Senin, 01 September 2014
Srial sastra bugis "SEJARAH BONE"
KONSEP MATTULU TELLUE
I. PENDAHULUAN
Setiap suku bangsa di dunia ini memiliki ciri khas yang menjadi jati diri mereka. Dalam mempertahankan jati dirinya tersebut, mereka senantiasa berupaya mencari cara sedemikian rupa demi untuk mempertahankan eksistensi kelompok atau sukunya. Mereka berusaha menciptakan suatu tatanan prinsip yang dapat dijadikan sebagai pegangan dalam segala tindakan baik bersifat pribadi maupun kelompoknya. Dengan tujuan, agar apa yang diharapkan dalam tindakannya dapat mendapatkan hasil yang diharapkan dan mendapat apresiasi baik dalam kelompok sukunya sendiri maupun di luar kelompok suku bangsanya. Mereka meyakini, bahwa dengan memiliki prinsip sebgai pegangan maka segala yang kita lakukan tidak akan kesasar dan mengambang, disamping prinsip itulah yang jadikan sebagai alat motivasi dalam melakoni hidup disegala bidang
Demikian pula bangsa Bugis sejak dahulu kala setiap suku telah memiliki prinsip-prinsip hidup yang dijadikan sebagai perisai dalam menjaga keberlangsungan norma-norma adab yang dimilikinya. Perisai yang dimaksud adalah prinsip-prinsip yang dijadikan sebagai Motto dalam melindungi norma-norma adat-istiadatnya sebagai pegangan hidup dalam menjalankan segala aktivitasnya baik secara internal maupun eksternal.
Pada masa pemerintahan Latenritata alias Arung Palakka. Dalam lontara disebutkan: “Riwettu Puatta Petta Malampe-E Gemme’na Paoppang Palengengngi Tanah Bone, Padatosaha Keteng Tepu Seppuloi Lima ompo’na”
Artinya: Sewaktu raja Bone Petta Malampe-E Gemme’na berkuasa, maka Bone pada waktu itu seumpama bulan, cerah bagaikan bulan purnama yang terbit sempurna kelima belas”.
Lalu masihkah hari ini, para genarasi (ana' rimunrie) menampakkan taring kebesaran itu? Adakah kegairahan untuk belajar pada masa silam ? Bukankah potret sejarah masa depan adalah bertaut dengan rangkaian sejarah masa lalu dan apa yang kita gurat pada jejak masa kekinian?
Berbicara tentang Bugis juga selalu identik dengan Bone. Peradaban Bugis pada masa silam adalah peradaban besar dan gemilang yang memiliki daya tarik tersendiri bahkan seorang penulis asal Prancis: Christian Pelras rela menghabiskan 2/3 umurnya hanya untuk meneliti kebudayaan Bugis dan mengasilkan buku 'The Bugis', yang diperoleh dari hasil penelitian dan penelusuran dokumen yang berlangsung selama 40 tahun (1950–1990). Penerbit Ininnawa kemudian diterjemahkan menjadi 'Manusia Bugis'. Memang fenomenal, seorang manusia Prancis, rela terjun selama puluhan tahun hanya untuk meneliti kebudayaan orang lain. Sesuatu yang jarang dijumpai di Indonesia, lebih-lebih di kalangan peneliti lokal sendiri.
Dari asumsi tersebut, terselip harapan untuk kembali melestarikan spirit kebugisan kita. Karena di sana ada kearifan hidup,ada spirit keberanian dan ketangguhan melawan hidup. Nenek moyang di masa lalu telah menawarkan spirit ketangguhan dan keberanian hidup. Mengajarkan kearifan dan kebijaksanaan dalam mengarungi hidup. Bukankah kearifan itu masih tersisa dalam jejak yang ditinggalnya dalam sastra Pappaseng ?
Secara umum tercatat dalam sastra besar dunia, Sure’ Selleang I La Galigo.
Nah, masih adakah jiwa dan semangat ke To-Bone-an hari ini, ketika generasi kekinian tak lagi mengenal spirit kearifan hidup leluhur yang tercatat dalam sastra Pappaseng? Masih adakah Bugis Bone hari ini ketika generasi muda mulai tak fasih lagi bertutur bahasa Bugis dalam kesehariannya? Tidakkah hari ini generasi mulai malu menggunakan bahasanya sendiri karena merasa tidak sesuai dengan trend? Benarkah generasi sekarang ini … Aduh, penulis tak mampu lagi menulisnya di sini melihat fenomena yang ada.
Coba bayangkan, Christian Pelras saja yang bukan orang Bugis tapi mampu bertutur bahasa Bugis dengan fasih pada waktu memberikan ceramah umum tentang Manusia Bugis (26/09/2006). Mungkian suatu saat ketika para generasi ingin belajar bertutur Bugis dan belajar tentang Bugis kita harus belajar di negeri Eropa sana ?. He….he….. Ironis sekali. Bugis mungkin suatu hari nanti hanyalah sebuah predikat yang malas kita sandang. Bukankah generasi kini lebih tahu tentang Putri Diana, lebih menguasai riwayat hidup Ronaldo dibandingkan riwayat Arung Palakka, Kajao Lalliddong atau legenda Sawerigading? Arus modernisasi dan neo-liberalisme begitu kuat mencengkram generasi Bugis masa sekarang ini.
Ketika melihat fenomena budaya yang berkembang di masyarakat Bone khususnya dikalangan generasi muda. Ada beberapa pertanyaan sederhana yang sebenarnya mengandung makna keprihatinan atas fenomena tersebut. Berapa banyak anak muda Bone yang bisa bercerita lengkap tentang sejarah Bone? Sejauh mana anak muda Bone tahu tentang tokoh-tokoh di balik kebesaran kerajaan Bone? Berapa banyak anak muda Bone yang bisa menulis dan membaca aksara lontara dengan baik? Berapa banyak anak muda Bone yang bisa berbahasa Bugis dengan bahasa yang halus? Berapa banyak anak muda yang hafal dan mengamalkan pesan-pesan leluhur (Pappaseng To Riolo)? Apakah perilaku generasi Bone saat ini telah mencerminkan sikap-sikap (Mappakkeade’) seperti yang dulu dimiliki para pendahulunya? Dan masihkan ikatan emosional (Riassibonei) terjalin dengan harmonis antara sesama warga Bone di dalam dan luar daerah?
Kami tidak ingin memberikan jawaban dan penilaian dari pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas. Yang jelas dengan menumbuhkembangkankan jiwa dan semangat ke To Bone-an, sangatlah urgen dan strategis untuk dilakukan. Karena diakui atau tidak, saat ini masyarakat dunia (termasuk masyarakat Bone) hidup dalam kecenderungan yang bersifat global. Pergeseran budaya yang semakin tajam, kecilnya dunia berkat sistem komunikasi dan transformasi yang semakin canggih telah memberikan makna kehidupan manusia ke arah yang lebih maju dan modern.
Dalam situasi dan kondisi seperti ini, bukan hal yang mustahil semangat dan budaya kedaerahan (ke-to Bone-an) akan semakin terkikis atau mungkin hilang dari sanubari masyarakat Bone, terkhusus di kalangan generasi muda (ana ri munri) yang memang jarang tersentuh dengan gagasan–gagasan , kegiatan-kegiatan (aktivitas) dan peninggalan sejarah (artefak yang dimiliki kabupaten Bone dari lingkungannya (Keluarga, Sekolah, dan Masyarakat).
Seyogianya, Bugis Bone (Wija To Bone) tidak hanya sekadar mengaku dan diakui sebagai orang Bone lantaran lahir di Tana Bone. Akan tetapi, lebih jauh mereka seharusnya memahami sejarah lelulur, memahami kebudayaan Bone dan mengimplementasikannya nilai-nilai spirit kearifan hidup, spirit keberanian, dan ketangguhan menjalani hidup. Berpegang pada Pesan Leluhur, yakni : Makkateni ri limae akkatenningeng, iyanaritu :
1. Mammulanna Riada TongengngE;
2. Maduanna RilempuE;
3. Matellunna Rigettengng-E.
4. Maepana SipakatauE,
5. Malimanna mappesonaE ri Dewata SewwaE. (Mattulada: 1995 atau lihat Anwar Ibrahim 2000)
II. Masa Pemerintahan Raja Bone ke-7 Latenri Rawe Bongkangnge (1568-1584)
Mattulu Tellue berasal dari kata “Situlu Tellu” dalam bahasa Bugis berarti saling bertaut tiga yang disimbolkan sebagai tali. Kemudian melahirkan Mattulu Tellue yang artinya sesuatu atau tali yang bertaut tiga yang dijadikan sebagai simbol keutuhan dan kekuatan. Dalam bahasa Makassar disebut Mabbulo Sipeppa atau Mabbulo Sibatang, yakni tiga batang dijadikan menjadi satu. Dengan menggabungkan tiga buah batang menjadi satu kesatuan dapat membentuk sebuah kekuatan.
Baik Mattulu Tellue ataupun Mabbulo Sipeppa/Mabbulo Sibatang merupakan sesuatu yang abstrak namun di dalamnya sarat dengan makna simbolis yang dijadikan sebagai motivasi dalam semangat hidup.
Dikalangan Bugis Bone, Konsep Mattulu Tellue telah digunakan dimasa pemerintahan raja Bone ke-7 Latenri Rawe Bongkangnge (1568-1584) . Konsep ini dipopulerkan oleh sang diplomat ulung dari Tanah Bone yang di kenal dengan gelar Kajao Lalliddong. Lamellong yang bergelar Kajao lalliddong tersebut banyak menciptakan dan melahirkan konsep-konsep kepemimpinan sebagai norma-norma adab yang dijadikan sebagai anutan oleh raja dalam menjalankan roda pemerintahannya. Seperti berikut ini ;
1.Tidak membiarkan rakyatnya bercerai-berai;
2.Tidak memejamkan mata siang dan malam;
3. Menganalisis sebab akibat suatu tindakan sebelum dilakukan; dan
4. Raja harus mampu bertututur kata dan menjawab pertanyaan.
Dalam menjaga eksistensi norma-norma adab di atas mereka membangun sebuah prinsip yang dijadikan sebagai perisai yakni Mattulu Tellue antara lain :
1. Siattinglima, yang artinya bergandengan tangan.
Maksudnya : apabila sesuatu pekerjaan dilakukan secara bersama-sama, maka ringanlah pekerjaan itu
2. Sitonraola, yang artinya berjalan searah, satu kata dalam mufakat
Maksudnya : Sesuatu permasalahan harus diputuskan dengan musyawarah dan mufakat
3. Tessibelleang, yang artinya tidak saling menghianati
Maksudnya : Segala sesuatu yang telah dimufakati sebagai keputusan maka siapapun harus menaatinya.
Pada hakikatnya jauh sebelum Pemerintahan Latenri Rawe Bongkangnge nilai-nilai semangat Mattulu Tellue telah ada pada masa pemerintahan Raja Bone ke-1 La Ubbi yang digelar Manurungnge Ri Matajang dalam menyatukan rakyat Bone pada masa itu namun kata Siattinglima, Sitonraola, Tessibelleang dipopulerkan oleh lamellong Kajao Lalliddong
III. Masa pemerintahan Raja Bone Ke-15 Arung Palakka (1667–1696)
Pada masa ini beliau menumbuhkan kembali jiwa dan semangat ke To-Bone-an.yakni :
1. Malilu Sipakainge
2. Mali Siparappe,
3. Rebba Sipatokkong”
(artinya : "Hanyut saling berdampar, Rubuh saling tegakkan, Terlupa saling ingatkan, sehidup saling menghargai) - sebuah pepatah Bugis yang mengandung makna yang sangat dalam tentang arti persaudaraan akan selalu hidup dalam jiwa masyarakat.
Selanjutnya, dengan dasar norma adab di atas, dalam mempertahankan eksistensi semangat Konsep Mattulu Tellue secara berkesinambungan di Tana Bone, maka pada masa pemerintahan Raja Bone ke-15 Arung Palakka membangun sebuah motto yang dikenal dengan sebutan “Tellabu Essoe Ri Tengnga Bitarae” yang artinya “Takkan Tenggelam Matahari Di Tengah Langit” Maksudnya : Sesuatu pekerjaan harus berakhir dengan keberhasilan. Dalam bahasa Bugis “Amporo atau Makkamporo” atau “Aja’ Muakkamporo” yaitu telur yang gagal menetas. Maksudnya apabila kita menghadapi atau melakukan suatu pekerjaan janganlah berhenti di tengah jalan. Hal ini setara dengan “ Kambacu” Aja’ Muakkambacu” Dalam bahasa Bugis Kambacu adalah biji jagung yang digoreng namun gagal menjadi berti atau mekar. Konsep inilah juga yang dijadikan Arung Palakka sebagai penyemangat dalam membebaskan rakyat Bone yang dijadikan sebagai pekerja paksa oleh Gowa pada masa itu.
Kebesaran Bone di masa lalu adalah spirit kehidupan, gerak kualitas peradaban. Namun ia baru berarti ketika filosofi agungnya sebagai pondasi dasar dan tetap utuh dianut serta dipegang teguh oleh masyarakatnya. Lalu, sejauhmanakah semangat ke To-Bone-an hari ini dan masih adakah manusia Bugis Bone yang sesungguhnya? Tatkala secara substansial nilai dasar sebagai filosof dan spirit hidup Bugis telah mengalami degradasi dan dehidrasi besar-besaran?
Di zaman ini, ketika kita kembali meneropong masa Ialu, menguak tabir jejak-jejak sejarah gemilang moyang kita pada masa silam. Seyogianya kita jadikan sebagai bahan renungan kita semua. Hal ini bukan berarti untuk mengevaluasi apa lagi untuk memberikan penilaian, akan tetapi semata-mata berniat sebagai “gelitik luhur ” dan bahan renungan bagi kita semua terutama bagi penulis sendiri, akan pentingnya munumbuhkan kembali jiwa dan semangat ke To-Bone-an, yaitu :
”Mattulu Tellue/Mabbulo Sipeppa/Mabbulo Sibatang, yakni : Malilu Sipakainge, Mali Siparappe,Rebba,Sipatokkong”
Sebagaimana Petuah Leluhur :
“Seratu’ Ada’ seddi Gau’, Gau’E mappattentu.,Sadda mappabati Ada’., Ada’ mappabati Gau.,Gau mappabati Tau., Tau Sipakatau Sipakalebbi. Mappau Ada Mappaddupa Gau, Sitonrai Lilae na BatelaE, Nasaba Engka Siri’ta Nennia Pesseta “siri’mi rionroang ri lino naiyya Sire’E Nyawa nakira-kira nenniya Sunge’ Naranreng”, Nassibawai Wawang ati macinnong, lempu, getteng, ada tongeng, temmapasilaengeng, warani, amaccangeng, reso, tenricau tenribali, maradeka nennia assimellereng.,Makkatenni Masse ri Panngaderengnge na Mappesona ri Dewata SewwaE “Mette’ Tenribali, Massa’da Tenri Sumpala”
IV. SIMPULAN
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa Konsep Mattulu Tellue dimasa Pemerintahan Raja Bone ke-7 Latenri Rawe Bongkangnge dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Siattinglima, yang artinya bergandengan tangan.
Maksudnya : apabila sesuatu pekerjaan dilakukan secara bersama-sama, maka ringanlah pekerjaan itu
2. Sitonraola, yang artinya berjalan searah, satu kata dalam mufakat
Maksudnya : Sesuatu permasalahan harus diputuskan dengan musyawarah dan mufakat
3. Tessibelleang, yang artinya tidak saling menghianati
Maksudnya : Segala sesuatu yang telah dimufakati sebagai keputusan maka siapapun harus menaatinya.
Selanjutnya, Konsep Mattulu Tellue dimasa Pemerintahan Raja Bone ke-15 Latenri Tata Arung Palakka dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Malilu Sipakainge,
2. Mali Siparappe,
3. Rebba,Sipatokkong”
(artinya : " Terlupa Saling Mengingatkan, Hanyut Saling Berdampar, Rubuh Saling Menegakkan)
Kata kunci konsep di atas adalah “Tellabu Essoe Ri Tengnga Bitarae”
Dengan demikian, semua tatanan adab di atas berfungsi perisai dalam
1. Menjaga dan mempertahankan eksistensinya baik personal maupun kelompok;
2. Bahasa simbol / Motto yang berfungsi penyemangat dalam menjalankan segala bentuk aktivitas baik internal maupun eksternal dalam kelompok.
(Mursalim-Teluk Bone)
Langganan:
Postingan (Atom)