Jumat, 31 Agustus 2012

BERJILBAB YANG DIANJURKAN ISLAM DAN DILARANG OLEH ISLAM: CARA BERJILBAB YANG DI AJARKAN OLEH AL-QUR'AN

CARA BERJILBAB YANG DI AJARKAN OLEH AL-QUR'AN

Setiap muslimah diwajibkan memakai jilbab untuk menutup auratnya. Tetapi dalam berjilbab ini ternyata masih banyak yang salah, melenceng dari syariat islam dan cenderung menjerumus ke hal yang dilarang. Berikut adalah cara berjilbab yang banyak berkembang dikalangan muslimah tetapi sebenarnya salah dan dilarang. Dalam berjilbab seharusnya para muslimah jangan mendahulukan fashion ketimbang syariat. Fashion boleh, dianjurkan malah. Allah itu indah dan mencintai keindahan. Tetapi fashion harus mengikut syariat, bukan syariat yang mengikut fashion.
Mari kita lihat fashion jilbab sekarang yang salah dan boleh dikatakan menyerupai pakaian agama lain:
1. jilbab yang bersanggul.



Larangan jilbab yang bersanggul ini datang sendiri dari nabi Muhammad SAW seperti yang terlihat pada gambar di atas.
Rasullullah bersabda “ada dua golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat:
1. Suatu kaum yang memiliki cemeti seperti ekor lembu untuk memukul manusia dan,
2. Para wanita yang berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti bonggol unta yang bergoyang-goyang.
Wanita yang seperti itu tidak akan masuk syurga dan tidak akan mencium baunya. Sedangkan baunya dapat tercium selama perjalanan sekian dan sekian” (HR. Muslim)

Jelas sekali diterangkan rasulullah bahwa wanita yang seperti itu tidak akan masuk syurga dan mencium baunya pun tidak. Maka ini peringatan bagi para muslimah untuk bermuhasabah diri.

2. fashion jilbab menyerupai biarawati kristian

Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang menterupai suatu kaum, maka ia termasuk dari golongan mereka”(HR. Abu Dawud, dishahihkan oleh Ibnu Hibban)


Sangat dilarang umat islam untuk menyerupai suatu kaum. Nah disini dibahas fashion yang menyerupai biarawati kristian, yang seperti apa itu? Fashion para biarawati yaitu menggunakan penutup seperti jilbab dengan menampakkan bentuk lehernya. Mungkin masih sering kita jumpai para muslimah yang mengenakan jilbab dengan menampakkan bentuk lehernya. Itu merukan hal yang dilarang karena menyerupai kaum kristian.

Baik telah ana jelaskan diatas tentang cara berjilbab yang mungkin masih banyak atau sedang ngetren-ngetren nya di kalangan muslimah apalagi remaja, tetapi sayangnya dilarang. Mungkin masih banyak yang belum mengetahui tentang informasi ini, jadi bagi sahabat yang sudah mengetahuinya, ana harap dapat diamalkan.

Jadi kalau sahabat masih menemukan teman atau saudara kita menggunakan fashion jilbab seperti diatas. Alangkah baiknya untuk sekedar member tahu atau member pencerahan. Tetapi harus dengan baik-baik dengan cara yang lembut tanpa menyakiti hati saudara kita itu.

NB: alangkah indah lagi jika para muslimah menghulurkan jilbabnya ke seluruh tubuhnya, pasti akan lebih terlihat cantik dan manis..

Wallahu alam bi shawab..

cara berjilbab yang benar




Jadi bagi para kaum hawa, mulai saat inilh kita harus memperbaiki cara berpakaian kita yang selama ini tidak sesuai dengan syari'at islam, di dunia inilah kita bisa memperbaiki, tetapi jika nyawa sudah di kerongkongan, maka kita akan menyesal selama-lamanya, ini adalah perintah Allah SWT melalui Al-Qur'an mari kita bertaqwa dengan menjalankan syari'at yang diperintahkan oleh Allah SWT.

Allah Jalla wa ’Ala berfirman yang artinya:
"Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri istrimu, anak anak perempuanmu dan istri istri orang mukmin, "Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". (QS. Al Ahzaab: 59).

Senin, 27 Agustus 2012

Doa Para Akhwat yang sangat merindukan datangnya seorang pendamping....

Untuk Para Akhwat.... mari kita Aminkan Doa ini.......
Untuk Para Ikhwan.... Dengarlah Doa Para Akhwat yang sangat merindukan datangnya seorang pendamping....

"Peringatan Rasulullah: "Bukan termasuk golonganku orang-orang yang merasa khawatir akan terkungkung hidupnya karena menikah kemudian ia tidak menikah." (HR. Thabrani). "

Apa yang menghimpit saudara kita sehingga MEREKA SANGGUP MENETESKAN AIR MATA. Awalnya adalah KARENA MEREKA MENUNDA APA YANG HARUS DISEGERAKAN, MEMPERSULIT APA YANG SEHARUSNYA DIMUDAHKAN. Padahal Rasululloh berpesan: "Wahai Ali, ada TIGA PERKARA JANGAN DITUNDA-TUNDA, apabila SHOLAT TELAH TIBA WAKTUNYA, JENAZAH APABILA TELAH SIAP PENGUBURANNYA, dan PEREMPUAN APABILA TELAH DATANG LAKI-LAKI YANG SEPADAN MEMINANGNYA." (HR Ahmad) "
-- M. Fauzil Adhim

****************************
A Prayer

Tuhanku...
Aku berdo'a untuk seorang pria yang akan menjadi bagian dari hidupku
Seseorang yang sungguh mencintaiMu lebih dari segala sesuatu
Seorang pria yang akan meletakkanku pada posisi kedua di hatinya setelah Engkau
Seorang pria yang hidup bukan untuk dirinya sendiri tetapi untukMu

Wajah tampan dan daya tarik fisik tidaklah penting
Yang penting adalah sebuah hati yang sungguh mencintai dan dekat dengan Engkau
dan berusaha menjadikan sifat-sifatMu ada pada dirinya
Dan ia haruslah mengetahui bagi siapa dan untuk apa ia hidup sehingga hidupnya tidaklah sia-sia

Seseorang yang memiliki hati yang bijak tidak hanya otak yang cerdas
Seorang pria yang tidak hanya mencintaiku tapi juga menghormatiku
Seorang pria yang tidak hanya memujaku tetapi juga dapat menasihatiku ketika aku berbuat salah

Seseorang yang mencintaiku bukan karena kecantikanku tapi karena hatiku
Seorang pria yang dapat menjadi sahabat terbaikku dalam setiap waktu dan situasi
Seseorang yang dapat membuatku merasa sebagai seorang wanita ketika aku di sisinya

Tuhanku...
Aku tidak meminta seseorang yang sempurna namun aku meminta seseorang yang tidak sempurna,
sehingga aku dapat membuatnya sempurna di mataMu
Seorang pria yang membutuhkan dukunganku sebagai peneguhnya
Seorang pria yang membutuhkan doaku untuk kehidupannya
Seseorang yang membutuhkan senyumku untuk mengatasi kesedihannya
Seseorang yang membutuhkan diriku untuk membuat hidupnya menjadi sempurna

Tuhanku...
Aku juga meminta,
Buatlah aku menjadi wanita yang dapat membuatnya bangga
Berikan aku hati yang sungguh mencintaiMu sehingga aku dapat mencintainya dengan sekedar cintaku

Berikanlah sifat yang lembut sehingga kecantikanku datang dariMu
Berikanlah aku tangan sehingga aku selalu mampu berdoa untuknya
Berikanlah aku penglihatan sehingga aku dapat melihat banyak hal baik dan bukan hal buruk dalam dirinya
Berikanlah aku lisan yang penuh dengan kata-kata bijaksana,
mampu memberikan semangat serta mendukungnya setiap saat dan tersenyum untuk dirinya setiap pagi

Dan bilamana akhirnya kami akan bertemu, aku berharap kami berdua dapat mengatakan:
"Betapa Maha Besarnya Engkau karena telah memberikan kepadaku pasangan yang dapat membuat hidupku menjadi sempurna."

Aku mengetahui bahwa Engkau ingin kami bertemu pada waktu yang tepat
Dan Engkau akan membuat segala sesuatunya indah pada waktu yang telah Engkau tentukan

Amin....

Agenda Harian

Semoga kita senantiasa terpacu untuk mengukir prestasi amal yang akan memperberat timbangan kebaikan di yaumil akhir, berikut rangkaian yang bisa dilakukan

1. Agenda pada sepertiga malam akhir

a. Menunaikan shalat tahajjud dengan memanjangkan waktu pada saat ruku’ dan sujud di dalamnya,

b. Menunaikan shalat witir

c. Duduk untuk berdoa dan memohon ampun kepada Allah hingga azan subuh

Rasulullah saw bersabda:

يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الْآخِرُ فَيَقُولُ مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ

“Sesungguhnya Allah SWT selalu turun pada setiap malam menuju langit dunia saat 1/3 malam terakhir, dan Dia berkata: “Barangsiapa yang berdoa kepada-Ku maka akan Aku kabulkan, dan barangsiapa yang meminta kepada-Ku maka akan Aku berikan, dan barangsiapa yang memohon ampun kepada-Ku maka akan Aku ampuni”. (HR. Bukhari Muslim)


2. Agenda Setelah Terbit Fajar

a. Menjawab seruan azan untuk shalat subuh

” الَّلهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلاَةِ الْقَائِمَةِ آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيْلَةَ وَالْفَضِيْلَةَ وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُوْدًا الَّذِي وَعَدْتَهُ “

“Ya Allah, Tuhan pemilik seruan yang sempurna ini, shalat yang telah dikumandangkan, berikanlah kepada Nabi Muhammad wasilah dan karunia, dan bangkitkanlah dia pada tempat yang terpuji seperti yang telah Engkau janjikan. (Ditashih oleh Al-Albani)

b. Menunaikan shalat sunnah fajar di rumah dua rakaat

Rasulullah saw bersabda:

رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيْهَا

“Dua rakaat sunnah fajar lebih baik dari dunia dan segala isinya”. (Muslim)

وَ قَدْ قَرَأَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فِي رَكْعَتَي الْفَجْرِ قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُوْنَ وَقُلْ هُوَ اللهُ أَحَدَ

“Nabi saw pada dua rakaat sunnah fajar membaca surat “Qul ya ayyuhal kafirun” dan “Qul huwallahu ahad”.

c. Menunaikan shalat subuh berjamaah di masjid –khususnya- bagi laki-laki.

Rasulullah saw bersabda:

وَلَوْ يَعْلَمُوْنَ مَا فِي الْعَتْمَةِ وَالصُّبْحِ لأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا

“Sekiranya manusia tahu apa yang ada dalam kegelapan dan subuh maka mereka akan mendatanginya walau dalam keadaan tergopoh-gopoh” (Muttafaqun alaih)

بَشِّرِ الْمَشَّائِيْنَ فِي الظّلَمِ إِلَى الْمَسَاجِدِ بِالنُّوْرِ التَّامِّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Berikanlah kabar gembira kepada para pejalan di kegelapan menuju masjid dengan cahaya yang sempurna pada hari kiamat”. (Tirmidzi dan ibnu Majah)

d. Menyibukkan diri dengan doa, dzikir atau tilawah Al-Quran hingga waktu iqamat shalat

Rasulullah saw bersabda:

الدُّعَاءُ لاَ يُرَدُّ بَيْنَ الأَذَانِ وَالإِقَامَةِ

“Doa antara adzan dan iqamat tidak akan ditolak” (Ahmad dan Tirmidzi dan Abu Daud)

e. Duduk di masjid bagi laki-laki /mushalla bagi wanita untuk berdzikir dan membaca dzikir waktu pagi

Dalam hadits nabi disebutkan:

كَانَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” إَذَا صَلَّى الْفَجْرَ تَرَبَّعَ فِي مَجْلِسِهِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ الْحَسَنَاءُ

” Nabi saw jika selesai shalat fajar duduk di tempat duduknya hingga terbit matahari yang ke kuning-kuningan”. (Muslim)

Agenda prioritas

Membaca Al-Quran.

Allah SWT berfirman:

“Sesungguhnya waktu fajar itu disaksikan (malaikat). (Al-Isra : 78) Dan memiliki komitmen sesuai kemampuannya untuk selalu:

- Membaca ½ hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 1 kali

- Membaca 1 hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 2 kali

- Bagi yang mampu menambah lebih banyak dari itu semua, maka akan menuai kebaikan berlimpah insya Allah.

3. Menunaikan shalat Dhuha walau hanya dua rakaat

Rasulullah saw bersabda:

يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنْ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنْ الضُّحَى

“Setiap ruas tulang tubuh manusia wajib dikeluarkan sedekahnya, setiap hari ketika matahari terbit. Mendamaikan antara dua orang yang berselisih adalah sedekah, menolong orang dengan membantunya menaiki kendaraan atau mengangkat kan barang ke atas kendaraannya adalah sedekah, kata-kata yang baik adalah sedekah, tiap-tiap langkahmu untuk mengerjakan shalat adalah sedekah, dan membersihkan rintangan dari jalan adalah sedekah”. (Bukhari dan Muslim)

4. Berangkat kerja atau belajar dengan berharap karena Allah

Rasulullah saw bersabda:

مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمِلِ يَدِهِ، وَكَانَ دَاوُدُ لا يَأْكُلُ إِلا مِنْ عَمِلِ يَدِهِ

“Tidaklah seseorang memakan makanan, lebih baik dari yang didapat oleh tangannya sendiri, dan bahwa nabi Daud makan dari hasil tangannya sendiri”. (Bukhari)

Dalam hadits lainnya nabi juga bersabda:

مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ

“Barangsiapa yang berjalan dalam rangka mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga”. (Muslim)

d. Menyibukkan diri dengan dzikir sepanjang hari

Allah berfirman :

أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

“Ketahuilah dengan berdzikir kepada Allah maka hati akan menjadi tenang” (Ra’ad : 28)

Rasulullah saw bersabda:

أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللهَ أَنْ تَمُوْتَ ولسانُك رَطْبٌ من ذِكْرِ الله

“Sebaik-baik perbuatan kepada Allah adalah saat engkau mati sementara lidahmu basah dari berdzikir kepada Allah” (Thabrani dan Ibnu Hibban) .

5. Agenda saat shalat Zhuhur

a. Menjawab azan untuk shalat Zhuhur, lalu menunaikan shalat Zhuhur berjamaah di Masjid khususnya bagi laki-laki

b. Menunaikan sunnah rawatib sebelum Zhuhur 4 rakaat dan 2 rakaat setelah Zhuhur

Rasulullah saw bersabda:

مَنْ صَلَّى اثْنَتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً فِي يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ بُنِيَ لَهُ بِهِنَّ بَيْتٌ فِي الْجَنَّةِ

“Barangsiapa yang shalat 12 rakaat pada siang dan malam hari maka Allah akan membangunkan baginya dengannya rumah di surga”. (Muslim).

6. Agenda saat dan setelah shalat Ashar

a. Menjawab azan untuk shalat Ashar, kemudian dilanjutkan dengan menunaikan shalat Ashar secara berjamaah di masjid

b. Mendengarkan nasihat di masjid (jika ada)

Rasulullah saw bersabda:

مَنْ غَدَا إِلَى الْمَسْجِدِ لا يُرِيدُ إِلا أَنْ يَتَعَلَّمَ خَيْرًا أَوْ يَعْلَمَهُ، كَانَ لَهُ كَأَجْرِ حَاجٍّ تَامًّا حِجَّتُهُ

“Barangsiapa yang pergi ke masjid tidak menginginkan yang lain kecuali belajar kebaikan atau mengajarkannya, maka baginya ganjaran haji secara sempurna”. (Thabrani – hasan shahih)

c. Istirahat sejenak dengan niat yang karena Allah

Rasulullah saw bersabda:

وَإِنَّ لِبَدَنِكَ عَلَيْكَ حَقٌّ

“Sesungguhnya bagi setiap tubuh atasmu ada haknya”.

Agenda prioritas:

Membaca Al-Quran dan berkomitmen semampunya untuk:

- Membaca ½ hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 1 kali

- Membaca 1 hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 2 kali

- Bagi yang mampu menambah sesuai kemampuan, maka akan menuai kebaikan yang berlimpah insya Allah.

7. Agenda sebelum Maghrib

a. Memperhatikan urusan rumah tangga – melakukan mudzakarah – Menghafal Al-Quran

b. Mendengarkan ceramah, nasihat, khutbah, untaian hikmah atau dakwah melalui media

c. Menyibukkan diri dengan doa

Rasulullah saw bersabda:

الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ

“Doa adalah ibadah”

8. Agenda setelah terbenam matahari

a. Menjawab azan untuk shalat Maghrib

b. Menunaikan shalat Maghrib secara berjamaah di masjid (khususnya bagi laki-laki)

c. Menunaikan shalat sunnah rawatib setelah Maghrib – 2 rakaat

d. Membaca dzikir sore

e. Mempersiapkan diri untuk shalat Isya lalu melangkahkan kaki menuju masjid

Rasulullah saw bersabda:

مَنْ تَطَهَّرَ فِي بَيْتِهِ ثُمَّ مَشَى إِلَى بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ لِيَقْضِيَ فَرِيضَةً مِنْ فَرَائِضِ اللَّهِ كَانَتْ خَطْوَتَاهُ إِحْدَاهُمَا تَحُطُّ خَطِيئَةً وَالْأُخْرَى تَرْفَعُ دَرَجَةً

“Barangsiapa yang bersuci/berwudhu kemudian berjalan menuju salah satu dari rumah-rumah Allah untuk menunaikan salah satu kewajiban dari kewajiban Allah, maka langkah-langkahnya akan menggugurkan kesalahan dan yang lainnya mengangkat derajatnya”. (Muslim)

9. Agenda pada waktu shalat Isya

a. Menjawab azan untuk shalat Isya kemudian menunaikan shalat Isya secara jamaah di masjid

b. Menunaikan shalat sunnah rawatib setelah Isya – 2 rakaat

c. Duduk bersama keluarga/melakukan silaturahim

d. Mendengarkan ceramah, nasihat dan untaian hikmah di Masjid

e. Dakwah melalui media atau lainnya

f. Melakukan mudzakarah

g. Menghafal Al-Quran

Agenda prioritas

Membaca Al-Quran dengan berkomitmen sesuai dengan kemampuannya untuk:

- Membaca ½ hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 1 kali

- Membaca 1 hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 2 kali

- Bagi yang mampu menambah sesuai kemampuan bacaan maka telah menuai kebaikan berlimpah insya Allah.


Apa yang kita jelaskan di sini merupakan contoh, sehingga tidak harus sama persis dengan yang kami sampaikan, kondisional tergantung masing-masing individu. Semoga ikhtiar ini bisa memandu kita untuk optimalisasi ibadah insya Allah. Allahu a’lam

Jazaakillah

Sedikit revisi dari : http://www.al-ikhwan.net/agenda-harian-ramadhan-menuju-bahagia-di-bulan-ramadhan-2989/

Agenda Harian

Semoga kita senantiasa terpacu untuk mengukir prestasi amal yang akan memperberat timbangan kebaikan di yaumil akhir, berikut rangkaian yang bisa dilakukan

1. Agenda pada sepertiga malam akhir

a. Menunaikan shalat tahajjud dengan memanjangkan waktu pada saat ruku’ dan sujud di dalamnya,

b. Menunaikan shalat witir

c. Duduk untuk berdoa dan memohon ampun kepada Allah hingga azan subuh

Rasulullah saw bersabda:

يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الْآخِرُ فَيَقُولُ مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ

“Sesungguhnya Allah SWT selalu turun pada setiap malam menuju langit dunia saat 1/3 malam terakhir, dan Dia berkata: “Barangsiapa yang berdoa kepada-Ku maka akan Aku kabulkan, dan barangsiapa yang meminta kepada-Ku maka akan Aku berikan, dan barangsiapa yang memohon ampun kepada-Ku maka akan Aku ampuni”. (HR. Bukhari Muslim)


2. Agenda Setelah Terbit Fajar

a. Menjawab seruan azan untuk shalat subuh

” الَّلهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلاَةِ الْقَائِمَةِ آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيْلَةَ وَالْفَضِيْلَةَ وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُوْدًا الَّذِي وَعَدْتَهُ “

“Ya Allah, Tuhan pemilik seruan yang sempurna ini, shalat yang telah dikumandangkan, berikanlah kepada Nabi Muhammad wasilah dan karunia, dan bangkitkanlah dia pada tempat yang terpuji seperti yang telah Engkau janjikan. (Ditashih oleh Al-Albani)

b. Menunaikan shalat sunnah fajar di rumah dua rakaat

Rasulullah saw bersabda:

رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيْهَا

“Dua rakaat sunnah fajar lebih baik dari dunia dan segala isinya”. (Muslim)

وَ قَدْ قَرَأَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فِي رَكْعَتَي الْفَجْرِ قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُوْنَ وَقُلْ هُوَ اللهُ أَحَدَ

“Nabi saw pada dua rakaat sunnah fajar membaca surat “Qul ya ayyuhal kafirun” dan “Qul huwallahu ahad”.

c. Menunaikan shalat subuh berjamaah di masjid –khususnya- bagi laki-laki.

Rasulullah saw bersabda:

وَلَوْ يَعْلَمُوْنَ مَا فِي الْعَتْمَةِ وَالصُّبْحِ لأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا

“Sekiranya manusia tahu apa yang ada dalam kegelapan dan subuh maka mereka akan mendatanginya walau dalam keadaan tergopoh-gopoh” (Muttafaqun alaih)

بَشِّرِ الْمَشَّائِيْنَ فِي الظّلَمِ إِلَى الْمَسَاجِدِ بِالنُّوْرِ التَّامِّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Berikanlah kabar gembira kepada para pejalan di kegelapan menuju masjid dengan cahaya yang sempurna pada hari kiamat”. (Tirmidzi dan ibnu Majah)

d. Menyibukkan diri dengan doa, dzikir atau tilawah Al-Quran hingga waktu iqamat shalat

Rasulullah saw bersabda:

الدُّعَاءُ لاَ يُرَدُّ بَيْنَ الأَذَانِ وَالإِقَامَةِ

“Doa antara adzan dan iqamat tidak akan ditolak” (Ahmad dan Tirmidzi dan Abu Daud)

e. Duduk di masjid bagi laki-laki /mushalla bagi wanita untuk berdzikir dan membaca dzikir waktu pagi

Dalam hadits nabi disebutkan:

كَانَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” إَذَا صَلَّى الْفَجْرَ تَرَبَّعَ فِي مَجْلِسِهِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ الْحَسَنَاءُ

” Nabi saw jika selesai shalat fajar duduk di tempat duduknya hingga terbit matahari yang ke kuning-kuningan”. (Muslim)

Agenda prioritas

Membaca Al-Quran.

Allah SWT berfirman:

“Sesungguhnya waktu fajar itu disaksikan (malaikat). (Al-Isra : 78) Dan memiliki komitmen sesuai kemampuannya untuk selalu:

- Membaca ½ hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 1 kali

- Membaca 1 hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 2 kali

- Bagi yang mampu menambah lebih banyak dari itu semua, maka akan menuai kebaikan berlimpah insya Allah.

3. Menunaikan shalat Dhuha walau hanya dua rakaat

Rasulullah saw bersabda:

يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنْ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنْ الضُّحَى

“Setiap ruas tulang tubuh manusia wajib dikeluarkan sedekahnya, setiap hari ketika matahari terbit. Mendamaikan antara dua orang yang berselisih adalah sedekah, menolong orang dengan membantunya menaiki kendaraan atau mengangkat kan barang ke atas kendaraannya adalah sedekah, kata-kata yang baik adalah sedekah, tiap-tiap langkahmu untuk mengerjakan shalat adalah sedekah, dan membersihkan rintangan dari jalan adalah sedekah”. (Bukhari dan Muslim)

4. Berangkat kerja atau belajar dengan berharap karena Allah

Rasulullah saw bersabda:

مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمِلِ يَدِهِ، وَكَانَ دَاوُدُ لا يَأْكُلُ إِلا مِنْ عَمِلِ يَدِهِ

“Tidaklah seseorang memakan makanan, lebih baik dari yang didapat oleh tangannya sendiri, dan bahwa nabi Daud makan dari hasil tangannya sendiri”. (Bukhari)

Dalam hadits lainnya nabi juga bersabda:

مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ

“Barangsiapa yang berjalan dalam rangka mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga”. (Muslim)

d. Menyibukkan diri dengan dzikir sepanjang hari

Allah berfirman :

أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

“Ketahuilah dengan berdzikir kepada Allah maka hati akan menjadi tenang” (Ra’ad : 28)

Rasulullah saw bersabda:

أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللهَ أَنْ تَمُوْتَ ولسانُك رَطْبٌ من ذِكْرِ الله

“Sebaik-baik perbuatan kepada Allah adalah saat engkau mati sementara lidahmu basah dari berdzikir kepada Allah” (Thabrani dan Ibnu Hibban) .

5. Agenda saat shalat Zhuhur

a. Menjawab azan untuk shalat Zhuhur, lalu menunaikan shalat Zhuhur berjamaah di Masjid khususnya bagi laki-laki

b. Menunaikan sunnah rawatib sebelum Zhuhur 4 rakaat dan 2 rakaat setelah Zhuhur

Rasulullah saw bersabda:

مَنْ صَلَّى اثْنَتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً فِي يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ بُنِيَ لَهُ بِهِنَّ بَيْتٌ فِي الْجَنَّةِ

“Barangsiapa yang shalat 12 rakaat pada siang dan malam hari maka Allah akan membangunkan baginya dengannya rumah di surga”. (Muslim).

6. Agenda saat dan setelah shalat Ashar

a. Menjawab azan untuk shalat Ashar, kemudian dilanjutkan dengan menunaikan shalat Ashar secara berjamaah di masjid

b. Mendengarkan nasihat di masjid (jika ada)

Rasulullah saw bersabda:

مَنْ غَدَا إِلَى الْمَسْجِدِ لا يُرِيدُ إِلا أَنْ يَتَعَلَّمَ خَيْرًا أَوْ يَعْلَمَهُ، كَانَ لَهُ كَأَجْرِ حَاجٍّ تَامًّا حِجَّتُهُ

“Barangsiapa yang pergi ke masjid tidak menginginkan yang lain kecuali belajar kebaikan atau mengajarkannya, maka baginya ganjaran haji secara sempurna”. (Thabrani – hasan shahih)

c. Istirahat sejenak dengan niat yang karena Allah

Rasulullah saw bersabda:

وَإِنَّ لِبَدَنِكَ عَلَيْكَ حَقٌّ

“Sesungguhnya bagi setiap tubuh atasmu ada haknya”.

Agenda prioritas:

Membaca Al-Quran dan berkomitmen semampunya untuk:

- Membaca ½ hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 1 kali

- Membaca 1 hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 2 kali

- Bagi yang mampu menambah sesuai kemampuan, maka akan menuai kebaikan yang berlimpah insya Allah.

7. Agenda sebelum Maghrib

a. Memperhatikan urusan rumah tangga – melakukan mudzakarah – Menghafal Al-Quran

b. Mendengarkan ceramah, nasihat, khutbah, untaian hikmah atau dakwah melalui media

c. Menyibukkan diri dengan doa

Rasulullah saw bersabda:

الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ

“Doa adalah ibadah”

8. Agenda setelah terbenam matahari

a. Menjawab azan untuk shalat Maghrib

b. Menunaikan shalat Maghrib secara berjamaah di masjid (khususnya bagi laki-laki)

c. Menunaikan shalat sunnah rawatib setelah Maghrib – 2 rakaat

d. Membaca dzikir sore

e. Mempersiapkan diri untuk shalat Isya lalu melangkahkan kaki menuju masjid

Rasulullah saw bersabda:

مَنْ تَطَهَّرَ فِي بَيْتِهِ ثُمَّ مَشَى إِلَى بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ لِيَقْضِيَ فَرِيضَةً مِنْ فَرَائِضِ اللَّهِ كَانَتْ خَطْوَتَاهُ إِحْدَاهُمَا تَحُطُّ خَطِيئَةً وَالْأُخْرَى تَرْفَعُ دَرَجَةً

“Barangsiapa yang bersuci/berwudhu kemudian berjalan menuju salah satu dari rumah-rumah Allah untuk menunaikan salah satu kewajiban dari kewajiban Allah, maka langkah-langkahnya akan menggugurkan kesalahan dan yang lainnya mengangkat derajatnya”. (Muslim)

9. Agenda pada waktu shalat Isya

a. Menjawab azan untuk shalat Isya kemudian menunaikan shalat Isya secara jamaah di masjid

b. Menunaikan shalat sunnah rawatib setelah Isya – 2 rakaat

c. Duduk bersama keluarga/melakukan silaturahim

d. Mendengarkan ceramah, nasihat dan untaian hikmah di Masjid

e. Dakwah melalui media atau lainnya

f. Melakukan mudzakarah

g. Menghafal Al-Quran

Agenda prioritas

Membaca Al-Quran dengan berkomitmen sesuai dengan kemampuannya untuk:

- Membaca ½ hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 1 kali

- Membaca 1 hizb dari Al-Quran untuk mendapatkan khatam Al-Quran sebanyak 2 kali

- Bagi yang mampu menambah sesuai kemampuan bacaan maka telah menuai kebaikan berlimpah insya Allah.


Apa yang kita jelaskan di sini merupakan contoh, sehingga tidak harus sama persis dengan yang kami sampaikan, kondisional tergantung masing-masing individu. Semoga ikhtiar ini bisa memandu kita untuk optimalisasi ibadah insya Allah. Allahu a’lam

Jazaakillah

Sedikit revisi dari : http://www.al-ikhwan.net/agenda-harian-ramadhan-menuju-bahagia-di-bulan-ramadhan-2989/

Hukum Berjabat Tangan Antara Laki-Laki dengan Perempuan Fiqih Kontemporer Oleh: Tim dakwatuna.com

Sebuah persoalan yang sedang saya hadapi, dan sudah barang tentu juga dihadapi orang lain, yaitu masalah berjabat tangan antara laki-laki dengan wanita, khususnya terhadap kerabat yang bukan mahram saya, seperti anak paman atau anak bibi, atau istri saudara ayah atau istri saudara ibu, atau saudara wanita istri saya, atau wanita-wanita lainnya yang ada hubungan kekerabatan atau persemendaan dengan saya. Lebih-lebih dalam momen-momen tertentu, seperti datang dari bepergian, sembuh dari sakit, datang dari haji atau umrah, atau saat-saat lainnya yang biasanya para kerabat, semenda, tetangga, dan teman-teman lantas menemuinya dan bertahni’ah (mengucapkan selamat atasnya) dan berjabat tangan antara yang satu dengan yang lain.

Pertanyaan saya, apakah ada nash Al-Qur’an atau As-Sunnah yang mengharamkan berjabat tangan antara laki-laki dengan wanita, sementara sudah saya sebutkan banyak motivasi kemasyarakatan atau kekeluargaan yang melatarinya, di samping ada rasa saling percaya. Aman dari fitnah, dan jauh dari rangsangan syahwat. Sedangkan kalau kita tidak mau berjabat tangan, maka mereka memandang kita orang-orang beragama ini kuno dan terlalu ketat, merendahkan wanita, selalu berprasangka buruk kepadanya, dan sebagainya.

Apabila ada dalil syar’inya, maka kami akan menghormatinya dengan tidak ragu-ragu lagi, dan tidak ada yang kami lakukan kecuali mendengar dan mematuhi, sebagai konsekuensi keimanan kami kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan jika hanya semata-mata hasil ijtihad fuqaha-fuqaha kita terdahulu, maka adakalanya fuqaha-fuqaha kita sekarang boleh berbeda pendapat dengannya, apabila mereka mempunyai ijtihad yang benar, dengan didasarkan pada tuntutan peraturan yang senantiasa berubah dan kondisi kehidupan yang selalu berkembang.

Karena itu, saya menulis surat ini kepada Ustadz dengan harapan Ustadz berkenan membahasnya sampai ke akar-akarnya berdasarkan Al-Qur’anul Karim dan Al-Hadits asy-Syarif. Kalau ada dalil yang melarang sudah tentu kami akan berhenti; tetapi jika dalam hal ini terdapat kelapangan, maka kami tidak mempersempit kelapangan-kelapangan yang diberikan Allah kepada kami, lebih-lebih sangat diperlukan dan bisa menimbulkan “bencana” kalau tidak dipenuhi.

Saya berharap kesibukan-kesibukan Ustadz yang banyak itu tidak menghalangi Ustadz untuk menjawab surat saya ini, sebab – sebagaimana saya katakan di muka – persoalan ini bukan persoalan saya seorang, tetapi mungkin persoalan berjuta-juta orang seperti saya.

Semoga Allah melapangkan dada Ustadz untuk menjawab, dan memudahkan kesempatan bagi Ustadz untuk menahkik masalah, dan mudah-mudahan Dia menjadikan Ustadz bermanfaat.

Jawaban

Tidak perlu saya sembunyikan kepada saudara penanya bahwa masalah hukum berjabat tangan antara laki-laki dengan perempuan – yang saudara tanyakan itu – merupakan masalah yang amat penting, dan untuk menahkik hukumnya tidak bisa dilakukan dengan seenaknya. Ia memerlukan kesungguhan dan pemikiran yang optimal dan ilmiah sehingga si mufti harus bebas dari tekanan pikiran orang lain atau pikiran yang telah diwarisi dari masa-masa lalu, apabila tidak didapati acuannya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah sehingga argumentasi-argumentasinya dapat didiskusikan untuk memperoleh pendapat yang lebih kuat dan lebih mendekati kebenaran menurut pandangan seorang faqih, yang di dalam pembahasannya hanya mencari ridha Allah, bukan memperturutkan hawa nafsu.

Sebelum memasuki pembahasan dan diskusi ini, saya ingin mengeluarkan dua buah gambaran dari lapangan perbedaan pendapat ini, yang saya percaya bahwa hukum kedua gambaran itu tidak diperselisihkan oleh fuqaha-fuqaha terdahulu, menurut pengetahuan saya. Kedua gambaran itu ialah:

Pertama, diharamkan berjabat tangan dengan wanita apabila disertai dengan syahwat dan taladzdzudz (berlezat-lezat) dari salah satu pihak, laki-laki atau wanita (kalau keduanya dengan syahwat sudah barang tentu lebih terlarang lagi; penj.) atau di belakang itu dikhawatirkan terjadinya fitnah, menurut dugaan yang kuat. Ketetapan diambil berdasarkan pada hipotesis bahwa menutup jalan menuju kerusakan itu adalah wajib, lebih-lebih jika telah tampak tanda-tandanya dan tersedia sarananya.

Hal ini diperkuat lagi oleh apa yang dikemukakan para ulama bahwa bersentuhan kulit antara laki-laki dengannya – yang pada asalnya mubah itu – bisa berubah menjadi haram apabila disertai dengan syahwat atau dikhawatirkan terjadinya fitnah,1 khususnya dengan anak perempuan si istri (anak tiri), atau saudara sepersusuan, yang perasaan hatinya sudah barang tentu tidak sama dengan perasaan hati ibu kandung, anak kandung, saudara wanita sendiri, bibi dari ayah atau ibu, dan sebagainya.

Kedua, kemurahan (diperbolehkan) berjabat tangan dengan wanita tua yang sudah tidak punya gairah terhadap laki-laki, demikian pula dengan anak-anak kecil yang belum mempunyai syahwat terhadap laki-laki, karena berjabat tangan dengan mereka itu aman dari sebab-sebab fitnah. Begitu pula bila si laki-laki sudah tua dan tidak punya gairah terhadap wanita.

Hal ini didasarkan pada riwayat dari Abu Bakar RA bahwa beliau pernah berjabat tangan dengan beberapa orang wanita tua, dan Abdullah bin Zubair mengambil pembantu wanita tua untuk merawatnya, maka wanita itu mengusapnya dengan tangannya dan membersihkan kepalanya dari kutu.2

Hal ini sudah ditunjukkan Al-Qur’an dalam membicarakan perempuan-perempuan tua yang sudah berhenti (dari haid dan mengandung), dan tiada gairah terhadap laki-laki, dimana mereka diberi keringanan dalam beberapa masalah pakaian yang tidak diberikan kepada yang lain:

“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (an-Nur: 60)

Dikecualikan pula laki-laki yang tidak memiliki gairah terhadap wanita dan anak-anak kecil yang belum muncul hasrat seksualnya. Mereka dikecualikan dari sasaran larangan terhadap wanita-wanita mukminah dalam hal menampakkan perhiasannya.

“… Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita …”(an-Nur: 31)

Selain dua kelompok yang disebutkan itulah yang menjadi tema pembicaraan dan pembahasan serta memerlukan pengkajian dan tahkik.

Golongan yang mewajibkan wanita menutup seluruh tubuhnya hingga wajah dan telapak tangannya, dan tidak menjadikan wajah dan tangan ini sebagai yang dikecualikan oleh ayat:

“… Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa tampak daripadanya …” (an-Nur: 31)

Bahkan mereka menganggap bahwa perhiasan yang biasa tampak itu adalah pakaian luar seperti baju panjang, mantel, dan sebagainya, atau yang tampak karena darurat seperti tersingkap karena ditiup angin kencang dan sebagainya. Maka tidak mengherankan lagi bahwa berjabat tangan antara laki-laki dengan wanita menurut mereka adalah haram. Sebab, apabila kedua telapak tangan itu wajib ditutup maka melihatnya adalah haram; dan apabila melihatnya saja haram, apa lagi menyentuhnya. Sebab, menyentuh itu lebih berat daripada melihat, karena ia lebih merangsang, sedangkan tidak ada jabat tangan tanpa bersentuhan kulit.

Tetapi sudah dikenal bahwa mereka yang berpendapat demikian adalah golongan minoritas, sedangkan mayoritas fuqaha dari kalangan sahabat, tabi’in, dan orang-orang sesudah mereka berpendapat bahwa yang dikecualikan dalam ayat “kecuali yang biasa tampak daripadanya” adalah wajah dan kedua (telapak) tangan.

Maka apakah dalil mereka untuk mengharamkan berjabat tangan yang tidak disertai syahwat?

Sebenarnya saya telah berusaha mencari dalil yang memuaskan yang secara tegas menetapkan demikian, tetapi tidak saya temukan.

Dalil yang terkuat dalam hal ini ialah menutup pintu fitnah (saddudz-dzari’ah), dan alasan ini dapat diterima tanpa ragu-ragu lagi ketika syahwat tergerak, atau karena takut fitnah bila telah tampak tanda-tandanya. Tetapi dalam kondisi aman – dan ini sering terjadi – maka di manakah letak keharamannya?

Sebagian ulama ada yang berdalil dengan sikap Nabi SAW yang tidak berjabat tangan dengan perempuan ketika beliau membaiat mereka pada waktu penaklukan Mekah yang terkenal itu, sebagaimana disebutkan dalam surat al-Mumtahanah.

Tetapi ada satu muqarrar (ketetapan) bahwa apabila Nabi SAW meninggalkan suatu urusan, maka hal itu tidak menunjukkan – secara pasti – akan keharamannya. Adakalanya beliau meninggalkan sesuatu karena haram, adakalanya karena makruh, adakalanya hal itu kurang utama, dan adakalanya hanya semata-mata karena beliau tidak berhasrat kepadanya, seperti beliau tidak memakan daging biawak padahal daging itu mubah.

Kalau begitu, sikap Nabi SAW tidak berjabat tangan dengan wanita itu tidak dapat dijadikan dalil untuk menetapkan keharamannya, oleh karena itu harus ada dalil lain bagi orang yang berpendapat demikian.

Lebih dari itu, bahwa masalah Nabi SAW tidak berjabat tangan dengan kaum wanita pada waktu baiat itu belum disepakati, karena menurut riwayat Ummu Athiyah al-Anshariyah RA bahwa Nabi SAW pernah berjabat tangan dengan wanita pada waktu baiat, berbeda dengan riwayat dari Ummul Mukminin Aisyah RA dimana beliau mengingkari hal itu dan bersumpah menyatakan tidak terjadinya jabat tangan itu.

Imam Bukhari meriwayatkan dalam shahihnya dari Aisyah bahwa Rasulullah saw.SAW menguji wanita-wanita mukminah yang berhijrah dengan ayat ini, yaitu firman Allah:

“Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu pun dengan Allah; tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dengan kaki mereka3 dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (al-Mumtahanah: 12)

Aisyah berkata, “Maka barangsiapa di antara wanita-wanita beriman itu yang menerima syarat tersebut, Rasulullah SAW berkata kepadanya, “Aku telah membai’atmu – dengan perkataan saja – dan demi Allah tangan beliau sama sekali tidak menyentuh tangan wanita dalam baiat itu; beliau tidak membaiat mereka melainkan dengan mengucapkan, ‘Aku telah membai’atmu tentang hal itu.’” 4

Dalam mensyarah perkataan Aisyah “Tidak, demi Allah …,” al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari sebagai berikut: Perkataan itu berupa sumpah untuk menguatkan berita, dan dengan perkataannya itu seakan-akan Aisyah hendak menyangkal berita yang diriwayatkan dari Ummu Athiyah. Menurut riwayat Ibnu Hibban, al-Bazzar, ath-Thabari, dan Ibnu Mardawaih, dari (jalan) Ismail bin Abdurrahman dari neneknya, Ummu Athiyah, mengenai kisah baiat, Ummu Athiyah berkata:

“Lalu Rasulullah SAW mengulurkan tangannya dari luar rumah dan kami mengulurkan tangan kami dari dalam rumah, kemudian beliau berucap, ‘Ya Allah, saksikanlah.’”

Demikian pula hadits sesudahnya – yakni sesudah hadits yang tersebut dalam al-Bukhari – dimana Aisyah mengatakan:

“Seorang wanita menahan tangannya”

Memberi kesan seolah-olah mereka melakukan baiat dengan tangan mereka.

Al-Hafizh (Ibnu Hajar) berkata: “Untuk yang pertama itu dapat diberi jawaban bahwa mengulurkan tangan dari balik hijab mengisyaratkan telah terjadinya baiat meskipun tidak sampai berjabat tangan… Adapun untuk yang kedua, yang dimaksud dengan menggenggam tangan itu ialah menariknya sebelum bersentuhan… Atau baiat itu terjadi dengan menggunakan lapis tangan.

Abu Daud meriwayatkan dalam al-Marasil dari asy-Sya’bi bahwa Nabi SAW ketika membaiat kaum wanita beliau membawa kain selimut bergaris dari Qatar lalu beliau meletakkannya di atas tangan beliau, seraya berkata,

“Aku tidak berjabat dengan wanita.”

Dalam Maghazi Ibnu Ishaq disebutkan bahwa Nabi SAW memasukkan tangannya ke dalam bejana dan wanita itu juga memasukkan tangannya bersama beliau.

Ibnu Hajar berkata: “Dan boleh jadi berulang-ulang, yakni peristiwa baiat itu terjadi lebih dari satu kali, di antaranya ialah baiat yang terjadi di mana beliau tidak menyentuh tangan wanita sama sekali, baik dengan menggunakan lapis maupun tidak, beliau membaiat hanya dengan perkataan saja, dan inilah yang diriwayatkan oleh Aisyah. Dan pada kesempatan yang lain beliau tidak berjabat tangan dengan wanita dengan menggunakan lapis, dan inilah yang diriwayatkan oleh asy-Sya’bi.”

Di antaranya lagi ialah dalam bentuk seperti yang disebutkan Ibnu Ishaq, yaitu memasukkan tangan ke dalam bejana. Dan ada lagi dalam bentuk seperti yang ditunjukkan oleh perkataan Ummu Athiyah, yaitu berjabat tangan secara langsung.

Di antara alasan yang memperkuat kemungkinan berulang-ulangnya baiat itu ialah bahwa Aisyah membicarakan baiat wanita-wanita mukminah yang berhijrah setelah terjadinya peristiwa Perjanjian Hudaibiyah, sedangkan Ummu Athiyah – secara lahiriah – membicarakan yang lebih umum daripada itu dan meliputi baiat wanita mukminah secara umum, termasuk di dalamnya wanita-wanita Anshar seperti Ummu Athiyah si perawi hadits. Karena itu, Imam Bukhari memasukkan hadits Aisyah di bawah bab “Idzaa Jaa aka al-Mu’minaat Muhaajiraat,” sedangkan hadits Ummu Athiyah dimasukkan dalam bab “Idzaa Jaa aka al- Mu’minaat Yubaayi’naka.”

Maksud pengutipan semua ini ialah bahwa apa yang dijadikan acuan oleh kebanyakan orang yang mengharamkan berjabat tangan antara laki-laki dengan perempuan – yaitu bahwa Nabi SAW tidak berjabat tangan dengan wanita – belumlah disepakati. Tidak seperti sangkaan orang-orang yang tidak merujuk kepada sumber-sumber aslinya. Masalah ini bahkan masih diperselisihkan sebagaimana yang telah saya kemukakan.

Sebagian ulama sekarang ada yang mengharamkan berjabat tangan dengan wanita dengan mengambil dalil riwayat Thabrani dan Baihaqi dari Ma’qil bin Yasar dari Nabi SAW, beliau bersabda:

“Sesungguhnya ditusuknya kepala salah seorang di antara kamu dengan jarum besi itu lebih baik daripada ia menyentuh wanita yang tidak halal baginya.”5

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan berkenaan dengan pengambilan hadits di atas sebagai dalil:

1. Bahwa imam-imam ahli hadits tidak menyatakan secara jelas akan keshahihan hadits tersebut, hanya orang-orang seperti al-Mundziri dan al-Haitsami yang mengatakan, “Perawi-perawinya adalah perawi-perawi kepercayaan atau perawi-perawi shahih.”

Perkataan seperti ini saja tidak cukup untuk menetapkan keshahihan hadits tersebut, karena masih ada kemungkinan terputus jalan periwayatannya (inqitha’) atau terdapat ‘illat (cacat) yang samar. Karena itu, hadits ini tidak diriwayatkan oleh seorang pun dari penyusun kitab-kitab yang masyhur, sebagaimana tidak ada seorang pun fuqaha terdahulu yang menjadikannya sebagai dasar untuk mengharamkan berjabat tangan antara laki-laki dengan perempuan dan sebagainya.

2. Fuqaha Hanafiyah dan sebagian fuqaha Malikiyah mengatakan bahwa pengharaman itu tidak dapat ditetapkan kecuali dengan dalil qath’i yang tidak ada kesamaran padanya, seperti Al-Qur’anul Karim serta hadits-hadits mutawatir dan masyhur. Adapun jika ketetapan atau keshahihannya sendiri masih ada kesamaran, maka hal itu tidak lain hanyalah menunjukkan hukum makruh, seperti hadits-hadits ahad yang shahih. Maka bagaimana lagi dengan hadits yang diragukan keshahihannya?

3. Andaikata kita terima bahwa hadits itu shahih dan dapat digunakan untuk mengharamkan suatu masalah, maka saya dapati petunjuknya tidak jelas. Kalimat “menyentuh kulit wanita yang tidak halal baginya” itu tidak dimaksudkan semata-mata bersentuhan kulit dengan kulit tanpa syahwat, sebagaimana yang biasa terjadi dalam berjabat tangan. Bahkan kata-kata al-mass (massa – yamassu – mass: menyentuh) cukup digunakan dalam nash-nash syar’iyah seperti Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan salah satu dari dua pengertian, yaitu:

a. Bahwa ia merupakan kinayah (kiasan) dari hubungan biologis (jima’) sebagaimana diriwayatkan Ibnu Abbas dalam menafsirkan firman Allah: “Laamastum an-Nisat” (Kamu menyentuh wanita). Ibnu Abbas berkata, “Lafal al-lams, al-mulaamasah, dan al-mass dalam Al-Qur’an dipakai sebagai kiasan untuk jima’ (hubungan seksual). Secara umum, ayat-ayat Al-Qur’an yang menggunakan kata al-mass menunjukkan arti seperti itu dengan jelas, seperti firman Allah yang diucapkan Maryam:

“Betapa mungkin aku akan mempunyai anak padahal aku belum pernah disentuh oleh seorang laki-laki pun …” (Ali Imran: 47)

“Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu menyentuh mereka…” (al-Baqarah: 237)

Dalam hadits diceritakan bahwa Nabi SAW mendekati istri-istrinya tanpa menyentuhnya….

b. Bahwa yang dimaksud ialah tindakan-tindakan di bawah kategori jima’, seperti mencium, memeluk, merangkul, dan lain-lain yang merupakan pendahuluan bagi jima’ (hubungan seksual). Ini diriwayatkan oleh sebagian ulama salaf dalam menafsirkan makna kata mulaamasah.

Al-Hakim mengatakan dalam “Kitab ath-Thaharah” dalam al-Mustadrak ‘al a ash-Shahihaini sebagai berikut:

Imam Bukhari dan Muslim telah sepakat mengeluarkan hadits-hadits yang berserakan dalam dua musnad yang shahih yang menunjukkan bahwa al-mass itu berarti sesuatu (tindakan) di bawah jima’:

(1) Di antaranya hadits Abu Hurairah:

“Tangan, zinanya ialah menyentuh…”

(2) Hadits Ibnu Abbas:

“Barangkali engkau menyentuhnya…?”

(3) Hadits lbnu Mas’ud:

“Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang)…”6

Al-Hakim berkata, “Dan masih ada beberapa hadits shahih pada mereka (Bukhari dan Muslim) mengenai tafsir dan lainnya …” Kemudian al-Hakim menyebutkan di antaranya:

(4) Dari Aisyah, ia berkata:

“Sedikit sekali hari (berlalu) kecuali Rasulullah SAW mengelilingi kami semua – yakni istri-istrinya – lalu beliau mencium dan menyentuh yang derajatnya di bawah jima’. Maka apabila beliau tiba di rumah istri yang waktu giliran beliau di situ, beliau menetap di situ.”

(5) Dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata, “Au laamastum an-nisa” (atau kamu menyentuh wanita) ialah tindakan di bawah jima’, dan untuk ini wajib wudhu.”

(6) Dan dari Umar, ia berkata, “Sesungguhnya mencium itu termasuk al-lams, oleh sebab itu berwudhulah karenanya.”7

Berdasarkan nash-nash yang telah disebutkan itu, maka mazhab Maliki dan mazhab Ahmad berpendapat bahwa menyentuh wanita yang membatalkan wudhu itu ialah yang disertai dengan syahwat. Dan dengan pengertian seperti inilah mereka menafsirkan firman Allah, “au laamastum an-nisa’” (atau kamu menyentuh wanita).

Karena itu, Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Fatawa-nya melemahkan pendapat orang yang menafsirkan lafal “mulaamasah” atau “al-lams” dalam ayat tersebut dengan semata-mata bersentuhan kulit walaupun tanpa syahwat.

Di antara yang beliau katakan mengenai masalah ini seperti berikut:

Adapun menggantungkan batalnya wudhu dengan menyentuh semata-mata (persentuhan kulit, tanpa syahwat), maka hal ini bertentangan dengan ushul, bertentangan dengan ijma’ sahabat, bertentangan dengan atsar, serta tidak ada nash dan qiyas bagi yang berpendapat begitu.

Apabila lafal al-lams (menyentuh) dalam firman Allah (atau jika kamu menyentuh wanita …) itu dimaksudkan untuk menyentuh dengan tangan atau mencium dan sebagainya – seperti yang dikatakan Ibnu Umar dan lainnya – maka sudah dimengerti bahwa ketika hal itu disebutkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, yang dimaksud ialah yang dilakukan dengan bersyahwat, seperti firman Allah dalam ayat i’tikaf: “… Dan janganlah kamu me-mubasyarah mereka ketika kamu sedang i’tikaf dalam masjid…” (al-Baqarah: 187)

Mubasyarah (memeluk) bagi orang yang sedang i’tikaf dengan tidak bersyahwat itu tidak diharamkan, berbeda dengan memeluk yang disertai syahwat.

Demikian pula firman Allah: “Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu menyentuh mereka …” (al-Baqarah: 237). Atau dalam ayat sebelumnya disebutkan: “Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu menyentuh mereka …” (al-Baqarah: 236).

Karena seandainya si suami hanya menyentuhnya dengan sentuhan biasa tanpa syahwat, maka tidak wajib iddah dan tidak wajib membayar mahar secara utuh serta tidak menjadikan mahram karena persemendaan menurut kesepakatan ulama.

Barangsiapa menganggap bahwa lafal au laamastum an-nisa’ mencakup sentuhan biasa meskipun tidak dengan bersyahwat, maka ia telah menyimpang dari bahasa Al-Qur’an, bahkan menyimpang dari bahasa manusia sebagaimana yang sudah dikenal. Sebab, jika disebutkan lafal al-mass (menyentuh) yang diiringi dengan laki-laki dan perempuan, maka tahulah dia bahwa yang dimaksud ialah menyentuh dengan bersyahwat, sebagaimana bila disebutkan lafal al-wath’u (yang asal artinya “menginjak”) yang diikuti dengan kata-kata laki-laki dan perempuan, maka tahulah ia bahwa yang dimaksud ialah al-wath’u dengan kemaluan (yakni bersetubuh), bukan menginjak dengan kaki.”8

Di tempat lain lbnu Taimiyah menyebutkan bahwa para sahabat berbeda pendapat mengenai maksud firman Allah au laamastum annisa’. Ibnu Abbas dan segolongan sahabat berpendapat bahwa yang dimaksud ialah jima’. Dan mereka berkata, “Allah itu Pemalu dan Maha Mulia. Ia membuat kinayah untuk sesuatu sesuai dengan yang Ia kehendaki.”

Beliau berkata, “Ini yang lebih tepat di antara kedua pendapat tersebut.”

Bangsa Arab dan Mawali juga berbeda pendapat mengenai makna kata al-lams, apakah ia berarti jima’ atau tindakan di bawah jima’. Bangsa Arab mengatakan, yang dimaksud adalah jima’. Sedangkan Mawali (bekas-bekas budak yang telah dimerdekakan) berkata: yang dimaksud ialah tindakan di bawah jima’ (pra-hubungan biologis). Lalu mereka meminta keputusan kepada Ibnu Abbas, lantas Ibnu Abbas membenarkan bangsa Arab dan menyalahkan Mawali.9

Maksud dikutipnya semua ini ialah untuk kita ketahui bahwa kata-kata al-mass atau al-lams ketika digunakan dalam konteks laki-laki dan perempuan tidaklah dimaksudkan dengan semata-mata bersentuhan kulit biasa, tetapi yang dimaksud ialah mungkin jima’ (hubungan seks) atau pendahuluannya seperti mencium, memeluk, dan sebagainya yang merupakan sentuhan disertai syahwat dan kelezatan.

Kalau kita perhatikan riwayat yang shahih dari Rasulullah SAW, niscaya kita jumpai sesuatu yang menunjukkan bahwa semata-mata bersentuhan tangan antara laki-laki dengan perempuan tanpa disertai syahwat dan tidak dikhawatirkan terjadinya fitnah tidaklah terlarang, bahkan pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW, sedangkan pada dasarnya perbuatan Nabi SAW itu adalah tasyri’ dan untuk diteladani:

“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah SAW itu suri teladan yang baik bagimu…” (al-Ahzab: 21)

Imam Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya pada “Kitab al-Adab” dari Anas bin Malik RA, ia berkata:

“Sesungguhnya seorang budak wanita di antara budak-budak penduduk Madinah memegang tangan Rasulullah SAW, lalu membawanya pergi ke mana ia suka.”

Dalam riwayat Imam Ahmad dari Anas juga, ia berkata:

“Sesungguhnya seorang budak perempuan dari budak-budak penduduk Madinah datang, lalu ia memegang tangan Rasulullah SAW, maka beliau tidak melepaskan tangan beliau dari tangannya sehingga dia membawanya pergi ke mana ia suka.”

Ibnu Majah juga meriwayatkan hal demikian.

Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan dalam Fathul Bari:

“Yang dimaksud dengan memegang tangan di sini ialah kelazimannya, yaitu kasih sayang dan ketundukan, dan ini meliputi bermacam-macam kesungguhan dalam tawadhu’, karena disebutkannya perempuan bukan laki-laki, dan disebutkannya budak bukan orang merdeka, digunakannya kata-kata umum dengan lafal al-imaa’ (budak-budak perempuan), yakni budak perempuan yang mana pun, dan dengan perkataan haitsu syaa’at (ke mana saja ia suka), yakni ke tempat mana saja. Dan ungkapan dengan “mengambil/memegang tangannya” itu menunjukkan apa saja yang dilakukannya, sehingga meskipun si budak perempuan itu ingin pergi ke luar kota Madinah dan dia meminta kepada beliau untuk membantu memenuhi keperluannya itu niscaya beliau akan membantunya.

Ini merupakan dalil yang menunjukkan betapa tawadhu’nya Rasulullah SAW dan betapa bersihnya beliau dari sikap sombong.”10

Apa yang dikemukakan oleh Ibnu Hajar itu secara garis besar dapat diterima, tetapi beliau memalingkan makna memegang tangan dari makna lahiriahnya kepada kelazimannya yang berupa kasih sayang dan ketundukan, tidak dapat diterima, karena makna lahir dan kelaziman itu adalah dua hal yang dimaksudkan secara bersama-sama, dan pada asalnya perkataan itu harus diartikan menurut lahirnya, kecuali jika ada dalil atau indikasi tertentu yang memalingkannya dari makna lahir. Sedangkan dalam hal ini saya tidak menjumpai faktor yang mencegah atau melarang dipakainya makna lahir itu, bahkan riwayat Imam Ahmad yang menyebutkan “maka beliau tidak melepaskan tangan beliau dari tangannya sehingga ia membawa beliau pergi ke mana saja ia suka” menunjukkan dengan jelas bahwa makna lahir itulah yang dimaksud. Sungguh termasuk memberat-beratkan diri dan perbuatan serampangan jika keluar dari makna lahir ini.

Lebih banyak dan lebih mengena lagi apa yang diriwayatkan dalam Shahihain dan kitab-kitab Sunan dari Anas “bahwa Nabi SAW tidur siang hari di rumah bibi Anas yang bernama Ummu Haram binti Milhan istri Ubadah bin Shamit, dan beliau tidur di sisi Ummu Haram dengan meletakkan kepala beliau di pangkuan Ummu Haram, dan Ummu Haram membersihkan kepala beliau dari kutu …”

Ibnu Hajar dalam menjelaskan hadits ini mengatakan, “Hadits ini memperbolehkan tamu tidur siang di rumah orang lain (yakni tuan rumah) dengan memenuhi persyaratannya, seperti dengan adanya izin dan aman dari fitnah, dan bolehnya wanita asing (bukan istri) melayani tamu dengan menghidangkan makanan, menyediakan keperluannya, dan sebagainya.

Hadits ini juga memperbolehkan wanita melayani tamunya dengan membersihkan kutu kepalanya. Tetapi hal ini menimbulkan kemusykilan bagi sejumlah orang. Maka Ibnu Abdil Barr berkata, “Saya kira Ummu Haram itu dahulunya menyusui Rasulullah SAW (waktu kecil), atau saudaranya yaitu Ummu Sulaim, sehingga masing-masing berkedudukan “sebagai ibu susuan” atau bibi susuan bagi Rasulullah SAW. Karena itu, beliau tidur di sisinya, dan dia lakukan terhadap Rasulullah apa yang layak dilakukan oleh mahram.”

Selanjutnya Ibnu Abdil Barr membawakan riwayat dengan sanadnya yang menunjukkan bahwa Ummu Haram mempunyai hubungan mahram dengan Rasul dari jurusan bibi (saudara ibunya), sebab ibu Abdul Muthalib, kakek Nabi, adalah dari Bani Najjar …

Yang lain lagi berkata, “Nabi SAW itu maksum (terpelihara dari dosa dan kesalahan). Beliau mampu mengendalikan hasratnya terhadap istrinya, maka betapa lagi terhadap wanita lain mengenai hal-hal yang beliau disucikan daripadanya? Beliau suci dari perbuatan-perbuatan buruk dan perkataan-perkataan kotor, dan ini termasuk kekhususan beliau.”

Tetapi pendapat ini disangkal oleh al-Qadhi ‘Iyadh dengan argumentasi bahwa kekhususan itu tidak dapat ditetapkan dengan sesuatu yang bersifat kemungkinan. Tetapnya kemaksuman beliau memang dapat diterima, tetapi pada dasarnya tidak ada kekhususan dan boleh meneladani beliau dalam semua tindakan beliau, sehingga ada dalil yang menunjukkan kekhususannya.

Al-Hafizh ad-Dimyati mengemukakan sanggahan yang lebih keras lagi terhadap orang yang mengatakan kemungkinan pertama, yaitu anggapan tentang adanya hubungan kemahraman antara Nabi SAW dengan Ummu Haram. Beliau berkata:

“Mengigau orang yang menganggap Ummu Haram sebagai salah seorang bibi Nabi SAW, baik bibi susuan maupun bibi nasab. Sudah dimaklumi, orang-orang yang menyusukan beliau tidak ada seorang pun di antara mereka yang berasal dari wanita Anshar selain Ummu Abdil Muthalib, yaitu Salma binti Amr bin Zaid bin Lubaid bin Hirasy bin Amir bin Ghanam bin Adi bin an-Najjar; dan Ummu Haram adalah binti Milhan bin Khalid bin Zaid bin Haram bin Jundub bin Amir tersebut. Maka nasab Ummu Haram tidak bertemu dengan nasab Salma kecuali pada Amir bin Ghanam, kakek mereka yang sudah jauh ke atas. Dan hubungan bibi (yang jauh) ini tidak menetapkan kemahraman, sebab ini adalah bibi majazi, seperti perkataan Nabi SAW terhadap Sa’ad bin Abi Waqash, “Ini pamanku” karena Sa’ad dari Bani Zahrah, kerabat ibu beliau Aminah, sedangkan Sa’ad bukan saudara Aminah, baik nasab maupun susuan.”

Selanjutnya beliau (Dimyati) berkata, “Apabila sudah tetap yang demikian, maka terdapat riwayat dalam ash-Shahih yang menceritakan bahwa Nabi SAW tidak pernah masuk ke tempat wanita selain istri-istri beliau, kecuali kepada Ummu Sulaim. Lalu beliau ditanya mengenai masalah itu, dan beliau menjawab, ‘Saya kasihan kepadanya, saudaranya terbunuh dalam peperangan bersama saya.’ Yakni Haram bin Milhan, yang terbunuh pada waktu peperangan Bi’r Ma’unah.”

Apabila hadits ini mengkhususkan pengecualian untuk Ummu Sulaim, maka demikian pula halnya dengan Ummu Haram tersebut. Karena keduanya adalah bersaudara dan hidup di dalam satu rumah, sedangkan Haram bin Milhan adalah saudara mereka berdua. Maka ‘illat (hukumnya) adalah sama di antara keduanya, sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu Hajar.

Dan ditambahkan pula kepada ‘illat tersebut bahwa Ummu Sulaim adalah ibu Anas, pelayan Nabi SAW, sedangkan telah berlaku kebiasaan pergaulan antara pelayan, yang dilayani, serta keluarganya, serta ditiadakan kekhawatiran yang terjadi di antara orang-orang luar.

Kemudian ad-Dimyati berkata, “Tetapi hadits itu tidak menunjukkan terjadinya khalwat antara Nabi SAW dengan Ummu Haram, kemungkinan pada waktu itu disertai oleh anak, pembantu, suami, atau pendamping.”

Ibnu Hajar berkata, “Ini merupakan kemungkinan yang kuat, tetapi masih belum dapat menghilangkan kemusykilan dari asalnya, karena masih adanya mulamasah (persentuhan) dalam membersihkan kutu kepala, demikian pula tidur di pangkuan.”

Al-Hafizh berkata, “Sebaik-baik jawaban mengenai masalah ini ialah dengan menganggapnya sebagai kekhususan, dan hal ini tidak dapat ditolak oleh keberadaannya yang tidak ditetapkan kecuali dengan dalil, karena dalil mengenai hal ini sudah jelas.”11

Tetapi saya tidak tahu mana dalilnya ini, samar-samar ataukah jelas?

Setelah memperhatikan riwayat-riwayat tersebut, maka yang mantap dalam hati saya adalah bahwa semata-mata bersentuhan kulit tidaklah haram. Apabila didapati sebab-sebab yang menjadikan percampuran (pergaulan) seperti yang terjadi antara Nabi SAW dengan Ummu Haram dan Ummu Sulaim serta aman dari fitnah bagi kedua belah pihak, maka tidak mengapalah berjabat tangan antara laki-laki dengan perempuan ketika diperlukan, seperti ketika datang dari perjalanan jauh, seorang kerabat laki-laki berkunjung kepada kerabat wanita yang bukan mahramnya atau sebaliknya, seperti anak perempuan paman atau anak perempuan bibi baik dari pihak ibu maupun dari pihak ayah, atau istri paman, dan sebagainya, lebih-lebih jika pertemuan itu setelah lama tidak berjumpa.

Dalam menutup pembahasan ini ada dua hal yang perlu saya tekankan:

Pertama, bahwa berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan itu hanya diperbolehkan apabila tidak disertai dengan syahwat serta aman dari fitnah. Apabila dikhawatirkan terjadi fitnah terhadap salah satunya, atau disertai syahwat dan taladzdzudz (berlezat-lezat) dari salah satunya (apa lagi keduanya; penj.) maka keharaman berjabat tangan tidak diragukan lagi.

Bahkan seandainya kedua syarat ini tidak terpenuhi – yaitu tiadanya syahwat dan aman dari fitnah – meskipun jabatan tangan itu antara seseorang dengan mahramnya seperti bibinya, saudara sesusuan, anak tirinya, ibu tirinya, mertuanya, atau lainnya, maka berjabat tangan pada kondisi seperti itu adalah haram.

Bahkan berjabat tangan dengan anak yang masih kecil pun haram hukumnya jika kedua syarat itu tidak terpenuhi.

Kedua, hendaklah berjabat tangan itu sebatas ada kebutuhan saja, seperti yang disebutkan dalam pertanyaan di atas, yaitu dengan kerabat atau semenda (besan) yang terjadi hubungan yang erat dan akrab di antara mereka; dan tidak baik hal ini diperluas kepada orang lain, demi membendung pintu kerusakan, menjauhi syubhat, mengambil sikap hati-hati, dan meneladani Nabi SAW – tidak ada riwayat kuat yang menyebutkan bahwa beliau pernah berjabat tangan dengan wanita lain (bukan kerabat atau tidak mempunyai hubungan yang erat).

Dan yang lebih utama bagi seorang muslim atau muslimah – yang komitmen pada agamanya – ialah tidak memulai berjabat tangan dengan lain jenis. Tetapi, apabila diajak berjabat tangan barulah ia menjabat tangannya.

Saya tetapkan keputusan ini untuk dilaksanakan oleh orang yang memerlukannya tanpa merasa telah mengabaikan agamanya, dan bagi orang yang telah mengetahui tidak usah mengingkarinya selama masih ada kemungkinan untuk berijtihad.

Wallahu a’lam.

(hdn)

Maraji’: Yusuf Qaradhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer.



Catatan kaki:

1 Lihat al-Ikhtiar li Mukhtar fi Fiqhil Hanafyah, 4: 155.

2 Ibid., 4: 156-157

3 Perbuatan yang mereka ada-adakan antara tangan dengan kaki mereka itu maksudnya ialah mengadakan pengakuan-pengakuan palsu mengenai hubungan antara laki-laki dengan wanita seperti tuduhan berzina, tuduhan bahwa anak si Fulan bukan anak suaminya, dan sebagainya. (Al-Qur’an dan Terjemahannya, catatan kaki nomor 1473; penj.)

4 HR Bukhari dalam shahihnya, dalam “Kitab Tafsir Surat al-Mumtahanah,” Bab “Idzaa Jaa’aka al-Mu’minaatu Muhaajiraat.”

5 Al-Mundziri berkata dalam at-Targhib: “Perawi-perawi Thabrani adalah orang-orang tepercaya, perawi-perawi yang shahih.”

6 Beliau (al-Hakim) mengisyaratkan kepada riwayat asy-Syaikhani dan lainnya dan hadits Ibnu Maswud, dan dalam sebagian riwayat-riwayatnya: Bahwa seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW Lalu dia mengatakan bahwa dia telah berbuat sesuatu terhadap wanita, mungkin menciumnya, menyentuh dengan tangannya, atau perbuatan lainnya, seakan-akan ia menanyakan kafaratnya. Lalu Allah menurunkan ayat (yang artinya), “Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan dari malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan dosa perbuatan-perbuatan yang buruk…” (Hud: 114) (HR Muslim dengan lafal ini dalam “Kitab at-Taubah,” nomor 40)

7 Lihat, al-Mustadrak, 1: 135.

8 Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah, terbitan ar-Riyadh, jilid 21, hlm. 223-224.

9 Ibid.

10 Fathul Bari, juz 13.

11 Fathul Bari 13: 230-231. Dengan beberapa perubahan susunan redaksional

Keyword: hukum, jabat, laki-laki, perempuan, tangan

Inspirasi Pembelajar Sejati Oleh: Sardini Ramadhan

Sesungguhnya samudera ilmu di dunia ini teramat luas untuk diselami. Hujan-hujan ilmu pengetahuan juga senantiasa mengucur deras dari langit hikmah. Embun-embun petunjuk dapat senantiasa dinikmati setiap harinya untuk menghilangkan kegersangan pikiran kita. Cahaya-cahaya ilmu tersedia tanpa batas buat menerangi kegelapangan pemahaman kita.

Setiap manusia punya kesempatan yang sama untuk menjadi pembelajar sejati. Pembelajar yang dapat mengobati kerinduannya akan ilmu pengetahuan. Pembelajar yang menyenangi proses dan upaya meningkatkan kualitas diri. Memperbanyak mencari tahu tentang apa saja yang belum diketahuinya. Memiliki semangat pantang menyerah sebelum ilmu yang diingini dikuasai. Bersabar jalani proses-prosesnya. Rendah hati dalam menjalaninya. Meskipun yang menyampaikan ilmu kepada nya seorang anak yang muda usia. Pembelajar sejati, belajar dari siapa saja.

Belajar Hingga Nafas Terhenti

Ada sebuah kisah menarik dari seorang yang bernama Abu Ar Raihan, seorang ahli falak, sejarawan sekaligus sastrawan. Abu Ar Raihan sakit keras di tengah usianya mencapai 78 tahun. Kala itu nafasnya terdengar mengorok di tenggorokan dan beliau terlihat susah bernafas. Dalam keadaan demikian, beliau mengatakan kepada Al Walwaji, seorang faqih di masanya sekaligus sahabatnya. ”Apa yang pernah engkau katakan kepadaku pada suatu hari, mengenai pembagian jaddat fasidah (nenek dari jalur ibu)?”

“Apakah dalam kondisi seperti ini pantas (membahas masalah itu)? Jawab Al Walwaji menaruh belas kasihan. ”Wahai Al Walwaji saya meninggalkan dunia dalam keadaan mengetahui masalah ini, lebih baik daripada saya meninggalkannya dalam keadaan jahil terhadapnya.”

Akhirnya Al Walwaji mengulang apa yang pernah beliau sampaikan sebelumnya kepada Abu Raihan. Dan beliau menghafalnya. Tidak lama kemudian Al Walwaji keluar, dan saat dijalan beliau mendengar teriakan yang mengabarkan kepergian sahabatnya itu. Abu Raihan telah wafat dalam keadaan menghafalkan ilmu. Sebuah episode akhir kehidupan yang mengagumkan.

Kisah di atas mengajarkan kita tentang aktivitas pembelajar sejati yang sangat mengagumkan, bahkan ketika detik-detik menjemput kematian pun masih dimanfaatkan untuk mencari ilmu dan menguasainya. Tarbiyah Madal Hayah. Belajar hingga menutup mata. Rasulullah SAW bersabda: “Tuntutlah ilmu sejak dari buaian sampai liang lahat” Hadits tersebut menjadi dasar dari ungkapan “Long life education” atau pendidikan seumur hidup. Kehidupan di dunia ini tidak akan pernah sepi dari kegiatan belajar, sejak mulai lahir sampai hidup ini berakhir. Seandainya besok kita tahu akan datang kiamat pun, kita mesti belajar dan menanami pohon-pohon kebaikan sebanyak-banyaknya. Artinya kita harus mengambil manfaat dan menyebarkan manfaat dari siapa pun dan kepada siapa pun. Seperti Abu Raihan, jauh lebih indah meninggalkan dunia ini dalam keadaan mengetahui jawaban dari sesuatu daripada membawa rasa penasaran yang tak terjawab ke liang lahat.

Pembelajar sejati amat sangat pelit dengan waktunya

Pembelajar sejati adalah mereka yang senantiasa melewati perputaran usianya untuk menambah ilmu dan mengamalkannya dalam kehidupan. Mereka tak pernah menyerah sebelum ilmu yang diinginkannya berhasil dikuasai. Pembelajar sejati amat sangat pelit dengan waktunya. Namanya Muhammad bin Sahnun (256 H). Dia adalah orang yang senantiasa menyibukkan waktunya untuk membaca, menelaah ilmu dan menulis. Aktivitas itu dia lakukan hingga larut malam. Mengetahui majikannya sibuk, pembantunya yang biasa dipanggil ummu Mudam menyediakan makanan, lalu mempersilakan Sahnun untuk makan. Akan tetapi Sahnun hanya menjawab, saya sedang sibuk”. Dia tetap asyik dengan tulisan dan sedikit pun tidak menyentuh makanan yang disediakan. Hal itu mendorong Ummu Mudam berinisiatif menyiapkan makanan itu ke mulut sang majikan. Suapan demi suapan ia berikan hingga makanan itu tandas. Saat Adzan subuh berkumandang, kepada pembantunya Sahnun mengatakan, saya telah menyibukkanmu tadi malam, Wahai Ummu Mudam. Sekarang mana makanan itu?”. Pembantu itu menjawab,” Demi Allah wahai Tuan, saya telah menyuapkannya kepada Anda.”Sahnun heran, “saya tidak merasa.”

Kisah di atas menggambarkan kepada kita, bahwa pembelajar sejati sangat pelit dengan waktunya, bahkan untuk makan sekalipun. Keasyikannya menelaah ilmu membuatnya seakan-akan melupakan aktivitas yang lain. Waktu baginya moment-moment yang sangat berharga dalam mengarungi samudera ilmu. Waktu adalah harta teramat mahal baginya untuk senantiasa dibelanjakan pada warung-warung ilmu di manapun dia menjumpainya. Waktu baginya adalah pedang yang setiap saat siap memenggal umurnya. Oleh karena itu ia akan senantiasa memanfaatnya untuk aktivitas mencari ilmu, menelaah, mengajarkan dan mewariskannya.

Hidup yang sesekali di dunia ini harus di sisi dengan aktivitas positif dan produktif. Ia harus di sisi dengan belajar. Jangan pernah sia-siakan waktu tanpa belajar. Belajarlah dari kisah Sulaim bin Ayyub ar Ra-zi. Ia adalah pembelajar sejati yang sangat menghargai waktu. Ia tidak mau membiarkan waktu yang dimiliki berlalu barang sebentar tanpa ada gunanya sama sekali. Ia biasa gunakan untuk menulis, belajar, membaca, dan seterusnya.

Suatu saat Sulaim bin Ayyub datang ke rumah muridnya, Syeikh Abu Faraj Al-Isfirayini. Ketika hendak pamit karena telah selesai keperluannya, Sulaim bin Ayyub berkata,” Dalam perjalananku ke sini tadi aku berhasil membaca satu juz.” Suatu hari yang lain Sulaim terlihat memperbaiki penanya yang patah ketika sedang dipakai untuk menulis, sementara sepasang bibirnya bergerak-gerak. Rupanya sambil memperbaiki penanya yang patah, Sulaim juga melakukan aktivitas membaca.

Ada juga kisah hebat pembelajar sejati bernama Ibnu Aqil Al Hanbali. Saya meringkas semaksimal mungkin waktu makan. Hingga saya memilih roti kering yang dicelup air dibanding khubz (roti lembab), karena perbedaan waktu yang dibutuhkan untuk mengunyahnya.”

Jika waktu mengunyah saja amat diperhitungkan oleh Ibnu Aqil, tentu untuk perbuatan lain yang memakan waktu lebih lama akan dia perhatikan. Sekarang mari tanyakan kepada diri kita. Sudahkah kita memaksimalkan perputaran roda hari dalam kehidupan ini untuk belajar? Sudahkah waktu luang yang kita miliki digunakan untuk meningkatkan pengetahuan kita. Atau waktu luang itu kita gunakan untuk hal-hal yang sia-sia. Ngerumpi tanpa juntrungan, menonton tanpa kenal waktu, atau bahkan diisi dengan melamunkan sesuatu yang tak jelas.

Pembelajar sejati tak rela hujan ilmu pengetahuan yang mengucur dari langit hikmah tak ditadahnya ke dalam relung-relung pikirannya. Setiap harinya dia akan menyelam di samudera ilmu dan berenang di kolam pengetahuan. Dia akan sibak kegelapan pikirannya dengan menggenggam cahaya ilmu yang disediakan mentari.

Menggandakan kesabaran

Seringkali selama proses belajar kita mendapatkan banyak tantangan dan godaan untuk menghentikan aktivitas belajar. Kita pun juga sering dihantui oleh perasaan putus asa akan kemampuan kita untuk menguasai ilmu yang sedang dipelajari. Ketahuilah pembelajar sejati senantiasa menggandakan kesabarannya. Melewati deraian-deraian air mata ujian dengan rasa optimis yang senantiasa membumbung tinggi. Tak akan menyerah sebelum apa yang diinginkan tergapai.

Imam Syafi’i pernah mengungkapkan ”Tidak mungkin menuntut ilmu bagi orang yang pembosan dan sering berubah pikiran, serta merasa puas dengan apa yang ada pada dirinya. Akan tetapi menuntut ilmu itu harus dengan menahan diri, kesempitan hidup, dan berkhidmat untuk ilmu tersebut. Pasti ia akan beruntung.”

Kenal dengan Prof. Dr. Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie? Pastinya kita kena semua mengenalnya. Maestro dunia penerbangan dan teknologi dari Indonesia ini lahir di Pare-Pare, Sulawesi Selatan pada 25 Juni 1939. Ia dikenal sabar dan tekun dalam menuntut ilmu. Setelah sempat kuliah di ITB Bandung (1954-1955). Beliau memperoleh beasiswa ke Jerman. Atas saran Prof M. Yamin dan ucapan Bung Karno tentang pentingnya penguasaan teknologi penerbangan, akhirnya ia memutuskan mengambil jurusan pesawat terbang.

Di Jerman, Habibie nyaris tak punya waktu santai. Ia terus belajar dan bekerja dengan tekun. Kuliah yang berat harus ditambah dengan kondisi ekonomi yang pas-pasan. Maklum ongkos sehari-hari dan uang kuliah dibayar orang tuanya sendiri. Kadang seharian ia hanya makan beberapa keeping roti. Di Jerman, mantan presiden RI ke-3 ini, hidup dengan kondisi yang sangat sederhana.

Kondisi itu memompa semangatnya untuk segera menyelesaikan kuliahnya. Pada masa liburan dia tetap belajar. Hasilnya dalam waktu empat tahun dia berhasil menggondol gelar insinyur Dipl. Ing (Diploma Ingineur) dengan nilai akademik rata-rata 9,5 (summa cumlaude) pada usia 24 tahun. Prestasi itu dia peroleh dengan tetap aktif di berbagai organisasi kemahasiswaan.

Belajar dari Habibi, Prestasi lahir dari kemampuan untuk bertahan. Menggandakan kesabaran di tengah kesulitan-kesulitan yang datang. Seorang pembelajar sejati akan merasakan bunga-bunga kesuksesan setelah dia mampu bertahan menyirami bunga-bunga itu dengan kegigihan-kegigihan tak berkesudahan.

Pembelajar Sejati Tinggalkan kampung halaman

Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman. Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang. Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan. Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang. Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan. Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, kan keruh menggenang. Singa jika tak tinggalkan sarang tak akan dapat mangsa. Anak panah jika tidak tinggalkan busur tak akan kena sasaran. Jika matahari di orbitnya tidak bergerak dan terus diam, tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang. Bijih besi bagaikan tanah biasa sebelum digali dari tambang. Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa jika di dalam hutan

(Imam Syafi’i)

Tak ada pembelajar sejati yang mengurung diri di kampung halamannya. Pembelajar sejati adalah pengembara yang selalu ingin mengobati dahaganya akan ilmu pengetahuan. Imam Bukhari, Shahih Bukharinya diselesaikan selama enam belas tahun setelah berkeliling dunia mencari hadits dari satu kota ke kota lainnya. Einstein juga meraih puncak kejayaannya setelah meninggalkan Jerman menuju Amerika Serikat. Habibi meraih prestasi mengagumkan karena meninggalkan tanah kelahirannya. Andrea Hirata menjelajahi dunia karena kesungguhannya dalam belajar dan kemauan yang keras mengubah nasib. Menyeberangi ganasnya terjangan ombak, meninggalkan kampung halaman menuju tempat yang tak ada sanak saudara. Mengatasi kesulitan-kesulitan hidup. Akhirnya namanya harum menjadi penulis buku mega best seller Indonesia. Ibnu Batutah penjelajah dunia, namanya harum karena meninggalkan kampong halaman. Belajar dari universitas kehidupan yang ditemuinya di manapun dia menjejakkan kakinya. Masih banyak contoh para pembelajar sejati lainnya yang tak kan cukup berlembar-lembar tulisan menjelaskannya. Satu yang pasti, mereka semuanya adalah para pengembara, para musafir, para penjelajah, para hunter yang meninggalkan kampong halaman, menggapi cita-cita dan menggenapi keinginannya menguasai ilmu pengetahuan.

Pembelajar sejati,
tak pernah mau mati sebelum rasa penasarannya terobati
tak pernah mau menyerah akan kesulitan-kesulitan yang menggerogoti
tak pernah mau bermimpi yang tidak akan direalisasi

Dalam Gerbang Tarbiyah Aku Mengenal-Mu Cerpen Oleh: Ilham

“Assalamu’alaikum akh, akh Rahmat mau bikin liqoan, ditunggu ya nanti malam pukul 19.30 WIB di mushalla MIPA, ditunggu kedatangannya ya akh, syukron jzk”.

… Sepenggal kalimat sms sore itu membuatku bertanya-tanya dalam hati, antara ingin atau tidaknya kubalas undangan yang menurutku saat itu tidak jelas, namun hati ini penasaran mengiyakan untuk menghadiri undangan tersebut. Gundah gulana memunculkan tanda tanya besar dalam otakku, karena aku tidak mengerti maksud dari sms ini, aku yang berasal dari gemerlapnya kota metropolitan masih sangat asing dengan istilah kata-kata baru seperti ini. Kulihat kontak dalam handphoneku… ya tanpa banyak pikir ku tanyakan langsung padanya, sahabat pertamaku di kota perantauan ini, Najid namanya, dan kebetulan hanya dia satu-satunya teman yang baru ku punya nomor hapenya,

“Assalamu’alaikum, jid kamu dapat sms dari kak Rahmat gak? Yang ngajak bikin liqoan nanti malam, aku gak ngerti liqoan itu apa, bisa tolong kasih tau? “Jemari ku mengetik seperti itu… tak lama kemudian ia membalas sms ku tersebut, sigapku melihat layar hape,

“Tidak ham, oh liqoan itu semacam grup mengaji gitu, aku juga lusa lalu dapat undangan seperti itu, tapi akunya gak datang, kamu mau datang nanti malam?” Balasnya seperti itu, membuatku tau apa itu liqoan, namun menimbulkan keraguan dalam hati ku, perkumpulan semacam apa ini?? Menimbulkan banyak prasangka bertentangan dalam hatiku, seakan mereka bertengkar untuk menyuruh dan melarang ku untuk datang dan tidak datang pada malam nanti, kutanyakan kembali pada Najid,

“Datang yuk temenin aku, kamu gak ada acara kan nanti malam? Lumayan ngaji nambah pahala, hhe” Balasku meyakinkannya yang sebenarnya aku masih dalam keraguan besar, namun lubuk hati ini penasaran akan hal baru ini. “Dutt…dutt…” getar handphone, tanda balasan dari Najid,

“Boleh, tapi aku gak enak sama kak Rahmat, soalnya kemaren juga diundang tapi akunya gak datang,”. Balasnya seperti itu, seakan timbul sesuatu semangat dalam diriku, untuk meyakinkannya untuk tetap datang pada malam nanti, “yaudah gapapa, bilang aja kemaren ada halangan sesuatu, oke aku tunggu di depan D3 sasing yaa sehabis Maghrib”, kukatakan itu padanya, dan dia pun membalas “ok”.

***

Dan rencana Allah itu memang jauh lebih indah daripada rencana hambaNya, teringat siang itu sedikit agak mendung, setelah mata kuliah kimia dasar aku keluar kelas dan melihat dari balkon atas, berdiri stand-stand yang membawa lambang kubah biru di salah satu sudutnya, membuat kaki-kaki ini geregetan untuk melangkah mendekat menghampiri penjaga-penjaganya yang terlihat alim dan alimah, celana ngatung untuk mas-masnya dan jilbab lebar untuk mba-mbanya, entah mengapa melihat mereka membuatku ingin kenal dekat dan menjadi bagian dari mereka, ku hampiri salah satu stand pendaftaran yang dijaga seorang perempuan shalihah insya Allah, namun apa katanya belum sempatku berkalimat sedikitpun “mas pendaftaran untuk yang ikhwan standnya sebelah situ” sambil tersenyum tipis berkata padaku, “oiya mba makasih…” jawabku, ku hampiri lah stand ikhwan yang kata mba-mba tadi namun tidak ada yang menjaga, lemas benakku sebaiknya pulang namun belum sempatku melangkah jauh seorang mas-mas mengajak berjabat tangan denganku, “ nama Antum siapa?” dengan nada lembut bertanya padaku, sopanku menjawab “Hamas..mas”…”oh perkenalkan saya Rahmat..” percakapan pun berlangsung, menanyakan asal, alasan ku kenapa masuk fakultas ini dan sebagainya, di mana dalam obrolan sederhana tadi membuat aku yakin aku ingin mempunyai saudara-saudara seperti dalam kelompok kubah biru ini, sampai akhirnya ku memberanikan diri menawarkan diri untuk ikut dalam kelompok kubah biru ini, ku isi formulir yang ia sodorkan padaku dan ku isi sambil bertanya kegiatan-kegiatan apa saja di dalamnya. Entah mengapa lagi kesan pertamaku kenal dengan kak Rahmat membuat perasaan ku tenang dan sejuk, membuatku ingin mengenalnya lebih jauh.

Kejadian siang itu terus membayangi di sepanjang perjalanan ku ke tempat janjian ku dengan si Najid, menimbulkan banyak pertanyaan dalam benakku cerita apa lagi selanjutnya yang akan terjadi malam ini setelah kisah siang itu, asa ku mengambang “triiiiiiinnn….” klakson memecah buyarku, meneriakiku untuk segera sadar, hampir saja mobil merah itu melukai tubuhku. Tibalah aku di tempat kami janjian, kulihat sekitar belum tampak paras Najid, “Hamaaas…” dari kejauhan meneriakiku, terekam jelas itu suara Najid dari seberang jalan, kuhampiri ia dengan tergesa karena hati sudah tak sabar mendatangi undangan dari kak Rahmat untukku. “Maaf ya telat…” sahut Najid ketika ku di depannya, “ya gapapa jid, aku juga baru datang, apa kata kak Rahmat? Kamu boleh datang kan?” tanya ku meyakinkannya agar ku ada teman untuk pergi ke sana, “ya boleh, gitu katanya” Najid menjawab pertanyaanku. “Yuk berangkat…” ajakku kepadanya.

“Kamu tau di mana mushalla MIPA?” tanyaku yang tidak tahu,

“Aku juga gak tahu, yaudah nanti kita tanya orang sekitar saja” jawab Najid,

Di sepanjang perjalanan kembali hatiku bertanya-tanya sambil membayangkan undangan seperti apa yang kak Rahmat adakan ini, sedikit rasa khawatir dan ragu sempat terbesit dalam benakku, takut ku ini ada kaitannya dengan jaringan teroris atau hal negatif lainnya, namun paras kak Rahmat siang itu menepis semua anggapan bodohku, seperti ada sesuatu yang meyakinkan ku bahwa semua yang kupikirkan sebelumnya itu sama sekali tidak benar, apakah ini yang engkau namakan hidayah ya Allah?, tanyaku dalam hati, ya Allah beginikah namanya hidayah itu?, subhanallah hati ku merasa begitu tenteram seakan semua beban terlepas karena kehadiranMu begitu dekat sedekat nadi ini, ya Allah terima kasih engkau telah mengizinkan aku merasakan hidayah ini, ucap syukur ku di sepanjang perjalanan tanpa henti.

Tibalah kami di fakultas MIPA, “jid mushalla nya sebelah mana? Sms kak Rahmat gih kita sudah sampai tolong di jemput” suruhku kepada Najid, “iya…” Najid mengiyakan permintaanku.

“Antum posisinya di mana akh?” balasan sms kak Rahmat

“Di depan pintu masuk MIPA akh” Najid membalas,

“Yaudah Antum jalan kearah parkiran ntar ane jemput di sana” balas kak Rahmat lagi,

Kami pun jalan kearah parkiran yang berada di sebelah timur pintu masuk, perlahan langkah membuat hatiku berdebar, dari kejauhan gelap yang terlihat karena pencahayaan yang kurang, terlihat sekelibat pantulan cahaya dari kacamata yang digunakan kak Rahmat, sambil menerangi sekitar dengan cahaya dari sinar layar hape, secara perlahan terlihatlah paras shalih dari kak Rahmat, “subhanallah” ucapku dalam hati karena telah dipertemukan dengan orang shalih seperti dia,

“Assalamu’alaikum khi, gimana kabarnya? Susah ya lokasinya” sambil berjabat tangan menanyakannya kepadaku dan Najid.

“Alhamdulillah sehat kak,” dengan sopan ku menjawab yang disamakan dengan jawaban dari Najid.

“Yuk langsung kalo gitu”, ajaknya ke lokasi Liqoan.

Ruangan mushalla sederhana disinari lampu dengan cahaya yang agak sedikit redup, bunyi jangkrik memecah kesunyian malam, hembus angin pun semilir menyejukkan di kala aku duduk melingkar bersama orang-orang yang belum pernah kulihat sebelumnya kecuali Najid. Ku lihat satu persatu wajah saudara baruku ini, basah karena siraman air wudhu, sontak seperti menegurku betapa jarangnya aku membasuh wajahku dengan wudhu, dan satu persatu memegang kitab suci Al-Qur’an, perasaan ku semakin gundah, seperti dalam pikiran ku “pasti ini bakalan disuruh tilawah satu-satu, mati aku karena tidak lancar membaca al-Qur’an” apa yang kupikirkan ternyata sesuai,

“Ya akh dibuka al-Qur’an nya, kita mulai dari surat pertama ya akh,” seru kak Rahmat menyuruh kami.

Gundah ku semakin menjadi karena tak sanggup menanggung malu karena aku tak lancar bertilawah. Satu persatu ayat-ayat suciNya dilantunkan betapa indah lantunan yang keluar dari mulut-mulut mereka, sahut bersahut tilawah yang kudengar semakin indah sampai tiba di orang ke 3 dari kami yang kala itu berjumlah 11 orang, maka tibalah di orang ke 4 sahut-sahut indah ayat itu pun buyar sejenak karena ternyata ia juga terbata-bata dalam bertilawah, maka perasaanku lega sejenak, namun apa yang ku pikirkan ini salah ya Allah betapa jauhnya hamba Mu ini dari cahaya Islam Mu, betapa sudah banyak waktu yang ku buang sia-sia hanya untuk memuaskan dunia dan menganaktirikan akhiratku, teringat tentang suratNya, “Demi masa sesungguhnya manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran”. Sungguh tak pantas diriku bangga akan kekurangan yang kumiliki ini, dan dilanjut dengan orang kelima yaitu Najid, betapa lantunan ayat itu dibacakannya dengan fasih dan cepat tanpa ada sedikit cacat dari ucapnya, tercengang aku mendengarnya sambil khawatir karena setelahnya adalah aku, maka giliranku tiba, sambil berdoa dalam hati aku memohon “ya Allah mudahkan aku dalam membaca firmanMu” dan ku ucapkan tasmiyah, satu persatu kata dan kalimat kubaca, terbata di awal namun seterusnya alhamdulillah Allah membantu ku dalam melafadzkan firmanNya.

“Maha benar Allah dengan segala firmanNya” maka berakhirlah sesi tilawah Qur’an ini. Mulai kurasakan kehangatan dalam lingkaran ini, betapa begitu nikmatnya duduk bersama orang-orang shalih, yang sebelumnya tak pernah kurasakan. Tiba di sesi kedua di mana kak Rahmat menanyakan kepada kami satu persatu tentang keadaan kami, sampai beliau menanyakan apa yang kami rindukan jika di rumah, karena kondisi kami yang saat itu sama-sama baru merasakan hidup jauh dari orang tua hidup di kota perantauan hanya demi satu gelar sarjana. “Akh Hamas gimana kabar Antum? Sehat akh? Tanya nya di giliranku, “iya kak alhamdulillah sehat” raguku untuk menyebut ‘akh’ karena panggilan tersebut masih asing ku dengar dan ku ucap, “pasti Antum sama kayak yang lain sedang homesick berat, apa sih yang Antum kangenin kalo di rumah?” lanjut pertanyaan yang sama seperti yang lain, “saya kangen masakan ibu akh” sahutku dan kali ini aku tak ragu memanggil akh kepadanya. Hati ku bergetar walau hanya dialog singkat yang sebenarnya sepele namun karena ku berada di lingkaran penuh hangat ini semua itu terasa beda bagiku. Tibalah di sesi ke tiga di mana kak Rahmat membuka buku tebalnya dan menyampaikan materi liqoan malam hari ini, muqodimah pun terucap dan kini beliau menerangkan isi materi yang kala itu bertema tentang ‘akhlaq’ jelasnya menerangkan di ikuti berbagai contoh yang dilakukan Rasulullah soal akhlaq, dan disertai firman-firman Allah dalam Al-Qur’an, di penutup beliau menerangkan betapa begitu pentingnya tarbiyah, tarbiyah tumbuh dan berkembang, tarbiyah bukan segalanya namun segalanya berawal dari tarbiyah.

Undangan spesial dari kak Rahmat malam ini membuatku mengerti betapa pentingnya pendidikan akhirat ini, karena kehidupan yang kekal dan sebenarnya adalah kehidupan akhirat, undangan malam ini mendekatkan ku kembali pada Mu, dan aku percaya Kau sedang menunjukkan jalan yang lurus bagiku sekali lagi ku ucap rasa syukur kepadaMu ya Rabb. Malam ini ku goreskan lagi pengalaman luar biasa dalam hidupku, kupandangi satu persatu wajah saudara-saudara baruku, kulihat semangat di setiap muka mereka, semangat yang kuyakin untuk selalu amar ma’ruf nahi munkar, semangat untuk selalu berfastabiqul khoirot, semangat untuk selalu menjaga lingkaran ini yang ku kenal dengan sebutan ‘ukhuwah islamiyah’ dalam hati sekali ku ucap rasa syukur tiada tara ya Allah sungguh beruntung aku berada dalam barisan penuh cahaya Mu ini. Lingkaran ini penuh kehangatan di dalamnya, lingkaran ini penuh berkah di dalamnya, lingkaran ini penuh canda dan tawa, lingkaran ini penuh ilmu baru, lingkaran ini kurasa menjawab semua pertanyaan dan pencarian ku selama ini yang belum kudapatkan, lingkaran ini membawa ku untuk lebih mengenal Mu.

“Jagalah Allah niscaya kau akan senantiasa mendapatiNya di hadapanmu. Kenalilah Allah di waktu lapang niscaya Dia akan mengenalimu saat kesulitan, ketahuilah bahwa apa yang luput darimu tidak akan menimpamu dan apa yang menimpamu tidak akan luput darimu, ketahuilah bahwa kemenangan itu selalu mengiringi kesabaran, jalan keluar selalu mengiringi cobaan dan kemudahan itu selalu mengiringi kesusahan” (HR. Tirmidzi)

Mantan Ikhwah Oleh: Qonitatillah, MSc.

Beberapa kali saya ditanya soal pendapat saya tentang mereka yang keluar jamaah atau istilahnya mantan ikhwah. Ya, sebutan bagi mereka yang dulunya aktif bersama dalam dakwah dalam bingkai organisasi yang sama. Jawaban saya adalah, asal jangan keluar dari Islam!

Ketika aktif di sebuah organisasi kemahasiswaan Islam sekitar lima belas tahun yang lalu, pertanyaan itu muncul. Tidak sama persis memang, namun intinya adalah bagaimana kita menghimpun kekuatan besar dakwah dalam satu organisasi yang teratur dan disiplin. Bahwa sebuah kebaikan haruslah terorganisasi dengan rapi karena kebaikan pun bisa hancur lumat dikalahkan oleh kejahatan jika ia tidak diurus dengan baik layaknya kata-kata Sayidina Ali bin Abi Thalib RA dulu: “Kejahatan yang terorganisasi bisa mengalahkan kebaikan yang tak terorganisasi. Jadi memang, bergerak dalam barisan dakwah harus dengan keteraturan dan disiplin. Dakwah tidak akan mampu diusung seorang diri. Jadi memang kita harus berjamaah untuk memenangkan Islam.

Alhamdulillah, Allah memberi saya rizki untuk bergabung dengan sebuah organisasi dakwah yang saya rindukan keberadaannya sejak lama. Berhimpun dalam satu barisan bersama orang-orang shalih untuk menegakkan kalimat Allah. Namun memang, berdiri dalam sebuah barisan panjang tidak sama dengan sendirian. Berada dalam kumpulan manusia berbeda dengan duduk seorang diri. Ada kalanya ide kita berbeda dengan kebijaksanaan organisasi. Tak jarang pula berbenturan pendapat dengan anggota yang lainnya. Harus sering sabar dan lapang dada berurusan dengan orang banyak. Namun di dalamnya terdapat keberkahan. Bukankah Baginda SAW pernah bersabda bahwa tangan Allah bersama jamaah?

Kesabaran dan lapang dada terkadang tak cukup stok untuk bertahan dari perbedaan pendapat dan gesekan pemahaman. Beberapa orang memilih pergi dan berjuang sendiri atau bergabung dengan organisasi lain. Bukan hanya ada satu organisasi Islam toh? Ada banyak saudara di luar sana yang juga berjuang untuk Islam. Mereka pun berhimpun dalam jamaah dengan keteraturan dan kedisiplinan. Jadi jangan mengklaim organisasi sendiri yang paling benar. Untuk ini saya teringat sebuah nasihat dari seorang Ustadz sederhana pada saat acara Daurah Marhalah III di Boyolali tahun 2000 silam. Beliau berpesan untuk bersabar dan rela untuk diatur karena ketika tidak cocok dengan ‘rumah’ kita yang sekarang, belum tentu juga kita nyaman dengan ‘rumah’ yang lain. Seorang Akh yang lain juga pernah memberi masukan bahwa tidak ada jaminan orang yang keluar dari jamaah akan menjadi lebih baik. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa para ‘single fighter’ ini tidak menjadi lebih baik berjuang di luar rumah. Tak sedikit yang kemudian lebur dan membaur dengan orang kebanyakan. Tak bersisa celupan Rabbani selama tinggal di rumah dakwah. Tak jarang pula mereka mempunyai keahlian baru, yaitu sebagai komentator dan konsultan tentang dakwah dan jamaah, tentang qiyadah wal jundiyah, tentang al wala dan al bara’ padahal mereka tak punya rumah untuk mengamalkan.

Ketika beberapa waktu yang lalu saya ditanya kembali tentang orang-orang seperti ini. Jawaban saya tetap sama, asalkan jangan keluar dari Islam. Di organisasi manapun yang bertujuan menegakkan Islam, maka mereka saudara saya. Namun ketika sudah menemukan rumah baru maka jangan pernah menjelek-jelekkan rumah lama dan penghuninya serta tetaplah istiqamah. Di antara mereka ada guru-guru saya, kawan-kawan lama seperjuangan dan teman-teman penguat hati. Bisa jadi, ketidakcocokan itu bermula dari kita sendiri. Oleh karenanya jangan garang dan kasar agar hati lembut tak berubah menjadi benci. Jadi mari berprestasi dengan amal terbaik untuk Allah. Mari berlomba memberi yang terbaik untuk Allah.

Baru saja sore kemarin suami saya menunjuk gambar seorang Ustadz tenar di negeri kita dan berujar,” Dia mantan ikhwah. Dia dulu ketua ikhwah Mekah.” Tangannya menunjuk gambar seseorang berpeci yang sedang memegang mikrofon di atas panggung. Entah kenapa, tiba-tiba mata saya kabur. Hati saya menjerit perlahan dan menyeru ke langit, “Jangan jadikan saya bagian dari mereka ya Rabb…Biarpun sesak dada dan harus ekstra bersabar, saya ingin kelak dibangkitkan di hadapan Allah bersama kafilah dakwah ini. Tak peduli apakah di barisan yang paling belakang sekalipun sebagai anggota yang dianggap paling sedikit kontribusinya dalam dakwah ini…”

Saya tidak mau memiliki gelar itu.