Rabu, 24 Juli 2013

Hakikat Puasa dan Bertemu dengan Allah

Marhaban Yaa Ramadhan.

Mari kita jemput keberkahan dan rahmat Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, insyaallah pada bulan Ramadhan tahun ini .
Suatu hari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, mendengar seorang wanita tengah mencaci-maki hamba sahayanya, padahal ia sedang berpuasa. Nabi saw, segera memanggilnya. Lalu Beliau menyuguhkan makanan seraya berkata, “Makanlah hidangan ini “. Keruan saja wanita itu menjawab, “Ya Rasulullah, aku sedang berpuasa”. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, berkata dengan nada heran, “Bagaimana mungkin engkau berpuasa sambil mencaci-maki hamba sahayamu ?”. Sesungguhnya Allah menjadikan puasa sebagai penghalang (hijab) bagi seseorang dari segala kekejian ucapan maupun perbuatan. Betapa sedikitnya orang yang berpuasa dan betapa banyaknya orang yang lapar”.  (HR Bukhari)
Dengan hadits tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ingin mengingatkan kaum Muslim hakikat puasa yang sebenarnya.
Istilah shaum bersumber dari bahasa Arab yang artinya, menahan, mengekang atau mengendalikan (al-imsak).
Secara syariat (fikih), makna puasa adalah menahan diri dari segala sesuatu yang dapat membatalkan mulai terbitnya fajar shubuh hingga terbenamnya matahari yang disertai dengan niat.
Puasa terdiri dari tiga tingkatan.
Puasa perut, tingkatan paling awal adalah puasa yang memenuhi syariat, yakni puasa muslim pada umumnya.
Puasa hawa nafsu, tingkatan selanjutnya setelah puasa perut, puasa sesauai syariat yang diikuti dengan menahan hawa nafsu.
Apabila engkau berpuasa hendaknya telingamu berpuasa dan juga matamu, lidahmu dan mulutmu, tanganmu dan setiap anggota tubuhmu atau setiap panca inderamu” (al Hadits).
Puasa qalbu, tingkatan tertinggi setelah puasa hawa nafsu, puasa yang diikuti dengan menahan dari segala kecenderungan yang rendah dan pikiran yang bersifat duniawi, serta memalingkann diri dari segala sesuatu selain Allah.
Keadaan sadar(kesadaran) atau perilaku/perbuatan secara sadar dan mengingat  Allah (dzikrulllah)  inilah kunci dari Taqwa
Sayidina Ali bin Abi Thalib ra mengatakan “Puasa Qalbu adalah menahan diri dari segala pikiran dan perasaan yang menyebabkan terjatuh pada dosa”.
Bertemu Allah
Bagi orang yang berpuasa ada dua kegembiraan, yaitu kegembiraan ketika berbuka dan kegembiraan ketika bertemu dengan Tuhannya” (HR Bukhari).
Sebagian muslim memahami bahwa yang dimaksud dengan hadits ini adalah  dengan amal puasa kita dapat bertemu dengan Allah di akhirat kelak.
Benar, bahwa dengan amal puasa dan amal-amal lainnya yang menunjukkan tingkat ketaqwaan seorang muslim yang dapat menghantarkan pada kenikmatan tertinggi dari semua kenikmatan yang ada di surga adalah melihat (bertemu) Allah..
Bahkan bagi mereka yang berpuasa, telah tersedia pintu khusus untuk mereka
Dari Sahl dari Nabi bersabda : Sesungguhnya dalam surga terdapat sebuah pintu yang bernama Ar Rayyan, orang-orang yang berpuasa akan masuk melaluinya pada hari kiamat, dan selain mereka tidak akan masuk melaluinya. ….(Hadist riwayat Bukhari dan Muslim)
Namun sesungguhnya kegembiraan berpuasa, bertemu dengan Allah dapat juga kita rasakan atau kita alami saat kita di dunia.
Mereka yang merasakan bertemu Allah di dunia  adalah mereka yang gemar mengadukan segala macam persoalan kehidupannya di dunia ke hadapan Allah. Mereka yang dengan sesungguhnya mengatakan bahwa,
….. hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan” (QS  Al Fatihah [1] : 5 )
Mereka-mereka yang gembira dilihat Allah Azza wa Jalla.
Mereka-mereka yang gembira bertemu dengan Allah Azza wa Jalla di dunia.
Sebagian muslim belum mengimani bahwa kita dapat bertemu dengan Allah Azza wa Jalla di dunia walaupun kita tidak dapat melihatNya.
Sebagian muslim belum mengimani bertemu dengan Allah Azza wa Jalla di dunia karena kesalahpahaman memahami firman Allah ta’ala yang artinya,
Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu, dan Dia-lah Yang Mahahalus lagi Maha Mengetahui.” [QS Al-An’aam: 103]
Allah Subhanahu wa Ta’ala pernah berfirman kepada Nabi Musa Alaihissalam
Kamu sekali-kali tidak dapat melihat-Ku.” [QS Al-A’raaf: 143]
Demikian juga sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Ketahuilah bahwa tidak ada seorang pun yang akan bisa melihat Rabb-nya hingga ia meninggal dunia” (HR Muslim)
Juga pernyataan ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha, ia berkata.
Barangsiapa menyangka bahwasanya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Rabb-nya, maka orang itu telah melakukan kebohongan yang besar atas Nama Allah.” (Muslim)
Firman-firman Allah dan hadits diatas adalah petunjuk bahwa Allah tidak dapat kita lihat di dunia dengan mata kepala (secara dzahir / lahiriah).
Namun kita dapat menghadap kepada Allah,  bersama Allah, bertemu Allah, berlari kepada Allah (Fafirruu Ilallah) ketika di dunia walaupun kita di dunia  tidak dapat melihatNya.
Sebagai contoh bahwa kita menghadap Allah, bertemu Allah ketika di dunia adalah mendirikan sholat
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, bahwa Ash-shalatul Mi’rajul Mu’minin , “sholat itu adalah mi’rajnya orang-orang mukmin“.
Yaitu naiknya jiwa meninggalkan ikatan nafsu yang terdapat dalam fisik manusia menuju ke hadirat Allah Azza wa Jalla.
Sebagian muslim tidak menyadari bahwa mereka menghadap Allah Azza wa Jalla, bertemu Allah Azza wa Jalla di dunia. Mereka beribadah (menyembah Allah)  tanpa merasakan menghadap ke hadhirat Allah.
Sebagian muslim di dunia bahkan “menghindari” menghadap Allah Azza wa Jalla atau “menghindari” bertemu dengan Allah Azza wa Jalla, seolah-olah mereka dapat tidak terlihat oleh Allah Azza wa Jalla di dunia  padahal Allah Maha Melihat dan Maha Mengetahui.
Maka kerugian besar bagi muslim yang belum dapat merasakan seolah-olah melihat Allah Azza wa Jalla di dunia, bertemu  Allah Azza wa Jalla, bersama dengan Allah ketika di dunia.
Iman paling afdol ialah apabila kamu mengetahui bahwa Allah selalu menyertaimu dimanapun kamu berada“. (HR. Ath Thobari)
Mereka secara tidak disadari mengingkari apa yang mereka ucapkan bahwa
“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang” (QS Al Fatihah : 1)
Sesungguhnya, “dengan menyebut nama Allah” itu adalah “dengan dzatNya”, bersama Allah, bertemu Allah, berlari kepada Allah (Fafirruu Ilallah).
Jadi, muslim yang berpuasa dan dapat mengalami, merasakan kegembiraan bertemu dengan Allah di dunia dan mengharapkan tetap bertemu dengan Allah di akhirat kelak  adalah mereka yang telah menjalankan puasa qalbu. Selama mereka berpuasa mereka melakukan secara sadar dan mengingat Allah. Mereka bersama Allah.
Buatlah perut-perutmu lapar dan qalbu-qalbumu haus dan badan-badanmu telanjang, mudah-mudah an qalbu kalian bisa melihat Allah di dunia ini (HR Bukhari).

Itikaf dan Malam Lailatul Qodar. Taukah Antum?

I’TIKAF
1. Hikmah I’tikaf
Al Allamah Ibnul Qayyim berkata : “Manakala hadir dalam keadaan sehat dan istiqamah (konsisten) di atas rute perjalanan menuju Allah Ta’ala tergantung pada berkumpulnya (unsur pendukung) hati tersebut kepada Allah, dan menyalurkannya dengan menghadapkan hati tersebut kepada Allah Ta’ala secara menyeluruh, karena kusutnya hati tidak akan dapat sembuh kecuali dengan menghadapkan(nya) kepada Allah Ta’ala, sedangkan makan dan minum yang berlebih-lebihan dan ber- lebih- lebihan dalam bergaul, terlalu banyak bicara dan tidur, termasuk dari unsur-unsur yang menjadikan hati bertambah berantakan (kusut) dan menceraiberikan hati di setiap tempat, dan (hal-hal tersebut) akan memutuskan perjalanan hati menuju Allah atau akan melemah- kan, menghalagi dan menghentikannya.”
“Rahmat Allah Yang Maha Perkasa lagi Penyayang menghendaki untuk mensyari- ‘atkan bagi mereka puasa yg bisa menyebabkan hilangnya kelebihan makanan dan minuman pada hamba-Nya, dan akan membersihkan kecenderungan syahwat pada hati yang (mana syahwat tersebut) dapat merintangi perjalanan hati menuju Allah Ta’ala, dan disyari’atkannya (i’tikaf) berdasarkan maslahah (kebaikan yang akan diperoleh) hingga seorang hamba dapat mengambil manfaat dari amalan tersebut baik di dunia maupun di akhirat. Tidak akan merusak dan memutuskannya (jalan) hamba tersebut dari (memperoleh) kebaikannya di dunia maupun di akhirat kelak.”
“Dan disyari’atkannya i’tikaf bagi mereka yang mana maksudnya serta ruhnya adalah berdiamnya hati kepada Allah Ta’ala dan kumpulnya hati kepada Allah, berkhalwat dengan-Nya dan memutuskan (segala) kesibukan dengan makhluk, hanya menyibukkan diri kepada Allah semata. Hingga jadilah mengingat-Nya, kecintaan dan penghadapan kepada-Nya sebagai ganti kesedihan (duka) hati dan betikan-betikannya, sehingga ia mampu mencurahkan kepada-Nya, dan jadilah keinginan semuannya kepadanya dan semua betikan-betikan hati dengan mengingat-Nya, bertafakur dalam mendapatkan keridhaan dan sesuatu yang mendekatkan dirinya kepada Allah. Sehingga bermesraan ketika berkhalwat dengan Allah sebagai ganti kelembutannya terhadap makhluk, yang menyebabkan dia berbuat demikian adalah karena kelembutannya tersebut kepada Allah pada hari kesedihan di dalam kubur manakala sudah tidak ada lagi yang berbuat lembut kepadanya, dan (manakala) tidak ada lagi yang dapat membahagiakan (dirinya) selain daripada-Nya, maka inilah maksud dari i’tikaf yang agung itu.”
2. Makna I’tikaf
Yaitu berdiam (tinggal) di atas sesuatu. Dan dapat dikatakan bagi orang-orang yg tinggal di masjid dan menegakkan ibadah di dalamnya sebagai mu’takif dan ‘akif.
3. Disyariatkannya I’tikaf
Disunnahkan pada bulan Ramadhan dan bulan yang lainnya sepanjang tahun. Telah shahih bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam beri’tikaf pada sepuluh (hari) terakhir di bulan Syawwal. Dan Umar pernah bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku ini pernah bernazar pada jaman jahiliyyah (dahulu), (yaitu) aku akan beri’tikaf pada malam hari di Masjidil Haram.” Beliau bersabda, “Tunaikanlah nazarmu.” Maka ia (Umar Radhiyallahu ‘anhu) pun beri’tikaf pada malam harinya.” (Riwayat Bukhari (4/237) dan Muslim (1656))
Yang paling utama (yaitu) pada bulan Ramadhan berdasarkan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu (bahwasanya) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sering beri’tikaf pada setiap Ramadhan selama sepuluh hari dan manakala tibanya tahun yang dimana baliau diwafatkan, beliau beri’tikaf selama dua puluh hari. (Riwayat Bukhari (4/245))
Dan yang lebih utama yaitu pada akhir bulan Ramadhan karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam seringkali beri’tikaf pada sepuluh (hari) terakhir di bulan Ramadhan hingga Allan Yang Maha Perkasa dan Mulia mewafatkan beliau. (Riwayat Bukhari (4/266) dan Muslim (1173) dari ‘Aisyah)
4. Syarat-syarat I’tikaf
Tidak disyari’atkan kecuali Masjid, berdasarkan firman Allah Ta’ala:
“Dan janganlah kamu mencampuri mereka itu, sedangkan kamu beri’tikaf di Masjid.” (Al Baqarah : 187)
Dan sunnahnya bagi orang-orang yang beritikaf (yaitu) hendaknya berpuasa sebagaimana dalam (riwayat) ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha yang telah disebutkan.
5. Perkara-perkara yang boleh dilakukan selama I’tikaf
  • Diperbolehkan keluar dari masjid jika ada hajat, boleh mengeluarkan kepalanya dari masjid untuk dicuci dan disisir (rambutnya). ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha berkata: “Dan sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah memasukkan kepalanya kepadaku, padahal beliau sedang i’tikaf di masjid (dan aku berada di kamarku) kemudian aku sisir rambutnya (dalam riwayat lain: aku cuci rambutnya) [dan antara aku dan beliau ada pintu][dan waktu itu aku sedang haidh] dan Rasulullah tidak masuk ke rumah kecuali untuk (menunaikan) hajat (manusia) ketika sedang i’tikaf.” (HR. Bukhari (1/342) dan Muslim (297))
  • Orang yang sedang i’tikaf dan yang lainnya diperbolehkan untuk berwudhu di masjid berdasarkan ucapan salah seorang pembantu Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berwudhu di dalam masjid dengan wudhu yang ringan.” (Dikeluarkan oleh Ahmad (5/364) dengan sanad yang shahih
  • Dan diperbolehkan bagi orang yang sedang i’tikaf untuk mendirikan tenda (kemah) kecil pada bagian dibelakan masjid sebagai tempat dia beri’tikaf, karena ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anhu (pernah) membuat kemah (yang terbuat dari bulu atau wool yang tersusun dengan dua atau tiga tiang) apabila beliau beri’tikaf (Sebagaimana dalam Shahih Bukhari (4/226).dan hal ini atas perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam (Sebagaimana dalam Shahih Muslim (1173)).
  • Dan diperbolehkan bagi orang yang sedang beri’tikaf untuk meletakkan kasur atau ranjangnya di dalam tenda tersebut, sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Umar Radhiyallahu’anhuma bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam jika i’tikaf dihamparkan kasur dan diletakkan ranjang untuknya dibelakang tiang At Taubah. (Dikeluarkan oleh Ibnu Majah (642-zawaidnya) dan Al Baihaqi, sebagaimana yang dikatakan oleh Al Bushairi dari dua jalan. Dan sanadnya hasan)
6. I’tikafnya wanita dan kunjungannya ke masjid
  • Diperbolehkan bagi seorang istri untuk mengunjungi suaminya yang berada di tempat i’tikaf, dan suami diperbolehkan mengantar istri sampai ke pintu masjid. Shafiyyah Radhiyallahu ‘anha berkata: “Dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam (tatkala beliau sedang) i’tikaf (pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan) aku datang mengunjunginya pada malam hari [ketika itu disisinya ada beberapa istri beliau sedang bergembira ria] maka akupun berbincang sejenak, kemudian aku bangun untuk kembali, [maka beliaupun berkata: jangan engkau tergesa-gesa sampai aku bisa mengantarmu] kemudian beliaupun berdiri bersamaku untuk mengantarkan aku pulang, -tempat tinggal Shafiyyah yaitu rumah Usama bin Zaid- [sesampainya di samping pintu masjid yang terletak di samping pintu Ummu Salamah] lewatlah dua orang laki-laki dari kalangan Anshar dan ketika keduanya melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam maka keduanyapun bergegas. Kemudi an Nabi pun bersabda, “Tenanglah, ini adalah Shafiyyah bintu Huyai.” Kemudian keduanya berkata, “Subhanallah ya Rasulullah.” Beliaupun bersabda, “Sesungguhnya syaitan itu menjalar anak Adam pada aliran darahnya dan sesungguhnya aku khawatir akan bersarang kejelekan di hati kalian – atau beliau berkata sesuatu-.”(Dikeluarkan oleh Bukhari (4/240) dan Muslim (2157) dan tambahan yang terakhir ada pada Abu Dawud (7/142-143 di dalam Aunul Ma’bud). (
  • Seorang wanita boleh i’tikaf dengan didampingi suaminya ataupun sendirian. Berdasarkan ucapan ‘Aisyah Radhiyyallahu ‘anha, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam i’tikaf pada sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan sampai Allah mewafatkan beliau kemudian istri-istri beliau i’tikaf setelah itu”
Berkata Syaikh Al Albani Rahimahullah, “Pada atsar tersebut ada suatu dalil yang menunjukkan atas bolehnya wanita beri’tikaf dan tidak diragukan lagi bahwa hal itu dibatasi (dengan catatan) ada izin dari wali-wali mereka dan aman dari fitnah, berdasarkan dalil-dalil yang banyak mengenai larangan berkhalwat dan kaidah fiqhiyah: Menolak kerusakan lebih didahulukan daripada mengambil manfaat.”
MALAM LAILATUL QADAR
Keutamaannya sangat besar, karena malam ini menyaksikan turunnya Al Qur-an Al Karim, yang membimbing orang-orang yang berpegang dengannya ke jalan kemuliaan dan mengangkat ke derajat yang mulia dan abadi. Umat Islam yang mengikuti sunnah Rasulnya tidak memasang tanda-tanda tertentu dan tidak pula menacapkan anak-anak panah untuk memperingati malam ini, akan tetapi mereka berlomba-lomba untuk bangun di malam harinya dengan penuh iman dan mengharap pahala dari Allah.
Inilah wahai saudaraku muslim, ayat-ayat Qur-aniyah dan hadits-hadits Nabawiyah yang shahih menjelaskan tentang malam tersebut.
1. Keutamaan malam Lailatul Qadar
Cukuplah untuk mengetahui tingginya kedudukan Lailatul Qadar dengan mengetahui bahwasanya malam itu lebih baik dari seribu bulan, Allah berfirman:
“Sesungguhnya Kami menurunkan Al Qur’an pada malam Lailatul Qadar, tahukah engkau apakah malam Lailatul Qadar itu? Malam Lailatul Qadar itu lebih baik dari seribu bulan, Pada malam itu turunlah malaikat-malaikat dan Jibril dengan izin Rabb mereka (untuk membawa) segala urusan, Selamatlah malam itu hingga terbit fajar.” (Al Qadar : 1-5)
Dan pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah:
“Sesungguhnya Kami menurunkan pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (yaitu) urusan yang besar dari sisi Kami. Sesungguhnya Kami adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Ad Dukhan : 3 – 6)
2. Waktu turunnya Lailatul Qadar
Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa malam tersebut terjadi pada tanggal malam 21, 23, 25, 27, 29 dan akhir malam bulan Ramadhan. (Pendapat-pendapat yang ada dalam masalah ini berbeda-beda, Imam Iraqi telah mengaran suatu risalah khusus diberi judul Syarh Shadr bi Dzikri Lailatul Qadar, membawakan perkataan para ulama dalam masalah ini)
Imam Syafi’i berkata, “Menurut pemahamanku, wallahu a’lam, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab sesuai yang ditanyakan, ketika ditanyakan kepada beliau, ‘Apakah kami mencarinya di malam ini?’ Beliau menjawab, ‘Carilah di malam tersebut.’”
Pendapat yang paling kuat, terjadinya malam Lailatul Qadar itu pada malam terakhir bulan Ramadhan berdasarkan hadits ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha, beliau berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam beri’tikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan dan beliau bersabda: “Carilah malam Lailatul Qadar di (malam ganjil) pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan.” (Bukhari (4/225) dan Muslim (1169))
Jika seseorang merasa lemah atau tidak mampu, janganlah sampai terluput dari tujuh hari terakhir, karena riwayat dari Ibnu Umar, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Carilah di sepuluh hari terakhir, jika tidak mampu maka janganlah sampai terluput tujuh hari sisanya.” (HR. Bukhari (4/221) dan Muslim (1165)) “Aku melihat mimpi kalian telah terjadi, barangsiapa yang mencarinya carilah pada tujuh nari terakhir.”
Telah diketahui dalam sunnah, pemberitahuan ini ada karena perdebatan para shahabat. Dari Ubadah bin Shamit Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasalam keluar pada malam Lailatul Qadar, ada dua orang sahabat berdabat, beliau bersabda: “Aku keluar untuk mengkhabarkan kepada kalian tentang malam Lailatul Qadar, tapi ada dua orang berdebat hingga tidak bisa lagi diketahui kapannya, mungkin ini lebih baik bagi kalian, carilah di malam 29, 27, 25 (dan dalam riwayat lain, tujuh, sembilan dan lima).” (HR. Bukhari (4/232))
Telah banyak hadits yang mengisyaratkan bahwa amalan Lailatul Qadar itu pada sepuluh hari terakhir, yang lainnya menegaskan dimalam ganjil sepuluh hari terakhir. Hadits yang pertama sifatnya umum, sedang hadits keuda adalah khusus, maka riwayat yang khusus lebih diutamakan daripada yang umum. Dan telah banyak hadits yang lebih menerangkan bahwa malam Lailatul Qadar itu ada pada tujuh hari terakhir bulan Ramadhan, tetapi ini dibatasi kalau tidak mampu dan lemah, tidak ada masalah, dengan ini cocoklah hadits-hadits tersebut tidak saling bertentangan, bahkan bersatu tidak terpisah.
Kesimpulannya, jika seorang muslim mencari malam Lailatul Qadar carilah pada malam ganjil sepuluh hari terakhir, 21, 23, 25, 27 dan 29. Kalau lemah dan tidak mampu mencari pada sepuluh hari terakhir, maka carilah pada malam ganjil tujuh hari terakhir yaitu 25, 27 dan 29. Wallahu a’lam.
3. Bagaimana mencari malam Lailatul Qadar
Sesungguhnya malam yang diberkahi ini barangsiapa yang diharamkan untuk mendapatkannya, maka sungguh telah diharamkan seluruh kebaikan (baginya). Dan tidaklah diharamkan kebaikan itu melainkan (bagi) orang yang diharamkan (untuk mendapatkannya). Oleh karena itu dianjurkan bagi muslimin (agar) bersemangat dalam berbuat ketaatan kepada Allah untuk menghidupkan malam Lailatul Qadar dengan penuh keimanan dan pengharapan pahala-Nya yang besar, jika (telah) berbuat demikian (maka) akan diampuni Allah dosa-dosanya yang telah lalu.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa berdiri (shalat) pada malam Lailatul Qadar dengan penuh keimanan dan mengharap pahala dari Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari (4/217) dan Muslim (759))
Disunnahkan untuk memperbanyak do’a pada malam tersebut. Telah diriwayatkan dari Sayyidah ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha bahwa dia bertanya, “Ya Rasulullah, apa pendapatmu jika aku tahu kapan malam Lailatul Qadar (terjadi), apa yang harus aku ucapkan?” Beliau menjawab”
“Ucapkanlah, Ya Allah Engkau Maha Pengampun dan Mencintai orang yang meminta ampunan, maka ampunilah aku.(Allahumma Innaka ‘Affuwun Tuhibul ‘Afwa Fa’fu anna)” (HR. Tirmidzi (3760), Ibnu Majah (3850) dari ‘Aisyah, sanadnya shahih)
Saudaraku -semoga Allah memberkahimu dan memberi taufiq kepadamu untuk mentaati-Nya- engkau telah mengetahui bagaimana keadaan Lailatul Qadar (dan keutamaannya) maka bangunlah (untuk menegakkan shalat) pada sepuluh malam terakhir, menghidupkannya dengan ibadah dan menjauhi wanita, perintahkan kepada istrimu dan keluargamu utu ktu, perbanyaklah perbuatan ketaatan. Dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha:
“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam apabila masuk pada sepuluh hari (terakhir bulan Ramadhan), beliau mengencangkan kainnya menghidupkan malamnya dan membangunkan keluarganya.” (HR. Bukhari (4/233) dan Muslim (1174))
Juga dari ‘Aisyah, dia berkata:
“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersungguh-sungguh (beribadah apabila telah masuk) malam kesepuluh (terakhir) yang tidak pernah beliau lakukan pada malam-malam lainnya.” (Muslim (1174))
4. Tanda-tanda malam Lailatul Qadar
Ketahuilah hamba yang taat -mudah-mudahan Allah menguatkanmu dengan ruh dari-Nya dan membantu dengan pertolongan-Nya- sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menggambarkan paginya malam Lailatul Qadar agar seorang muslim mengetahuinya.
Dari ‘Ubai Radhiyallahu ‘anhu ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Pagi hari malam Lailatul Qadar, matahari terbit tidak menyilaukan, seperti bejana hingga meninggi.” (Muslim (762))
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu ia berkata, kami menyebutkan malam Lailatul Qadar di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, dan beliau bersabda:
“Siapa di antara kalian yang ingat ketika terbit bulan seperti syiqi jafnah.” (Muslim (1170 /Perkataan, syiqi jafnah, syiq artinya setengah, jafnah artinya bejana. Al Qadhi ‘Iyadh berkata, “Dalam hadits ini ada isyarat bahwa malam Lailatul Qadar hanya terjadi di akhir bulan, karena bulan tidak akan seperti demikian ketika terbit kecuali di akhir-akhir bulan.”)
Dan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“(Malam) Lailatul Qadar adalah malam yang indah, cerah, tidak panas dan tidak juga dingin, (dan) keesokan harinya cahaya sinar mataharinya melemah kemerah- merahan.” (Thayalisi (394), Ibnu Khuzaimah (3/231), Bazzar (1/486), sanadnya hasan)
Oleh : Agus S – Humas Div Eksternal UKKI UNSOED.

Kamis, 11 Juli 2013

Siapa di Belakang HT, dan Sejenisnya yang Menghambat Dakwah Parlemen?

By Saefullah on July 5, 2013


Oleh: Dodi Indra Permadi

DUA langkah telah dilakukan untuk menghambat perjuangan amar ma’ruf nahi mungkar di parlemen, pertama, mengharamkan parlemen dan jalan menuju ke parlemen yaitu pemilu atau demokrasi, kedua, membentuk opini negatif dengan jalan mengungkap kelemahan, kejelekan dan kesalahan orang-orang yang berjuang di parlemen, dari dua langkah tersebut diharapankan umat Islam menjauhi dan tidak mendukung perjuangan di parlemen.

Langkah pertama sangat relevan, karena mencari hukum sebuah perbuatan akan sangat bermanfaat bagi kehidupan umat Islam, tapi sayangnya, telah nyata tidak ada nash yang mengharamkannya tetap mencari-cari nash untuk mengharamkannya, sehingga mudharat yang akan didapat, karena akan dapat mengharamkan sesuatu yang tidak haram seperti libur hari Sabtu-Minggu, pajak 10%, sistem jenjang pendidikan SD sampai perguruan tinggi, gelar kelulusan atau ijazah dan banyak hal lagi yang harus diharamkan.

Langkah kedua tidak relavan, pertama, mencari-cari kelemahan dan kesalahan sesama muslim untuk membentuk citra buruk adalah larangan agama :

Abu Hurairah ra berkata : bersabda Nabi saw: “Tiada seorang yang menutupi aurat kejelekan orang lain di dunia, melainkan Allah akan menutupi kejelekannya di hari kiamat,” (HR. Muslim).

Padahal kalau memang terdapat kejelekan dan kesalahan orang-orang yang berjuang di parlemen, seharusnya diberi nasehat dan didoakan agar istiqomah dan selalu dalam kebaikan bukan malah dibuka aibnya, kedua, disebabkan sibuk mencari kelamahan dan kesalahan orang lain, dia sendiri lupa bahwa dia justru tidak mencapai kemajuan sedikitpun dalam dakwahnya dan lupa untuk instropeksi diri, padahal alangkah bermanfaatnya bila segenap tenaga dan pikiran dicurahkan untuk mencapai kemajuan dakwahnya, dan ada yang lebih berbahaya dari itu semua yaitu boomerang yang sedang menuju dirinya, pepatah mengatakan senjata makan tuan, sibuk melempar boomerang ke arah musuh, tidak sadar boomerang mengarah balik ke dirinya.

Kalau kita kritis, pembentukan opini negatif oleh orang-orang yang mengharamkan parlemen yang ditujukan untuk memberikan citra negatif kepada orang-orang yang berjuang di parlemen, sebetulnya juga berlaku bagi pembuat opini itu sendiri, misalnya opini yang paling sering dihembuskan baik di internet, buku maupun diskusi face to face adalah :

Tidak mungkin syariat Islam ditegakkan melalui demokrasi yang notabene bukan dari Islam, tidak ada dalam sejarah, syariat Islam yang berhasil ditegakkan melalui parlemen dan demokrasi.

Pertama, opini tersebut dimaksudkan untuk menggiring umat Islam supaya mempunyai pemahaman bahwa orang-orang yang berjuang di parlemen tidak akan pernah berhasil untuk menegakkan syariat Islam dan akan menemui kesia-siaan. Diharapkan setelah terbentuk opini tersebut umat Islam akan menarik dukungannya terhadap perjuangan di parlemen.

Tanpa pemahaman kritis, sangat logis bila opini tersebut nampak sebagai pendapat yang benar, karena yang dinyatakan dalam opini tersebut adalah dhahir realita, yang memang realitanya tidak ada dalam sejarah, syariat Islam yang berhasil ditegakkan melalui parlemen dan demokrasi, dan pada saat inipun masih sangat jauh dan tidak mudah merealisasikannya karena harus adu bargaining dengan orang-orang kafir-sekular yang tidak bisa diremehkan.

Namun bila sedikit kritis dan mau berpikir, opini tersebut telah salah dalam menyatakan hakekat perjuangan di parlemen, kesalahannya terletak pada penggunaan “tegaknya syariat Islam” sebagai alat ukur satu-satunya untuk mengetahui keberhasilan perjuangan dalam parlemen, padahal ada alat ukur lain untuk mengetahui kadar keberhasilan, yaitu seberapa besar tambahan kebaikan dan pengurangan keburukan, dalam bahasa agama sejauh mana dapat melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar.

Dalam kitab Al-A’lamul Muwaqqi’in Ibnu Qoyyim mengutip perkataan Ibnu Aqil : “Politik ialah adanya langkah-langkah perbuatan yang manusia dapat berada lebih dekat kepada kebaikan, dan lebih menjauhkan dari kerusakan…..”

Syaikh Albani kepada partai FIS dan kepada umat Islam Aljazair memfatwakan : “Aku katakan ini, – walaupun aku meyakini bahwa pencalonan dan Pemilu ini tidak merealisasikan sasaran yang dituju (tegaknya syariat Islam) sebagaimana keterangannya di atas.- namun dari bab membatasi kejahatan, atau menolak kerusakan yang lebih besar dengan kerusakan yang lebih kecil, seperti yang diperkatakan oleh Ahli Fiqih (maka aku nasehatkan untuk memilih dari mereka golongan muslim).” Fatwa kedua: “Syariat Islam bukanlah tujuan yang akan dapat direalisasikan, namun demikian ada tujuan lain yang dapat dan harus dicapai melalui perjuangan di parlemen dan demokrasi yaitu membatasi kejahatan, dan dalam kaidah ushul dinyatakan senada dengan fatwa syaikh Albani :

“Jika tidak bisa meraih semua maka jangan tinggalkan semuanya Bila tidak dapat merealisasikan syariat Islam secara kaffah maka jangan tinggalkan seluruhnya realisasikan walau hanya 1%.”

Al-Hafidz al-Suyuti mengutip sebuah hadits : Rasulullah saw bersabda : “Jika aku memerintahkan kepada kalian suatu perkara, maka kerjakanlah apa yang kalian mampu.”

Dan dalam al-Qur’an dinyatakan Allah SWT tidak membebani seseorang melainkan sesuai kesanggupannya QS. 2:286 dan dalam ayat yang lain Allah SWT berfirman yang artinya : “Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu,” (QS. 64:16).

Menutup mata terhadap point-point keberhasilan dalam perjuangan di parlemen adalah sikap yang tidak adil, tidak jujur, tidak mencerdaskan dan tidak mendewasakan umat, karena diakui atau tidak, telah banyak point-point keberhasilan tersebut dan telah dinikmati oleh umat Islam Indonesia, misalnya, kebebasan memakai jilbab, ruu sisdiknas, SKB 3 menteri lalu 2 menteri, beberapa perda yang bernuansa ke-Islam-an, kebebasan berdakwah, diberantasnya kemaksiatan yaitu dengan menangkapi pasangan bukan suami istri di dalam kamar hotel, penutupan rumah-rumah bordil, perjudian, bila kita mau adil dengan membandingkan antara rezim orde baru dengan sekarang, maka kita akan mengetahui bahwa telah ada tambahan kebaikan dan pengurangan kerusakan, atau bandingkan dengan negara-negara lain yang di dalam parlemennya tidak ada umat Islam seperti perancis, Yunani, Belanda dan lain-lain yang memakai jilbab atau untuk membangun masjid saja tidak bisa.

Menuntut kepada orang-orang yang berjuang di parlemen untuk membuktikan syariat Islam dapat tegak 100% sementara dirinya sendiri tidak menunjukkan adanya langkah nyata dalam menegakkan syariat Islam maka hal itu sama saja telah melempar boomerang untuk dirinya sendiri. Karena yang telah menunjukkan langkah nyata saja tidak dapat menunjukkan tegaknya syariat Islam karena gagal, apalagi yang belum menunjukkan langkah nyata, memang tidak ada kegagalan yang dialami tapi juga tidak ada keberhasilan, seperti orang yang tidak pergi perang, memang tidak akan mengalami kekalahan tapi dalam waktu yang sama juga tidak akan mengalami kemenangan.

Kedua, Opini di atas juga dimaksudkan menggiring umat Islam agar mempunyai pemahaman bahwa tidak adanya bukti tegaknya syariat Islam menunjukkan jalan perjuangan melalui parlemen dan demokrasi adalah bathil. Sehingga dengan yakin memberikan statemen : “Tidak mungkin syariat Islam ditegakkan melalui demokrasi.”

Tentu saja opini ini menarik untuk dikaji, karena sampai kinipun tidak ada syariat Islam yang tegak oleh perjuangan mereka, jadi menyatakan demokrasi sebagai jalan bathil karena tidak adanya syariat yang tegak melalui demokrasi, merupakan boomerang bagi dirinya sendiri, karena juga tidak ada syariat Islam yang tegak melalui jalan yang ditempuhnya, tidak dipungkiri syariat Islam pernah tegak oleh rasulullah saw, para sahabat, tabiut-tabiin, tetapi menyatakan diri sesuai sunnah dan menyatakan perjuangan di parlemen tidak sesuai sunnah perlu pengujian secara ilmiah, nabi saw berhasil menegakkan syariat Islam setelah melalui beberapa fase perjuangan seperti fase dakwah, fase penyebaran, fase menghindari konflik, fase menyusun kekuatan dan fase konfrontasi atau fase menghadapi musuh, sungguh saya mohon maaf bila bertanya, apakah orang-orang yang mengharamkan parlemen telah berusaha melalui fase-fase tersebut ?

Kalau belum, tentu saja menurut hemat saya mencurahkan segenap tenaga dan pikiran untuk kemajuan dakwah adalah jauh lebih bermanfaat ketimbang mencurahkan untuk membuat opini yang menjelek-jelekkan saudara-saudara kita yang berjuang di parlemen, juga akan sangat bermanfaat bila mencurahkan segenap tenaga dan pikiran untuk menasehati dan menghibur mereka dengan doa agar istiqomah dengan tujuannya dan diberi kesabaran atas musibah-musibah yang dialami? karena saudara-saudara kita yang berjuang di parlemen telah berusaha menempuh fase-fase itu hanya saja belum berhasil menegakkan syariat Islam dan tidak sedikit dari mereka yang harus meregang nyawa karena ketidakrelaan Barat terhadap kemenangan mereka seperti di Mesir, Turki, Aljazair dan negeri-negeri bermayoritas muslim lainnya.
Dan apa yang menimpa kamu pada hari bertemunya dua pasukan, maka (kekalahan) itu adalah dengan izin (takdir) Allah, dan agar Allah mengetahui siapa orang-orang yang beriman. QS. 3:166

Atau bukankah sebaiknya tenaga dan pikiran dicurahkan untuk menempuh fase-fase seperti yang rasulullah tempuh ? Insya Allah andai-kata saudara-saudara tidak berhasil semoga Allah SWT mencatatnya sebagai amal syuhada dan sebagai orang-orang yang konsisten dalam membela agama Allah, karena musuh bergerak secara nyata nonsen bila dihadapi hanya dengan retorika dan dakwah.

Kembali lagi ke masalah pembentukan opini, opini lain yang cukup ilmiah untuk memberikan citra negatif adalah : Ikut demokrasi berarti telah mengikuti kemauan Barat, padahal dalam QS 2:120 Allah telah mengingatkan : “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu sehingga kamu mengikuti agama mereka.”

Opini tersebut walaupun dapat berupa nasihat tetapi tujuannya untuk menggiring pemahaman umat bahwa berjuang di parlemen atau demokrasi adalah mengikuti kemauan Barat.

Sekali lagi, tanpa pemahaman kritis opini tersebut akan nampak benar, karena yang diungkap dalam opini adalah dhahir realita, yaitu memang realitanya Barat memanfaatkan demokrasi untuk dapat masuk ke pemerintahan-pemerintahan yang mayoritas rakyatnya adalah umat Islam, sementara itu sebagian besar umat Islam masuk ke dalam demokrasi untuk menghadang kemauan Barat, wajar dan tidak dapat disalahkan begitu saja bila orang-orang yang mengharamkan perjuangan melalui parlemen dan demokrasi menyimpulkan bahwa berjuang melalui parlemen dan demokrasi berarti telah mengikuti kemauan Barat, namun benarkah demikian ?

Dari beberapa kasus mulai mesir, Aljazair, Turki hingga Indonesia, Barat justru kebakaran jenggot bila ada partai Islam yang ingin berusaha memasukkan ajaran-ajaran Islam dalam parlemen, kejadian terakhir di Turki menunjukkan hal tersebut, mereka orang-orang sekular melakukan demo besar-besaran bahkan terbesar di dunia untuk menjegal partai Islam di sana yang akan ikut pemilu, dan sangat kuat disinyalair demo tersebut tidak lepas dari keinginan dan pembiayaan Barat, begitu juga dengan di Indonesia beberapa tahun lalu, partai yang berusaha memasukkan nilai-nilai Islam dalam parlemen di opinikan terlibat jaringan teroris, tujuannya agar dapat menjegal partai tersebut dalam pemilu. Begitu juga di Aljazair ketika partai Islam akan menang, dan ingin menerapkan syariat Islam maka atas pesanan Barat militer Aljazair mengkudeta FIS. Jadi sangat tidak beralasan bila orang-orang yang berjuang di parlemen untuk memasukkan nilai-nilai Islam dikatakan telah mengikuti kemauan Barat, buktinya Barat justru kebakaran jenggot.

Kalau kita mau jujur, terhadap sikap pengharaman perjuangan di parlemen dan tidak menempuh fase-fase nyata dalam menghadapi Barat, justru akan membuat Barat senang dan berterima-kasih, karena tidak perlu repot-repot menjegal partai yang ingin memperjuangkan nilai-nilai Islam di parlemen, sudah ada yang membantunya untuk menjegal yaitu umat Islam sendiri, istilahnya memukul umat Islam dengan meminjam tangan umat Islam dan tinggal nonton TV di gedung putih.

Jadi sebetulnya siapa yang telah mengikuti kemauan Barat dan menguntungkan barat, orang-orang yang berjuang di parlemen untuk menerapkan nilai-nilai Islam ataukah yang mengharamkannya tetapi tidak ada tindakan nyata untuk menghadapi Barat ?

Hati-hati menuduh perjuangan di parlemen sebagai mengikuti kemauan Barat tetapi tidak sadar dirinya sendiri telah membantu Barat, ini boomerang yang kedua.

Ada beberapa opini lain yang dapat menjadi boomerang bagi pembentuk opini itu sendiri misalnya dinyatakan membuat partai berarti telah berpecah belah, padahal Allah telah melarangnya, kalau sedikit kritis, masuk partai atau tidak hal itu dapat terjadi, cobalah amati orang-orang yang mengharamkan partai, mereka telah terpecah belah menjadi beberapa kelompok, ini juga boomerang. Dan masih banyak lagi opini-opini lain yang tidak mungkin di bahas satu persatu karena alasan keterbatasan ruang halaman dan takut membeberkan strategi perjuangan di parlemen, tetapi yang jelas dengan sedikit kritis, maka opini tersebut akan nyata dapat berlaku bagi yang diopinikan maupun bagi pembuat opini itu sendiri (menjadi boomerang) .

Oleh karena itu, kalau memang ada kesalahan mereka, alangkah baiknya bila diberi nasehat, bukan membuat opini negatif, kalau tidak bisa mendukung tidakkah jauh lebih bermanfaat segenap tenaga dan pikiran dicurahkan untuk perjuangan Islam dengan metode yang diyakini ? Siapa tahu nanti secara sinergi perjuangan di parlemen dapat kompatible dengan perjuangan di luar parlemen dalam menegakkan Islam.)I(