Beberapa kali saya ditanya soal pendapat saya tentang mereka yang keluar jamaah atau istilahnya mantan ikhwah. Ya, sebutan bagi mereka yang dulunya aktif bersama dalam dakwah dalam bingkai organisasi yang sama. Jawaban saya adalah, asal jangan keluar dari Islam!
Ketika aktif di sebuah organisasi kemahasiswaan Islam sekitar lima belas tahun yang lalu, pertanyaan itu muncul. Tidak sama persis memang, namun intinya adalah bagaimana kita menghimpun kekuatan besar dakwah dalam satu organisasi yang teratur dan disiplin. Bahwa sebuah kebaikan haruslah terorganisasi dengan rapi karena kebaikan pun bisa hancur lumat dikalahkan oleh kejahatan jika ia tidak diurus dengan baik layaknya kata-kata Sayidina Ali bin Abi Thalib RA dulu: “Kejahatan yang terorganisasi bisa mengalahkan kebaikan yang tak terorganisasi. Jadi memang, bergerak dalam barisan dakwah harus dengan keteraturan dan disiplin. Dakwah tidak akan mampu diusung seorang diri. Jadi memang kita harus berjamaah untuk memenangkan Islam.
Alhamdulillah, Allah memberi saya rizki untuk bergabung dengan sebuah organisasi dakwah yang saya rindukan keberadaannya sejak lama. Berhimpun dalam satu barisan bersama orang-orang shalih untuk menegakkan kalimat Allah. Namun memang, berdiri dalam sebuah barisan panjang tidak sama dengan sendirian. Berada dalam kumpulan manusia berbeda dengan duduk seorang diri. Ada kalanya ide kita berbeda dengan kebijaksanaan organisasi. Tak jarang pula berbenturan pendapat dengan anggota yang lainnya. Harus sering sabar dan lapang dada berurusan dengan orang banyak. Namun di dalamnya terdapat keberkahan. Bukankah Baginda SAW pernah bersabda bahwa tangan Allah bersama jamaah?
Kesabaran dan lapang dada terkadang tak cukup stok untuk bertahan dari perbedaan pendapat dan gesekan pemahaman. Beberapa orang memilih pergi dan berjuang sendiri atau bergabung dengan organisasi lain. Bukan hanya ada satu organisasi Islam toh? Ada banyak saudara di luar sana yang juga berjuang untuk Islam. Mereka pun berhimpun dalam jamaah dengan keteraturan dan kedisiplinan. Jadi jangan mengklaim organisasi sendiri yang paling benar. Untuk ini saya teringat sebuah nasihat dari seorang Ustadz sederhana pada saat acara Daurah Marhalah III di Boyolali tahun 2000 silam. Beliau berpesan untuk bersabar dan rela untuk diatur karena ketika tidak cocok dengan ‘rumah’ kita yang sekarang, belum tentu juga kita nyaman dengan ‘rumah’ yang lain. Seorang Akh yang lain juga pernah memberi masukan bahwa tidak ada jaminan orang yang keluar dari jamaah akan menjadi lebih baik. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa para ‘single fighter’ ini tidak menjadi lebih baik berjuang di luar rumah. Tak sedikit yang kemudian lebur dan membaur dengan orang kebanyakan. Tak bersisa celupan Rabbani selama tinggal di rumah dakwah. Tak jarang pula mereka mempunyai keahlian baru, yaitu sebagai komentator dan konsultan tentang dakwah dan jamaah, tentang qiyadah wal jundiyah, tentang al wala dan al bara’ padahal mereka tak punya rumah untuk mengamalkan.
Ketika beberapa waktu yang lalu saya ditanya kembali tentang orang-orang seperti ini. Jawaban saya tetap sama, asalkan jangan keluar dari Islam. Di organisasi manapun yang bertujuan menegakkan Islam, maka mereka saudara saya. Namun ketika sudah menemukan rumah baru maka jangan pernah menjelek-jelekkan rumah lama dan penghuninya serta tetaplah istiqamah. Di antara mereka ada guru-guru saya, kawan-kawan lama seperjuangan dan teman-teman penguat hati. Bisa jadi, ketidakcocokan itu bermula dari kita sendiri. Oleh karenanya jangan garang dan kasar agar hati lembut tak berubah menjadi benci. Jadi mari berprestasi dengan amal terbaik untuk Allah. Mari berlomba memberi yang terbaik untuk Allah.
Baru saja sore kemarin suami saya menunjuk gambar seorang Ustadz tenar di negeri kita dan berujar,” Dia mantan ikhwah. Dia dulu ketua ikhwah Mekah.” Tangannya menunjuk gambar seseorang berpeci yang sedang memegang mikrofon di atas panggung. Entah kenapa, tiba-tiba mata saya kabur. Hati saya menjerit perlahan dan menyeru ke langit, “Jangan jadikan saya bagian dari mereka ya Rabb…Biarpun sesak dada dan harus ekstra bersabar, saya ingin kelak dibangkitkan di hadapan Allah bersama kafilah dakwah ini. Tak peduli apakah di barisan yang paling belakang sekalipun sebagai anggota yang dianggap paling sedikit kontribusinya dalam dakwah ini…”
Saya tidak mau memiliki gelar itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar