Mengeluarkan air mani di luar kemaluan istri, di mana ketika akan inzal, sang suami menarik kemaluannya dari kemaluan istrinya sehingga air maninya terbuang di luar farji (kemaluan). (Fathul Bari)

4. Hadits di atas diriwayatkan dalam Ash-Shahihain. Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menerangkan makna hadits di atas: “Setiap jiwa yang telah Allah takdirkan untuk diciptakan, maka pasti akan Ia ciptakan. Sama saja baik kalian melakukan ‘azal atau tidak. Sedangkan apa yang Allah tidak takdirkan untuk diciptakan maka pasti tidak terjadi, sama saja baik kalian melakukan ‘azal atau tidak. Dengan demikian ‘azal kalian tidak ada faedahnya, bila Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mentakdirkan penciptaan satu jiwa, maka air mani kalian mendahului kalian (ada yang tertumpah ke dalam farji tanpa kalian sadari) sehingga tidaklah bermanfaat semangat kalian untuk mencegah penciptaan Allah.” (Al-Minhaj, 10/252) -pent.

5. HR. Al-Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya. Tambahan faedah: Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu mengatakan: “Adapun di masa ini, didapatkan sarana-sarana yang memungkinkan seorang lelaki mencegah air maninya agar tidak tertumpah sama sekali (di kemaluan) istri, seperti apa yang disebut dengan rabthul mawasir (mengikat saluran telur) dan kondom yang dipasangkan di kemaluan ketika jima’, dan yang semacamnya… Bagaimanapun juga, yang dimakruhkan menurutku adalah bila dalam dua perkara ini atau salah satunya (yaitu dua hal yang timbul akibat terhalangnya tertumpahnya mani: pertama, memberi madharat dengan mengurangi kenikmatan istri, kedua: menghilangkan sebagian tujuan pernikahan), tidak ada tujuan seperti tujuan orang kafir melakukan ‘azal. Seperti takut miskin karena banyak anak dan terbebani untuk menafkahi serta mendidik mereka. Bila disertai hal ini maka hukumnya naik dari makruh ke tingkat haram, karena kesamaan niat orang yang melakukan ‘azal dengan tujuan orang kafir melakukannya. Di mana orang-orang kafir membunuh anak-anak mereka karena takut menafkahi dan takut miskin, sebagaimana telah diketahui. Berbeda halnya bila si wanita sakit, yang dokter mengkhawatirkan sakitnya akan bertambah parah bila hamil. Dalam keadaan ini, si wanita boleh memakai alat pencegah kehamilan untuk jangka waktu tertentu. Adapun bila sakitnya berbahaya dan dikhawatirkan menyebabkan kematian, si wanita boleh -dalam keadaan ini saja- bahkan wajib melakukan rabthul mawasir untuk menjaga agar dia tetap hidup. Wallahu a’lam. (Adabuz Zifaf, hal. 136-137)

***
(Sumber: Majalah Asy Syariah, Vol. II/No. 21/1427H/2006, kategori: Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah, hal. 89-90. Dicopy dari http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=344)

*****

BOLEHKAH BER-KB UNTUK KEPENTINGAN TARBIYAH ANAK ?
(Oleh: Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah)

Tanya:

Apakah dibolehkan menggunakan obat pencegah kehamilan untuk mengatur/menjarangkan kehamilan dengan tujuan agar dapat mendidik anak yang masih kecil?

Jawab:

Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah menjawab, “Tidak boleh menggunakan obat pencegah kehamilan kecuali dalam keadaan darurat, apabila memang pihak medis/dokter menyatakan kehamilan berisiko pada kematian ibu.

Namun menggunakan obat pencegah kehamilan dengan tujuan menunda sementara kehamilan yang berikutnya, tidaklah terlarang bila memang si ibu membutuhkannya. Misalnya karena kondisi kesehatannya tidak memungkinkan untuk hamil dalam interval waktu yang berdekatan, atau bila si ibu hamil lagi akan memudaratkan anak/bayinya yang masih menyusu. Dengan ketentuan, obat tersebut tidak memutus/menghentikan kehamilan sama sekali, tapi hanya sekedar menundanya. Bila memang demikian tidaklah terlarang sesuai dengan kebutuhan yang ada, dan tentunya setelah mendapat saran dari dokter spesialis kandungan.” (Al-Muntaqa min Fatawa Fadhilatisy Syaikh Shalih bin Fauzan, 3/175)

***
(Sumber: Majalah Asy Syari’ah, Vol. IV/No. 37/1429H/2008, Kategori Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah, hal. 89. Dicopy dari http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=607)

*****

HUKUM MENGKONSUMSI PIL KB
(Oleh: Asy-Syaikh Shalih bin ‘Abdillah bin Fauzan Al-Fauzan)

Soal:

Ada sebagian dari para ahli fiqih dan para dokter yang membolehkan untuk minum pil yang bisa menghalangi kehamilan. Apakah sikap mereka itu benar? Kami mengharap penjelasan dalam masalah ini.

Jawab:

Saya kira tidak ada satu pun dari ahli fiqih yang membolehkan minum pil penahan kehamilan, kecuali jika ada sebab yang syar’i, seperti: seorang perempuan yang tidak kuat untuk hamil, dan akan membahayakan kehidupan dan kelangsungannya. Maka dalam kondisi seperti ini, dia boleh minum pil penahan kehamilan karena dia tidak layak lagi untuk bisa hamil, dan kehamilannya akan merenggut kehidupannya. Dalam keadaan seperti ini, tidak mengapa untuk menggunakannya karena darurat.

Demikian pula minum pil yang menghalangi kehamilan atau menunda kehamilan -dengan ibarat yang lebih tepat-, untuk beberapa waktu, karena ada sebab. Seperti sakit atau terlalu sering melahirkan, sedangkan dia tidak mampu memberi gizi yang cukup kepada anak-anak. Maka dia minum pil yang menunda kehamilannya, sampai dia siap menyambut kehamilan berikutnya setelah selesai dari kehamilan yang pertama. Maka dalam kondisi seperti ini, tidak mengapa untuk (minum pil) tersebut.

Adapun minum pil penghalang kehamilan tanpa sebab yang syar’i, hal ini tidak diperbolehkan. Karena kehamilan adalah sesuatu yang dituntut dalam Islam, juga (adanya) keturunan. Jika minum pil penghalang kehamilan karena menghindar dari keturunan dan untuk membatasi keturunan (KB, -penj.), seperti perkataan musuh-musuh Islam, maka hukumnya adalah haram. Dan tidak ada seorang pun dari ahli fiqih mu’tabar (yang diperhitungkan pendapatnya) membolehkannya. Adapun ahli kedokteran terkadang ada yang membolehkannya karena mereka tidak mengerti hukum-hukum syari’at. [1]

Footnote:
[1] Majalah Ad-Dakwah, no. 2087, 17 Rabi’ Awal 1428H.

***
[Dinukil dari Majalah An-Nashihah, vol. 13 tahun 1429H/2008M, hal. 4, judul: Hukum Minum Pil KB, untuk http://almuslimah.co.nr%5D

*****

HUKUM KB
(Oleh : Al-Ustadz Dzulqarnain M Sunusi)

Soal:

Assalamualikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Ustadz, Ana mau nanya mengenai hukum KB.
Bagaimana hukum ikut program KB dengan niat untuk mengatur Jarak Kelahiran Anak. Mohon penjelasannya. Jazakallahu Khairan

[Abu Alilah]

Jawab:

Wa’alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh,
Untuk pertanyaan Al-Akh Abu Alilah –semoga Allah senantiasa memberi taufiq kepad beliau-, jawabannya adalah sebagai berikut;

Pertama;
Diantara maksud dan tujuan pernikahan adalah untuk. meningkatkan nilai ibadah kepada Allah, memperoleh keturunan dan melaksanakan perintah Nabi shallallâhu `alaihi wa sallam yang bertutur;
“Nikahilah perempuan yang dapat banyak melahirkan lagi penyayang, sebab saya berbangga dengan umatku yang banyak.” (Dikeluarkan oleh Ahmad, Abu Daud dan An-Nasa`iy dari Hadits Ma’qil bin Yasar, Dishohihkan oleh Al-Albany)

Dari keterangan di atas, nampak bahwa hukum asal dalam menggunakan KB adalah hal yang tidak diperbolehkan.

Dua;
Bila seseorang perempuan mempunyai udzur –karena suatu penyakit, membahayakan anak-anaknya dan semisalnya- maka hal tersebut diperbolehkan, Hal tersebut karena kaidah dasar agama kita yang tidak membebani seorang hamba kecuali sesuai dengan kemampuannya sebagaimana ditunjukkan oleh dalil-dalil yang sangat banyak. Namun bagi siapa yang ber-KB karena udzur, hendaknya yang memasang alat KB dokter yang ahli sehingga tidak mengganggu siklus haidnya yang merupakan penentuan ibadah sholat dan puasanya. Demikian kesimpulan yang saya pahami dari keterangan ulama dan guru-guru kami dari ulama besar di masa ini. Wallahu A’lam.

Semoga jawaban ini bermanfaat, Wallâhu Al-Muwaffiq.

***
Sumber:

http://groups.yahoo.com/group/nashihah/message/32

Tidak ada komentar:

Posting Komentar